Listed Articles

Berpikir Jangka Panjang

Oleh Admin
Berpikir Jangka Panjang

Adegan tersebut bukan tanpa dasar. Mobil Jepang saat itu memang dikenal sebagai mobil murah yang bermutu rendah. Belum lagi munculnya nasionalisme sempit yang menganggap Jepang sebagai ancaman ekonomi Amerika Serikat. Kondisi itu semakin memperkuat citra negatif produk-produk Jepang di mata masyarakat AS, sekalipun sebetulnya punya banyak keunggulan yang mereka butuhkan.

Akibatnya cukup merepotkan produsen Jepang. Karena telanjur dipersepsi jelek, mobil Jepang, yang sebetulnya mulai diperhitungkan dengan serius oleh para produsen, tetap belum bisa menembus bagian pasar yang paling menarik: kelompok yang mau membayar premium. Namun, dasar orang Jepang, selain ulet, juga cerdik menembus pasar.

Contoh terbaik dalam hal ini adalah Toyota. Untuk menghadapi resistensi pasar AS terhadap mobil-mobil produksi Jepang, Toyota mengeluarkan merek Lexus. Produk ini sengaja dibikin untuk menyasar ceruk pasar high-end yang masih terbuka lebar di AS.

Lexus pertama hanyalah merek yang ditempelkan pada Camry V6 versi up market. Lexus tidak hanya menciptakan mobil mewah, tapi juga mengubah paradigma tradisional tentang industri otomotif. Mereka sadar bahwa setiap produk yang diciptakan harus terdepan dalam desain, kualitas dan nilai. Insinyur-insiyur Jepang diperintahkan untuk mendalami kehidupan kaum kelas atas AS untuk memahami kebutuhan dan keinginan konsumen di sana. Harapan konsumen itu diwujudkan dalam mobil yang mesinnya halus dan andal, ruang penumpangnya senyap dan ergonomis.

Hasilnya, hanya dalam satu dekade, Lexus menggeser mobil-mobil mewah lain, seperti Mercedes-Benz, BMW, Cadillac dan Lincoln, yang lama mendominasi pasar AS. Lexus kini bahkan dianggap sebagai simbol kesuksesan kaum kaya AS.

Dengan resistensi pasar AS, Toyota justru tidak menganggap Negeri Paman Sam itu sebagai pasar yang tidak potensial — bagaikan aksara Cina, bukankah krisis terdiri dari peluang dan ancaman. Bukankah krisis citra di pasar AS juga menawarkan peluang? Pasar yang saat itu dianggap tidak potensial justru bisa menjadi potential market bukan?

Kesuksesan Lexus ini kemudian ditiru produsen-produsen mobil Jepang yang lain, seperti Honda yang mengeluarkan Acura untuk pasar atas, kemudian Nissan mengeluarkan Infinity.

Kalau di AS kita melihat bagaimana Toyota akhirnya bisa menembus pasar high-end dan kemudian mencapai sukses besar, bukan tak mungkin hal serupa bisa terjadi pada Sido Muncul. Sebagaimana kita tahu, perusahaan ini sedang berusaha membangun pasar jamu kelas atas. Melihat langkah yang dilakukan Toyota ataupun Sido Muncul, saya jadi teringat buku terbaru Philip Kotler, yang diilhami Edward de Bono, Lateral Marketing. Dia menelurkan konsep lateral marketing sebagai complement bagi konsep lama, vertical marketing.

Vertical marketing menekankan bagaimana mengeksplorasi produk dan pasar yang telah Anda layani alias berpikiran status quo. Adapun lateral marketing lebih mengutamakan eksplorasi di luar domain yang selama ini dilayani, baik itu produk maupun pasar.

Jamu selalu diasumsikan menyasar pasar menengah-bawah, dan pola pikir yang terbentuk adalah itu merupakan pasar paling potensial. Banyak yang mengabaikan pasar menengah-atas yang diistilahkan oleh Sido Muncul sebagai pasar orang pintar. Akhirnya, pasar ini menjadi pasar yang dikategorikan nonpotensial.

Kotler malah menganjurkan agar pasar nonpotensial ini digarap, karena pemain lain meremehkannya. Gerakan Sido Muncul memang terkesan tidak populer dan melawan arus. Memangnya orang pintar, berduit dan well-educated mau minum jamu? Namun, itulah lateral marketing ala Kotler.

Karena itu, sekalipun tidak langsung membuahkan hasil, yang dilakukan Sido Muncul sungguh menarik. Terutama, karena menunjukkan adanya visi jangka panjang. Jika pasar high-end untuk jamu ini terbentuk, Sido Muncul akan memetik hasilnya, menjual jamu dengan harga premium.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved