Listed Articles

Bisnis Aksesori Ponsel Makin Sumringah

Oleh Admin
Bisnis Aksesori Ponsel Makin Sumringah

Ponsel bukan lagi sekadar perangkat untuk berkomunikasi, tapi juga untuk bergaya. Beberapa vendor ponsel seperti Nokia, SonyEricsson, dan Siemens sudah lama menyadarinya. Buktinya: seiring perkembangan di bidang fashion, model perangkat dan desain ponsel yang mereka buat pun makin stylish, seolah berupaya menyelaraskan dengan perkembangan di dunia mode. Yang jelas, vendor ponsel raksasa ini merasa perlu merancang secara khusus ponsel yang ditujukan untuk penggemar mode.

Sebagai contoh, muncullah ponsel Nokia 7650, yang memadukan fitur kamera dengan ponsel, atau Nokia tipe 7600 yang mengubah secara drastis persepsi orang tentang bentuk dan desain ponsel. SonyEriccson juga tak mau kalah, meluncurkan T610 dan Z200 yang dibuat untuk menyelaraskan bentuk ponsel dengan penampilan pemakai. Yang lebih menarik, inovasi yang dilakukan vendor tak hanya berhenti pada bentuk dan model ponsel. Mereka juga mendesain aksesori yang melengkapi dan meningkatkan performa ponsel. Ragam dan bentuk asesori ini tak hanya berupa casing atau cover (semisal express on yang bisa digonta-ganti sekehendak pemiliknya), headset, kamera plug in, atau sarung ponsel, tapi juga sudah merambah ke perangkat yang tak punya hubungan langsung dengan ponsel.

Contohnya medallion, selain berfungsi sebagai jam, juga berfungsi sebagai kalung yang pantas digantungkan di leher. Selain medallion, masih ada image frame digital, perangkat yang mampu menampilkan image/foto yang sebelumnya diambil menggunakan kamera pada ponsel. Foto yang tersimpan dalam image frame bisa ditransfer dari ponsel menggunakan infra red, dan bisa digonta-ganti sesuai dengan keinginan. Seperti dijelaskan Usun Pringgodigdo, Manager Pengembangan Bisnis Nokia Mobilephone Indonesia, pada dasarnya Nokia memang merumuskan berbagai aksesori yang diproduksinya dalam konsep mobile enhancements(ME), yang simpelnya bisa diartikan sebagai perangkat pendukung yang dapat meningkatkan performa ponsel, sekaligus memberikan nilai tambah. Memang, tidak semua produk ME mendukung layanan komunikasi. Diakui Usun, tidak sedikit yang punya fungsi sebagai aksesori belaka, seperti medallion atau image frame.

Namun, memang tidak sedikit pula produk ME yang menjadi peranti pendukung ponsel Nokia, semisal charger atau handsfree. Menurut Usun, nanti produk ME ini akan diposisikan dalam konsep produk yang mengarah pada sosok penggunanya dan dikemas dalam bentuk jargon, sesuai dengan segmen pasar. Misalnya jargon ?all about me?, yang akan menyelaraskan fungsi aksesori ponsel dengan apa yang ada dalam diri pemakainya, yang umumnya dari kalangan muda. Untuk orang kantoran, model ME yang ditawarkan Nokia lain lagi. Salah satunya pena digital Nokia Pen SU 1B yang mampu mengingat semua yang sudah ditulisnya dan dapat dihubungkan ke ponsel atau PC dengan fasilitas bluetooth.

Selain itu, untuk mendukung aktivitas penguna ponsel di jalan, sengaja dirancang beragam tas dan sarung untuk menyimpan ponsel itu. Karena luas dan besarnya cakupan produk ME ini, Nokia merasa perlu membangun satu unit bisnis sendiri untuk menangani pembuatan konsep dan pengembangannya. “Divisi ini ada di Finlandia dan secara khusus mengembangkan produk ME untuk Nokia,” ungkap Usun. Dalam pemasarannya, produk ME biasanya dipasarkan bersamaan dengan produk ponsel Nokia. Bedanya, ada beberapa produk aksesori yang dijual dalam satu paket, ada pula yang dijual terpisah. Dalam satu paket ponsel yang dijual Nokia misalnya, terdapat satu unit handset, baterai plus charger. Produk ME lain umumnya dijual secara terpisah. Pemasaran produk ME di Indonesia dilakukan oleh distributor Nokia, seperti Parastar, Erajaya Swasembada, Bimasakti Usindo Perkasa, dan Trikomsel. Memang, produk ME ini belum seluruhnya tersedia di pasar. Tapi Usun menjamin dalam waktu tak terlalu lama, produk tadi bisa diperoleh. Dalam konsep yang sedikit berbeda, SonyEricsson juga meluncurkan beberapa aksesori pendukung ponselnya. Konsep produk aksesori yang dibuat SonyEricsson, menurut Muhammad Soleh, Manajer Pemasaran Produk SonyEricsson Indonesia, senantiasa berangkat dari empat pilar pengembangan produk, yakni: imaging-messaging, entertainment, connectivity, dan personality. Dari empat pilar ini, ditentukan juga positioning produk dan target pasarnya, sehingga fitur dan aksesorinya pun menyesuaikan dengan tipe dan kategori ponsel.

Menurut Soleh, aksesori yang mendukung ponsel dalam konsep SonyEricsson diistilahkan sebagai Image Ware (IW). Ragam dan bentuk produk IW yang ditawarkan SonyEricsson juga beraneka, semisal headset dengan bluetooth, pemutar musik handsfree HBM-30, hingga bluetooth car, yakni mobil mainan anak yang bisa dikendalikan oleh ponsel menggunakan koneksi bluetooth. Dikatakan Soleh, produk IW ini dihadirkan SonyEricsson karena adanya kebutuhan pasar. “Kami melihat potensi pasarnya cukup tinggi, karena pengguna ponsel di Indonesia terkenal senang bergaya dengan ponsel mereka,” jelasnya. Hampir sama dengan cara Nokia dalam pemasarannya, beberapa varian produk IW dijual baik dalam bentuk paket maupun terpisah. Yang dijual dalam paket, misalnya, SonyEricsson Z200 yang dilengkapi dengan tali gantung dan cover yang bisa diganti-ganti. Sementara itu, fasilitas game board yang memudahkan aktivitas bermain game di ponsel, layaknya bermain Playstation, dijual terpisah. Soleh mengaku tak tahu persis berapa besar volume pasar aksesori dan IW SonyEricsson.

Tetapi, menurut dia, jika IW bisa berkontribusi 15-20% saja dari total penjualan ponsel SonyEricsson, itu sudah merupakan hal yang bagus. Distribusi produk IW, menurut Soleh, dilakukan dengan cara yang hampir sama seperti yang dilakukan vendor ponsel lain. Sebagai kantor pemasaran di Indonesia, Sony Ericsson Indonesia melakukan aktivitas promosi dan pemasaran produk SonyEricsson, tak terkecuali produk IW. Penjualan langsung produk SonyEricsson dilakukan distributor dan jaringan ritel di bawahnya. Sama dengan apa yang dilakukan Nokia, SonyEricsson, menurut Soleh, selain memproduksi sendiri juga mengalihdayakan beberapa produknya kepada perusahaan yang ditunjuk. “Tampaknya, strategi global produsen ponsel lebih banyak ke outsourcing,? ujarnya. Ke depan, Soleh yakin pasar aksesori masih tetap besar. Terlebih di Indonesia, dengan populasi yang tinggi dan jumlah pengguna ponsel yang masih relatif sedikit, potensi pasarnya masih tetap signifikan. Ini juga didukung kenyataan, banyak penduduk Indonesia yang memang sangat senang berganti-ganti aksesori ponsel. “Terutama dengan produk image wear yang kita punya, peluangnya masih cukup besar,” katanya. Di luar kedua vendor raksasa tadi, masih ada pemain lain yang secara khusus terjun di bisnis aksesori ponsel.

Salah satunya ialah PT Sayes International, yang hadir di Indonesia sejak 2001, namun mulai menjual aksesori sejak 2002. Hayes ini anak perusahaan TID Group asal Taiwan yang memproduksi aksesori ponsel, mulai dari baterai, casing, sarung ponsel, hingga charger. Menurut David Lay, Manajer Umum PT Hayes International, sebelumnya TID adalah Original Equipment Manufacturer (OEM) yang memproduksi beberapa aksesori untuk vendor ponsel terkemuka semisal Motorola. Dari semula tukang jahit, TID pun membuat sendiri produk aksesori mereka. Salah satu merek yang dibuat TID adalah Kingcomm. Produk Kingcomm juga meliputi baterai, charger, casing, dan sarung ponsel dari berbagai jenis. “Akan tetapi, saat ini fokus kami hanya pada penjualan baterai,” jelasnya. Sebagai importer, David mendatangkan langsung aksesori ponsel ini dari Taiwan. Menurut David, pemasaran produk baterai sengaja digenjot, karena penjualan item produk ini relatif stabil dibanding produk aksesori lain. Karena produknya relatif lebih mahal dari baterai sejenis, Kingcomm sengaja diposisikan untuk pasar kelas menengah-atas. Harganya bervariasi mulai Rp 100 ribu-200 ribu, tergantung tipe dan jenis ponselnya. Untuk kelas di bawahnya, Hayes memasarkan produk Popcomm. Pemasaran Produk Kingcomm dan Popcom menggunakan jasa distributor.

Saat ini di beberapa kota semisal Jakarta, Pekanbaru, Bandung, Serang, Semarang, terdapat satu distributor yang memasarkan produk baterai produksi Hayes hingga ke pasar ritel. “Pada masa jaya-jayanya, sekitar 2002, penjualan baterai Kingcom di beberapa kota cukup lumayan,” jelas David. Maklum, belum banyak pesaing yang menjual produk baterai ponsel. Saat ini pangsa pasar produk Kingcomm khususnya baterai di pasar aksesori ponsel nasional, menurut David, sekitar 3%-5%. Diakuinya, merek Kingcomm memang relatif kurang dikenal, karena saking banyaknya merek aksesori di pasar. David mengaku pernah beriklan, tapi hasilnya tidak terlalu memuaskan. “Kita sulit bersaing dengan aksesori lain, umumnya buatan Cina, tanpa merek, dan dijual dengan harga lebih rendah dibanding harga Kingcomm,” jelasnya. Meski tidak terlalu signifikan, pada 2003, Kingcomm, menurut David, mampu menjual 30 ribu unit baterai di beberapa kota di Indonesia. Untuk penjualan casing, David mengaku sulit memprediksinya karena angkanya lebih kecil lagi.

Lulusan salah satu universitas di Taipei ini mengeluhkan iklim bisnis di Indonesia, terutama dengan banyaknya pelaku bisnis yang main belakang, sehingga bagi perusahaannya yang berbisnis sesuai dengan prosedur, yang didapat justru ketidakmampuan berkompetisi secara sehat. David mensinyalir, saat ini setidak-tidaknya terdapat 20 merek aksesori yang bersaing di pasar dan tak semuanya legal. Djatmiko Wardoyo, Manajer Umum Pemasaran PT Bimasakti Usindo Perkasa, salah satu distributor Nokia di Indonesia, mengaku kontribusi penjualan aksesori terhadap pendapatan perusahaannya secara keseluruhan tidak terlalu signifikan. “Meski kecil, kita tetap harus menjualnya, karena sudah menjadi komitmen kita pada Nokia,” ujarnya. Produk aksesori yang dijual di gerai Nokia milik Bimasakti, antara lain casing, charger, handsfree, baterai, yang seluruhnya merupakan produk orisinal Nokia. “Kita tak jual produk aksesori merek lain,” katanya. Pengamat pemasaran Darmadi Durianto menilai semaraknya bisnis aksesori ponsel di Indonesia, disebabkan pasarnya memang terus bertumbuh. Ini juga ditambah dengan gaya hidup pengguna ponsel di Indonesia yang doyan berganti-ganti ponsel. Namun, Darmadi mengaku sulit memastikan besarnya volume bisnis ini. Namun, Darmadi sepakat bisnis aksesori ini sangat menggiurkan karena banyaknya importer. Hebatnya lagi, pemain besar di bisnis ini, menurut Darmadi, bisa jadi adalah importer yang memasukkan barang dari pasar gelap. Ia mengaku sedikit tahu, karena kenal dengan seseorang yang memang khusus memasarkan barang seperti itu. Modus operandinya, menurut Darmadi, melalui ?orang kuat? di salah satu instansi pemerintah, yang memungkinkan barang bebas pajak tadi lewat dan bisa dipasarkan di Indonesia. “Mereka tak perlu bayar pajak, karena cukup bayar sama yang ngurus di pelabuhan saja,” jelasnya. Maraknya bisnis aksesori ini, dikatakan Darmadi, juga dipicu oleh gaya hidup pengguna ponsel yang tak terlalu sensitif terhadap harga, “Aksesori, selain harganya relatif murah, juga tergolong small pickup items, kecenderungan orang membeli semudah membeli permen. Ini karena aksesori ponsel tidak berorientasi harga,” jelasnya.

Namun, diakui Darmadi, di tingkat outlet, angka penjualannya tidak terlalu signifikan. Banyaknya pemain, menurut dia, membuat profit margin yang diperoleh tidak terlalu tinggi. “Kuenya memang besar dan yang makan juga banyak sekali,” katanya. Itu pun baru sebatas yang terpantau di kompleks pertokoan, sementara yang tidak terpantau seperti pemain rumahan, menurut Darmadi, juga tidak sedikit. Ke depan, Darmadi menilai bisnis ini akan berkembang seiring kondisi makro ekonomi Indonesia. Jika ekonomi membaik, otomatis daya beli masyarakat juga akan meninggi, “Pasarnya akan bertumbuh, juga karena pertambahan pengguna baru,” katanya memprediksi.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved