Listed Articles

CEO Sepanjang Masa

Oleh Admin
CEO Sepanjang Masa

Mungkin Anda akan bertanya lagi, sesederhana itukah? Anda benar, ini tampaknya sangat sederhana. Namun -? saya berani bertaruh — ini sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Tak heran, Joseph Campbell, pengarang, pernah mengatakan, ?Pada saat kita berhenti berpikir tentang diri kita sendiri, kita sebenarnya tengah mengalami perubahan hati nurani yang sungguh heroik.?

Menjadi CEO adalah peluang emas memenuhi semua kebutuhan Anda sekaligus, yaitu kebutuhan hidup (to live), sosial emosional (to love), pertumbuhan (to learn) dan kebutuhan berkontribusi (to leave a legacy). Menjadi CEO memungkinkan Anda bukan saja menjadi orang yang kaya harta, tetapi juga kaya jiwa. Saya teringat apa yang pernah dikatakan Kahlil Gibran, ?Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti.? Menjadi CEO membuat Anda punya banyak sekali peluang ?memberikan diri Anda?, bukan hanya kepada karyawan dan keluarganya, tapi juga kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Namun, CEO juga berpeluang cukup besar untuk hanya memikirkan dirinya sendiri. Target-target yang harus dicapai ditambah dengan tekanan-tekanan yang dihadapi sering mendorongnya berbuat demikian. Fokusnya adalah kinerja perusahaan saat ia menjabat. Di sinilah nama baiknya dipertaruhkan.

Hal terpenting bagi seorang CEO adalah visinya. Visi CEO bukanlah pernyataan visi yang digantungkan di dinding perusahaan, bukan pula yang dinyatakan dalam wawancara dengan media. Visi yang sesungguhnya jauh lebih mendasar adalah niat yang terkandung jauh di lubuk hatinya. Ini sangat rahasia, sangat pribadi, sekaligus sangat suci.

CEO sejati memiliki visi jauh ke depan melebihi masa jabatannya, bahkan melebihi usia hidupnya sendiri. Perusahaan adalah tempat mengemban misi suci, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dari generasi ke generasi. Sehingga, perusahaan seharusnya dapat ?hidup selama-lamanya? dan jauh melebihi usia para pendirinya.

Karena visinya yang lintas generasi ini, CEO sejati amat mementingkan nilai-nilai (values). Kinerja bisnis memang penting bagi kemajuan perusahaan saat ini, tapi tanpa didasari nilai-nilai yang luhur, perusahaan hanya akan bertahan seumur jagung. Tak heran, CEO sekelas Jack Welch amat peduli terhadap nilai-nilai ini.

Penelitian yang dilakukan Gay Hendricks dan Kate Ludeman terhadap ribuan eksekutif di Amerika Serikat beberapa waktu lalu juga menggambarkan adanya gerakan kembali kepada nilai-nilai. CEO sejati amat sadar bahwa melihat keberhasilan perusahaan dari parameter finansial saja sering menipu. Banyak perusahaan yang kinerjanya seolah-olah amat mengesankan, tetapi itu dilakukan dengan menggerogoti aset utama mereka, yaitu kepercayaan dan nilai-nilai. Perusahaan yang mengabaikan nilai-nilai akan mengalami keruntuhan setelah sang CEO pergi. Karena itu, indikator kesuksesan CEO yang sebenarnya bukan hanya apa yang terjadi semasa ia menjabat, tetapi juga apa yang terjadi setelah ia pergi.

Indonesia adalah contoh yang sangat menarik. Prestasi negeri ini di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto cukup mengesankan. Namun, apa yang terjadi setelah itu amat memprihatinkan. Soeharto tampaknya belum sempat memikirkan succession planning. Bahkan, di hari-hari terakhirnya ia justru meragukan kemampuan Habibie yang saat itu paling berpeluang menggantikannya.

Pemimpin memang sering dihinggapi sindrom ?Memang aku lebih baik?. Ini diwujudkan dengan keinginan membuktikan bahwa dirinya lebih baik dibanding pendahulu maupun penggantinya. Akar penyakit ini adalah keinginan mementingkan diri sendiri. Inilah ego kita untuk mendapatkan pujian dan sanjungan. Pemimpin sejati melakukan hal yang berbeda. Ia justru berharap penggantinya lebih baik dari dirinya. Ia akan merasa sangat bahagia kalau organisasi menjadi lebih sukses setelah ia tak lagi menjabat. Ia sadar bahwa salah satu misi terpentingnya adalah melahirkan pemimpin-pemimpin baru.

Mahathir Mohammad mungkin telah banyak belajar dari Soeharto. Tak heran, peralihan kekuasaan ke tangan Datuk Ahmad Badawi berlangsung mulus. Walaupun demikian, kita masih dapat memperdebatkan tindakannya memenjarakan Anwar Ibrahim, kadernya sendiri, yang dianggap sangat potensial menyaingi popularitasnya.

Pemimpin sejati adalah mereka yang benar-benar bebas dari rasa takut: takut kalau mempunyai kader yang jauh lebih baik dari dirinya, takut tersaingi dan kalah popularitas. Ia telah menggantikan rasa takutnya itu dengan cinta. Akar rasa takut adalah keinginan mementingkan diri sendiri. Kita cemas dan khawatir kalau apa yang telah kita miliki (seperti nama baik) diambil orang lain. Ini berbeda dari cinta. Cinta adalah memberi, bukannya meminta. Cinta tak pernah takut kehilangan karena kita sadar bahwa apa pun yang kita berikan kepada dunia akan senantiasa kembali kepada pemberinya.

Esensi CEO sejati adalah kerendahhatian. Mereka seperti padi, semakin tinggi semakin merunduk. Jim Collins, pengarang buku Good To Great, menggambarkan kerendahhatian ini secara amat kreatif, yaitu dengan menggunakan ?cermin dan jendela?. Saat bermasalah, seorang CEO akan mengambil cermin untuk berkaca. Sementara sewaktu sukses, ia justru akan menunjuk keluar jendela sambil berkata, ?Kawan-kawanku itulah yang membuat perusahaan ini begitu maju.?

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved