Demi Sebuah Perubahan | SWA.co.id

Demi Sebuah Perubahan

Lantaran bisnisnya berkembang, sistem buatan sendiri tak lagi bisa memenuhi kebutuhan organisasi Blue Bird. Toh, langkanya best practice membuat pencarian sistem pengganti berjalan alot.

Melihat armada taksi Grup Blue Bird, sekilas orang akan punya persepsi perusahaan transportasi ini memiliki sistem teknologi informasi (TI) yang canggih. Maklum, pada sebagian armada taksinya, penumpang bisa melihat perangkat penerima sinyal global positioning satellite (GPS).  Dengan perangkat komunikasi ini, pengaturan dan eksekusi order jasa taksi memang bisa lebih efisien.

 

Namun, citra canggih itu tampaknya belum memuaskan hati Noni S.A. Purnomo, Manajer Senior Pengembangan Bisnis Grup Blue Bird.  Maklum, ia tahu betul bahwa sistem yang dibutuhkan oleh kelompok usaha transportasinya jauh lebih kompleks. Tak cukup hanya teknologi untuk mengetahui posisi armada taksi dan mempercepat proses eksekusi order, melainkan sistem yang diperlukan guna mengelola kegiatan bisnis sehari-hari semisal mengelola armada taksi dan para pengemudinya, aktivitas perbengkelan, suku cadang, dan sebagainya.

 

Mulanya, untuk pelbagai aktivitas bisnis sehari-hari itu Blue Bird merasa aplikasi buatan tim TI internal (in-house development), masih memadai.  Namun, perkembangan perusahaan  --salah satunya ditandai oleh makin mekarnya jumlah depo (pool taksi) yang saat ini mencapai 14 depo di Jakarta saja --  membuatnya tak bisa dilayani oleh aplikasi buatan sendiri.  Mau tak mau, Blue Bird pun mencari sistem aplikasi yang lebih bisa memenuhi kebutuhan perusahaan. 

 

Kenyataannya, dalam menggunakan aplikasi lama itu beberapa kesulitan sudah dirasakan. Antara lain, lemahnya akurasi data dan lambatnya alur informasi antara depo dan kantor pusat. Soal informasi pengemudi misalnya,  pengelolaannya masih terkotak-kotak di mana setiap pool ditangani seorang tenaga dari Bagian Pengembangan SDM.

 

Ini jelas menyulitkan kantor pusat mendeteksi data pengemudi secara keseluruhan. Kendati ada beberapa hal yang dilakukan secara sentralisasi dari kantor pusat -- misalnya yang berhubungan dengan komplain pengguna jasa dan pengeluaran nomor induk pegawai -- dalam praktiknya masing-masing depo juga melakukan hal yang sama. Karena itu, bila ada seorang pengemudi yang dikeluarkan dari pool A lantaran berbuat kesalahan, ia bisa saja diterima lagi di pool B karena datanya tidak terdeteksi.

 

Contoh lainnya dalam hal pengelolaan suku cadang di gudang. Banyaknya stok suku cadang yang dikelola, membuat karyawan di gudang tidak bisa menghitung secara pasti berapa jumlahnya. Tidak heran, sering terjadi karyawan gudang memesan suku cadang tertentu padahal mobilnya sendiri sudah keburu dijual. ?Jadi, banyak hal seperti itu terjadi di lingkungan perusahaan ini,? ujar Noni.

 

Artinya, sistem dan aplikasi yang dipakai di lingkungan Blue Bird masih terpisah-pisah, atau diistilahkan berpulau-pulau (islands).  Yakni, setiap bagian memiliki sistem sendiri tapi tidak terintegrasi dengan bagian terkait lainnya. Wajarlah akhirnya sering terjadi proses pengulangan. Dan, kondisi semacam ini, dikatakan Noni, sudah berlangsung sejak 1980-an. Bedanya, kalau dahulu masih bisa dilihat secara langsung, sekarang tidak bisa karena wilayah operasionalnya sudah menyebar.

 

Karena itulah, menurut Noni, manajemen Blue Bird berkeinginan segera mengganti sistem lama yang masih terkotak-kotak ke suatu sistem yang terintegrasi. Sistem ERP dipilih sebagai solusinya. Salah satu harapannya, proses pengulangan masukan data (double entry) bisa diminimalkan. ?Kami ingin proses data entry bisa dilakukan seakurat mungkin di tingkat pelaksana,? katanya.

 

Namun, keinginan Blue Bird memiliki sistem ERP yang pas rupanya tidak segera kesampaian. Sebab, tidak mudah menentukan pilihan solusi yang tepat untuk kebutuhan perusahaan taksi, yang sejauh ini di Indonesia kasus best practice-nya memang langka. ?Kami harus melewati proses pencarian hingga memakan waktu satu tahun lamanya,? ujar Noni.

 

Berbagai upaya ditempuh Blue Bird guna mendapatkan solusi yang tepat. Pertama, lewat bantuan konsultan, agar bisa memberikan masukan solusi ERP mana yang paling tepat untuk perusahaan. Sayangnya, lima konsultan yang didatangkan perusahaan tidak bisa memberikan masukan yang konkret. Maksudnya, berbagai masukan yang disampaikan para konsultan itu kurang banyak membantu hingga akhirnya dihentikan.

 

Strategi berikutnya ditempuh, yakni melakukan pendekatan langsung ke beberapa vendor ERP. Beberapa vendor aplikasi pun diundang satu per satu untuk mempresentasikan kelebihan produknya masing-masing. Hasilnya? Lagi-lagi manajemen perusahaan dibuat bingung ketika seluruh vendor selesai memberikan penjelasan ihwal produknya. Pasalnya, manajemen menilai, semua solusi bagus hingga kemudian malah sulit memilih yang terbaik.

 

Merasa tidak puas, manajemen Blue Bird kemudian memutuskan melakukan strategi yang paling akhir, yaitu studi banding dan benchmarking ke beberapa perusahaan baik di dalam maupun luar negeri, misalnya Singapura. Pola ini ditempuh semata untuk melihat dari dekat sejauh mana perusahaan yang bersangkutan bisa memanfaatkan solusi ERP. Dipilihnya Singapura, menurut Noni, karena dari  aspek teknologi, perusahaan-perusahaannya lebih melek TI.  Beberapa staf TI Blue Bird saat itu memang bisa melihat dari dekat, bagaimana perusahaan di sana rata-rata dapat menikmati efisiensi luar biasa berkat dukungan TI.

 

Sepulangnya dari Negeri Singa, Blue Bird memang tidak langsung menentukan solusi yang akan dipakai. Manajemen dan tim TI Blue Bird, dibantu tenaga konsultan dari Amerika Serikat menggelar serangkaian rapat. Hasilnya, solusi ERP dari satu vendor multinasional yang sudah mapan dinilai paling mendekati dengan keinginan manajemen. ?Memang tidak 100% cocok, paling mendekati,? kata Noni.

 

Noni menampik jika terpilihnya solusi ERP dari vendor tersebut berkat bujukan sang vendor yang sangat gencar. ?Sama sekali tidak, justru kami yang menentukan sendiri,? ujarnya. Sebab, ia melanjutkan, jika tidak bisa efisien, perusahaan akan sulit bersaing di kemudian hari.

 

Untuk penggantian sistem lamanya dengan sistem ERP memakan biaya sekitar US$ 3 juta. Dana itu sebagian besar untuk biaya konsultan, aplikasi dan infrastruktur. Noni mengakui dana sebesar itu dirasakan berat bagi perusahaan, tetapi dia memosisikannya sebagai investasi jangka panjang. Bagaimanapun, menurutnya, akan banyak manfaat dengan adanya sistem yang baik. Dengan ketersediaan data yang akurat misalnya, pihaknya bisa mengembangkan beberapa layanan seperti e-HR (internal) dan CRM (eksternal).

 

Dengan menggandeng konsultan Magnus, proses impelementasi pun akhirnya digelar. Namun rupanya, ketika baru berjalan beberapa bulan, tenaga konsultan ini tidak menunjukkan kinerja yang baik. Ke-15 tenaga konsultan yang dikirimkan -- melengkapi tim inti dari Blue Bird yang berkekuatan 54 orang --  sering berganti-ganti. Kondisi ini jelas membuat proses implementasi bertele-tele karena orang-orang baru itu harus belajar lagi dari awal. Parahnya lagi, manajer proyek yang sudah ditunjuk dari Magnus sering kali tidak datang. ?Kondisi seperti ini jelas sangat merugikan kami,? ujar Noni.

 

Maka, Blue Bird memutuskan mengakhiri kontrak kerja sama yang sudah berjalan lima bulan dengan Magnus. Dalam saat yang bersamaan proyek itu pun akhirnya terpaksa ditunda lima bulan sambil mencari tenaga konsultan yang kapabel. Setelah melewati proses itu, Blue Bird kemudian memulai lagi proyek implementasinya, dibantu tenaga konsultan dari vendor ERP-nya, serta unit konsultan yang dibentuk sendiri bernama Hermis.

 

Proses impelementasi pun akhirnya bisa dilangsungkan relatif lancar kendati ada beberapa kendala. Salah satunya dalam mengintegrasikan beberapa modul di sistem ERP itu ke beberapa legacy system yang tetap dipertahankan oleh perusahaan. Namun, berkat komunikasi yang baik dengan para pengguna (user) legacy system di back office (bengkel dan gudang), kendala ini bisa diatasi.

 

Kendala lainnya, seperti dikatakan Redmer Schukken, Direktur Pengelola Hermis Consulting yang juga manajer proyek implementasi ini adalah masih lemahnya infrastruktur jaringan komunikasi. Dia mencontohkan, ketika kantor pusat mendapat order lantas meneruskannya ke cabang-cabang, praktiknya tidak bisa berjalan mulus karena sering terputus di tengah jalan. Hal yang sama berlaku juga dalam berbagai transaksi lain antara kantor pusat dan beberapa cabang. ?Bagi saya, proyek ini jauh lebih sulit dibanding yang pernah saya kerjakan di Eropa dan Amerika,? ujarnya jujur.

Tags:

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)