Listed Articles

Dulu Pemandu Wisata, Kini Penguasa Jaringan Travel

Oleh Admin
Dulu Pemandu Wisata, Kini Penguasa Jaringan Travel

Pertemuan pada Sabtu pukul 14.00 WIB itu dilakukan di Lantai 2 kantor berlantai empat miliknya di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat. Sepintas lalu, pria kelahiran Sukabumi, 6 Desember 1960, ini tak tampak istimewa. Tutur katanya halus dan lembut. Padahal, kalau mau sedikit menepuk dada, mungkin suara yang agak ditinggikan wajar dilakukannya. Maklum, ia disebut-sebut salah seorang penguasa jaringan travel yang cukup disegani di lingkup domestik dan regional. Sederet penghargaan yang terpampang di dinding kantornya sudah bicara lebih dari cukup tentang bisik-bisik tersebut.

Di antaranya, The Most Innovative Marketing Effort by A Foreign Tour Operator pada ajang The 18th Tourism Awards Singapore 2004. Lalu, Tourism Award dengan kategori Sales Agent No. 1 dari Hotel Royal Plaza di Singapura. Kemudian, Top Supporter dari Grand Plaza Hotel Singapura. Dan, yang menurutnya paling membanggakan adalah anugerah TTG Travel Award untuk kategori The Best Travel Agent in Indonesia dari para pelaku bisnis pariwisata se-Asia Pasifik yang diberikan pada 12 Oktober 2004.

?Ia tak berpendidikan tinggi, namun sangat kreatif. Semangatnya luar biasa,? puji Hermawan Kartajaya, pendiri MarkPlus & Co. Siapa sesungguhnya lelaki ini?

Dialah Anthonius Thedy, pemilik sekaligus Direktur Pengelola Jakarta Express. Belakangan, nama Jakarta Express terus benderang sebagai agen perjalanan yang diperhitungkan. Bagaimana tidak. Anthon kini menangani lebih dari 3.000 agen perjalanan di seluruh Indonesia. Dan sebagai wholesaler pemesanan kamar hotel, ia menguasai 80% pasar Singapura. Jumlah yang sungguh besar.

Guna mengetahui bagaimana ia bisa melakukan itu, jarum jam agaknya mesti diputar ke tahun 1991. Waktu itu, Anthon memutuskan menjadi wholesaler penjualan kamar-kamar hotel di Singapura. Dibantu istri dan seorang adiknya, ia membuka kantor di rumahnya, di kawasan Sawah Besar, Jakarta. Nama Jakarta Ekspress, menurutnya, ia ambil begitu saja karena ia anggap akan lebih mudah diingat khalayak.

Sebenarnya, langkah ini bisa dibilang nekat. Kocek lulusan SMA Pariwisata Santa Theresia Jakarta (1980) ini boleh dikata cekak. Hanya modal semangat dan pengalaman 11 tahun malang melintang di beberapa perusahan travellah — antara lain Vaya Tour, Bayu Buana, Rama Shinta, Dwi Daya Tour dan Continental Travel — yang membuatnya percaya diri. Di perusahaan-perusahaan itu, pelbagai posisi dijalaninya, mulai dari pemandu, penyelia, manajer sampai pimpinan cabang.

Selain minim secara kapital, Anthon juga bisa dikatakan nekat karena pilihan bisnisnya terbilang unik. Wholesaler kamar-kamar hotel di Singapura dan mancanegara adalah mainan agen-agen perjalanan besar. Jakarta Express jelas terlalu kecil untuk mencoba mencicipi kue di bisnis ini. Toh, ia terus berjalan. Pengalaman menebalkan keyakinannya bahwa masih ada secuil peluang yang bisa digarap maksimal asalkan jeli mengeksplorasinya.

Bisnis di bidang penjualan grosir pemesanan kamar hotel memang tak umum. Lazimnya, untuk memesan kamar, seseorang bisa datang langsung ke hotel tujuan. Namun, ini tidak praktis, apalagi kalau bepergian dan akan menginap di luar negeri. Pasalnya, yang bersangkutan belum tahu seputar hotel yang akan diinapinya, seperti lokasi, fasilitas, persediaan kamar dan room rate-nya yang boleh jadi mendapat published rate dengan harga mahal.

Inilah yang coba digarap Anthon. Ia menawarkan voucer hotel kepada calon pelancong yang tak ingin susah-susah memesan kamar hotel di Singapura (dan belakangan ke negara-negara lain). Janjinya pada mereka: mudah didapat karena membelinya di Indonesia, harga bersaing, pembayaran dalam rupiah dan jaminan mendapat kamar. Pokoknya, tinggal pesan dan tak usah pusing memikirkan tempat menginap.

Sadar Jakarta Express tergolong pendatang baru dan adanya potensi hambatan kultural di lapangan — sebagian orang merasa gengsinya turun kalau membawa kupon hotel — Anthon mencari strategi yang pas untuk menembus pasar. Putra tertua (lima bersaudara) pasangan Teddy Wijaya (68 tahun) serta Ingnawati (64 tahun) ini segera menempuh jalur yang spesifik, yakni diferensiasi layanan. Dijelaskannya, biasanya travel besar menjual voucer pemesanan kamar hotel ke agen perjalanan kecil, tetapi atas nama perusahaan travel besar. Anthon menjauhi strategi itu. ?Saya menawarkan voucer ke travel dengan memakai nama mereka sendiri. Tapi ada imbuhan sedikit, pembayaran dijamin perusahaan saya,? ujarnya bersemangat.

Menurutnya, sepintas lalu apa yang ia lakukan terbilang sepele. Namun bagi agen perjalanan, hal ini penting untuk kredibilitas berikut promosi perusahaannya. Dan nyatanya, metode ini berjalan baik. Banyak agen perjalanan yang lebih suka memesan voucer pemesanan kamar hotel pada Jakarta Express. Begitu juga, para pengelola hotel. Bak bunga di taman, kepercayaan mereka pada Jakarta Espress yang masih bau kencur ini kian berkembang. Anthon malah pernah mendapat jatah kuota ratusan kamar dengan harga diskon sampai 70%.

Ujung dari kepercayaan ini mudah ditebak. Perlahan tapi pasti, daya saing Jakarta Ekspress terhadap travel besar kian kuat. Terlebih, karena travel-travel besar tak fokus di bisnis ini — mereka hanya menaruh bisnis wholesaler kamar sebagai bagian dari divisi usaha masing-masing — posisi Anthon pun kian kukuh. Malah, terkadang, travel-travel besar itu pun membeli darinya.

Akhirnya, dunia berputar cepat buat Anthon. Setelah tiga bulan pertama mengawali usaha hanya berkelas rumah, ia menyewa kios di Glodok, Jakarta, ukuran 4X5 m2 selama setahun. Berikutnya, seiring usaha yang membesar, ia sanggup mampu membeli ruko berlantai empat di Plaza Harmoni, Jakarta, seharga Rp 100 juta. Tempat ini sejak 1993 sampai 2002 menjadi markas besar perusahaannya, dan baru pindah setelah Anthon membeli ruko empat lantai senilai Rp 2 miliar di Kompleks Ruko Atap Merah, Pecenongan, tempat SWA mewawancarainya Sabtu siang itu.

Perjalanan yang cepat ini tak ayal mengundang pertanyaan; apa sebenarnya yang menjadi resep berkibarnya Jakarta Express? Jurus apa yang dilancarkan Anthon?

Anthon punya penjelasan. Menurutnya, pada 1992, ada dua perusahaan travel yang ingin mengikuti langkahnya, fokus di bisnis wholesaler kamar hotel mancanegara. Namun, keduanya tutup. ?Bisnis ini butuh ketekunan dan upaya besar,? katanya. Ia menjelaskan, ketekunan serta kerja keras amat penting karena bisnis yang digeluti terbilang bermargin kecil (sayang, ia tak menjelaskan berapa marginnya). Kedua, upaya yang dilakukan terbilang tak sedikit dan melelahkan seperti mengedukasi pasar dengan melatih travel-travel agen kecil. Lalu, yang bersangkutan sendiri harus inovatif dalam membuat paket. ?Bisnis ini dipikir akan membuat cepat kaya. Padahal, membutuhkan integritas dan jangka panjang,? ujar.

Dengan merendah, suami Rita Sartika (42 tahun), mantan staf perusahaan travel, ini juga mengungkapkan, apa yang dipraktikkannya sejatinya bukanlah sesuatu yang teramat luar biasa. ?Saya hanya mengembangkan apa yang saya lihat. Lalu, saya kerjakan,? katanya dengan nada lembut. Dan itu semua dipraktikkannya berlandaskan prinsip yang menurutnya selalu dipegang erat: jujur.

?Saya tahu dia sejak ia bekerja di perusahaan orang lain. Ia orang yang sederhana,? ujar Herman Widjaja, Direktur Pengelola Binatama Tour. Kelebihan lainnya? ?Ulet dan mau memperbaiki diri terus-menerus.?

Komentar itu agaknya tak berlebihan. Mungkin perlu ditambah satu hal lagi: tak ragu berekspansi dengan cepat. Kini Anthon telah melebarkan sayapnya ke pelbagai kota. Ada 8 kantor cabang yang telah dibuka. Selain di Jakarta dan Surabaya, ia juga hadir di Bandung, Medan, Semarang, Batam, Bali dan Balikpapan. Yang hebat, di samping rentang penetrasinya terus melebar, bisnis Anthon juga makin variatif. Selain menjadi wholesaler pemesanan kamar hotel, sejak 1994 ia merambah ke bisnis wholesaler pemesanan tiket cruise — tiket kapal pesiar Star Cruise yang berlabuh di Singapura. Kemudian, pada 1995, ia menjadi General Sales Agent (GSA) tiket penerbangan.

Kini dari empat divisi usaha miliknya, sekitar 80% kontribusi pendapatan diraih dari wholesaler pemesanan tiket hotel, 12% dari wholesaler GSA airlines, 10% dari wholesaler cruise, dan 8% dari retail outlet yang belum lama didirikan untuk meluaskan penetrasi. Khusus pemesanan tiket hotel, kontribusi terbesar (80%) datang dari Singapura. Tak bisa dielakkan, Negeri Singa menjadi pasar utama usahanya. ?Sekitar 1,4 juta orang dari 2 juta orang yang ke luar negeri memiliki tujuan ke Singapura,? ujar ayah Laura (17 tahun), Mikail (16 tahun) serta Andrew (11 tahun) yang kini tinggal dan sekolah di Singapura ini mantap.

Sabtu siang itu di Pecenongan, Anthon memang terlihat mantap. Seperti nada bicaranya yang lembut, dalam diam, Jakarta Ekspress dibawanya melaju cepat. Secepat nasibnya yang berubah: dari pemandu wisata menjadi penguasa jaringan travel.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved