Listed Articles

Faktor Persepsi dan Pendekatan Jadi "Hantu" Kesuksesan

Faktor Persepsi dan Pendekatan Jadi "Hantu" Kesuksesan

Sedikit perempuan di tataran top level management disebabkan, salah satunya, perusahaan lebih banyak mencari SDM bergender pria. CEO pria lebih banyak dicari ketimbang wanita meskipun kecerdasan dan kemampuan wanita bisa bersaing dengan pria.

Pernyataan tersebut diungkapkan Managing Partner The Amrop Hever Group, Pri Notowidigdo. Menurutnya, ada dua faktor yang menjadi halangan perempuan yaitu persepsi dan pendekatan. Persepsi yang terbangun di masyarakat adalah masih banyak orang mempunyai mindset (pola pikir) terhadap wanita secara tradisional walaupun sudah banyak kemajuan dalam emansipasi wanita. “Suka ada pertanyaan dari klien saya kalau diajukan kandidat perempuan. Mereka akan bertanya, anaknya berapa? usia berapa? suaminya kerja apa? Kalau kandidat wanita harus milih antara prioritas kerja dan keluarga dia akan milih mana?” kata Pri memberi contoh.

Meskipun begitu, Pri mengakui banyak pemimpin perempuan yang sukses di Indonesia seperti Sri Urip, mantan Presdir dan mantan Preskom Unilever, Kartika Antono, mantan CEO April Group/RGM dan mantan CEO Indorent/Salim Group, Betti Alisjahbana, mantan CEO IBM, Rini Sumarno, mantan CFO Astra International dan mantan Menteri Perdagangan, dan Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan dan Managing Director The World Bank. “Kalau klien saya adalah orang asing, mereka lebih berkenan untuk memilih kandidat wanita. Tapi kalau klien saya adalah warga Indonesia, mereka cenderung memilih kandidat pria.”

Pri bercerita bahwa mengenai pendekatan, ada wanita professional terlalu lembut dan kurang tegas terutama bila harus menghadapi kolega atau atasan “macho.” Namun ada juga wanita profesional pendekatannya overkill jadi terlalu agresif. Namun setelah itu selalu muncul kembali pertanyaan dari kliennya yaitu Apakah wanita professional bisa memberikan “komitmen profesional penuh”? “Di tambah pertanyaan apakah bisa “fit” dengan budaya korporat dan terutama dengan atasan dan direksi yang lain? Apakah wanita profesional bisa nyambung dengan budaya korporatnya dari sisi visi pribadi, visi bisnis, dan nilai2 hidup?”katanya.

Selanjutnya, jika berbicara soal faktor pendekatan, perempuan seringkali berubah mood. Misalnya, saat menghadapi kolega atau atasan yang ‘macho’, perempuan cenderung terlalu lembut dan kurang tegas. Selain itu, ada pula perempuan yang terlalu agresif sehingga akan memunculkan pertanyaan apakah pekerja perempuan memiliki tingkat komitmen profesional yang penuh. Soal kemampuan di bidangnya, perempuan memang tidak diragukan. Tapi, Pri menambahkan bahwa soft skills atau pendekatan dalam konteks korporat di mana lebih banyak pria professional adalah tantangan buat wanita professional.

Pri menjelaskan bahwa berdasarkan A Practical Leadership Framework di mana ada empat faktor kunci untuk mendukung Leadership Capacity. Yang pertama adalah Role Relevant Experience (pengalaman kerja), Performance Leadership( eksekusi), Strategic Leadership (visi dan strategi), dan People Leadership (komunikasi, pendekatan). “Yang penting sebagai CEO adalah People Leadership. Seorang bisa pintar tapi kalau tidak bisa menyampaikan pesannya dengan baik, jelas, sopan, dan diterima oleh audience, dia kurang efektif sebagai pemimpin. ”katanya.

Langkanya pemimpin wanita, menurut Pri, tidak perlu sampai ada keberpihakan untuk memberi lebih banyak posisi ‘mapan kepada wanita. Ini bukan terkait ‘memanjakan’ wanita. Keberpihakan ternyata menghasilkan hambatan bagi wanita karena di masa depan, akan timbul pertanyaan di berbagai kalangan soal kualitas perempuan tersebut.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved