Listed Articles

Habis Ratelindo Terbitlah Esia

Oleh Admin
Habis Ratelindo Terbitlah Esia

Banyak jalan menuju Roma. Pepatah lama ini nampaknya dipegang teguh oleh Kelompok Bakrie (KB) dalam menggarap industri telekomunikasi. Bahkan, kegagalan investasi ratusan miliar rupiah pada proyek Ratelindo (Radio Telepon Indonesia) tak membuat mereka jera memasuki industri yang dipercaya berprospek sangat cerah ini.

Hadir dengan visi besar mengatasi keterbatasan telepon kabel dengan memanfaatkan teknologi komunikasi nirkabel, Ratelindo yang berdiri sejak 1993 hingga kini tak kunjung take off. Sejak awal, Ratelindo terlihat hanya sebatas pelapis PT Telkom sebagai pemain tunggal di industri telekomunikasi fixed line. Ratelindo terlihat kurang antusias melebarkan sayap dan hanya fokus pada wilayah yang sulit dijangkau Telkom, khususnya di Jakarta.

Setelah menggelinding hampir 10 tahun, coverage area Ratelindo masih sebatas pada wilayah Jabotabek — di sebelah selatan berbatasan dengan Cibinong, Cikarang di timur, Balaraja di barat dan Pulau Seribu di utara. Kualitas suara yang kurang jernih pun menjadi salah satu keluhan pelanggan yang tak kunjung mendapat perbaikan berarti. Sampai akhirnya, jumlah pelanggan Ratelindo terhenti pada angka 135 ribu sambungan satuan telepon.

Sebenarnya KB telah melakukan banyak hal untuk mengembangkan Ratelindo, termasuk melakukan investasi baru dalam rangka perluasan coverage area. Bahkan, setelah menyelesaikan restrukturisasi utangnya pada 2002, KB telah menetapkan Ratelindo sebagai salah satu ujung tombak bisnisnya. Hal ini didasarkan pada prestasi Ratelindo yang mampu menghadapi masa krisis ekonomi beberapa tahun lalu. Apalagi, teledensitas (tingkat kepadatan pengguna telepon) di industri telekomunikasi masih kecil, sehingga peluangnya masih sangat besar.

Sayang, teknologi yang diusung Ratelindo, yaitu E-TDMA (enhance time division multiple access) dinilai sudah tidak bisa dikembangkan lagi. “Teknologinya ini sudah mentok,? ungkap Yugiswara Salimun, Chief Marketing Officer PT Bakrie Telekom (BT). Namun, KB tidak langsung patah arang. Mereka percaya keterbatasan teknologi dapat diatasi dengan melirik teknologi lain. Pilihan pun akhirnya jatuh pada teknologi code division multiple access (CDMA). Teknologi ini dinilai paling realistis dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan KB. “Dari sisi investasi, CDMA relatif lebih murah dibanding teknologi lainnya,” Yugi menambahkan.

Berkaca pada kegagalan Ratelindo, KB terlihat sangat hati-hati dalam menggarap industri telekomunikasi ini. Mereka tidak ingin gagal dua kali. Karena itu, KB sampai membutuhkan waktu hampir setahun untuk memutuskan go dengan teknologi CDMA 2000-1X. Tidak hanya itu, pada RUPS KB beberapa waktu lalu, disepakati untuk mengubah nama PT Ratelindo menjadi PT Bakrie Telekom. Bersamaan dengan itu, mereka meluncurkan produk baru: Esia.

Investasi dalam jumlah besar pun digelontorkan BT untuk mengembangkan jaringan telepon berbasis CDMA ini. Tak kurang US $ 47 juta mereka siapkan untuk investasi di tahun pertama. Investasi ini pun akan terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu. “Dalam lima tahun, total investasi yang kami tanamkan akan mencapai US$ 450 juta,” Yugi menjelaskan.

Saat ini, untuk wilayah Jadetabek (Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi) atau untuk kode area 021, BT mengaku telah memiliki jaringan kuat dengan 38 base transceiver station (BTS). Sementara itu, untuk wilayah Bandung atau kode area 022, ada 10 BTS. “Sinyal yang kami miliki saat ini sudah cukup kuat,” terang Yugi. Toh, dia mengatakan, jumlah BTS bakal terus ditambah. “Saat ini konsentrasi kami masih pada pengembangan jaringan,” tuturnya.

Tidak hanya jaringan dan teknologi yang menjadi fokus perhatian BT, tetapi juga pemasarannya. Tak tanggung-tanggung, untuk mendapatkan brand Esia, BT menggunakan jasa konsultan merek: Interbrand. Bahkan, jauh sebelum produknya diluncurkan, BT telah menggelar kuis berhadiah pulsa seumur hidup bagi pemenangnya untuk menebak nama operator ini. Tujuannya, dijelaskan Yugi, memancing rasa ingin tahu masyarakat terhadap produk ini. “Kami sangat serius dalam menggarap Esia,” ujarnya. Hal ini dapat dimaklumi. BT tidak ingin nasib Esia sama seperti Ratelindo. “Banyak pelajaran yang kami petik dari Ratelindo,” tambahnya.

Ia mengungkapkan, performa Ratelindo sebenarnya tidaklah terlalu buruk. “Sampai tahap terakhir, kami masih bisa menjual 1.000-1.500 sambungan baru setiap bulan,” ujarnya. Hanya, kembali karena keterbatasan teknologi, Ratelindo tidak dapat menambah kapasitasnya lagi. “Dan, sampai saat ini pelanggan Ratelindo tetap kami maintain,” ujar Yugi.

Kini, BT sangat optimistis dengan produk dan teknologi yang mereka usung. Yugi mengatakan, BT percaya bahwa teknologi yang dipilih saat ini adalah pilihan yang tepat: secara global CDMA saat ini memang tengah mengalami pertumbuhan pesat. “Di Cina, telepon berbasis CDMA hampir mengalahkan GSM,” paparnya. Hal yang sama juga terjadi di Korea, Jepang dan negara-negara Amerika Latin.

Selain itu, BT juga merasa beruntung dengan izin yang dikantonginya, yaitu daerah Jakarta dan Jawa Barat. “Income per capita penduduk di kedua daerah adalah terbesar di Indonesia,” tutur Yugi. Karena itu, ia pun yakin, daya beli masyarakat di Jakarta dan Jawa Barat juga lebih tinggi dibanding daerah lain.

Yugi mengatakan, masuknya Esia ke pasar telepon fixed wireless bukan berarti menantang PT Telkom yang hadir lebih awal dengan Telkom Flexi. “Potensi pasarnya amat besar dan kami tidak merasa bersaing dengan Telkom,” tegasnya lagi. Di sisi lain, Telkom Flexi pun tak merasa tersaingi oleh kehadiran Esia. ?Ada atau tidak ada Esia, kami tetap jalan terus,? ujar Alex Sinaga, Kepala Divisi Fixed Wireless PT Telkom. Soalnya, senada dengan Yugi, Alex juga berpendapat, potensi pasar yang bisa dimanfaatkan oleh industri telekomunikasi Indonesia masih sangat besar. Saat ini, jumlah sambungan telepon, baik public switch telephone network maupun seluler masih di bawah angka 20 juta. Padahal, berdasarkan teori ekonomi makro, dengan jumlah penduduk yang ada, Indonesia harusnya memiliki 40 juta sambungan telepon.

Karena itu, Alex juga menampik anggapan bahwa keberadaan telepon fixed wireless ini akan memakan pasar operator seluler. “Demand-nya masih lebih besar daripada supply,” ujarnya. Lagi pula, dengan keterbatasannya — tidak bisa roaming — telepon fixed wireless jelas membidik segmen yang berbeda dari operator seluler. Telkom Flexi sendiri, sampai saat ini telah menjaring 209 ribu pelanggan, dan sampai akhir 2003 ditargetkan jumlah pelanggannya mencapai 385 ribu.

Yugi sependapat dengan Alex. Kehadiran Esia, katanya, merupakan salah satu alternatif sambungan telepon bagi konsumen yang tidak selalu bepergian ke luar kota. Menurutnya, kadang orang hanya perlu memakai telepon bergerak, tapi masih di wilayah yang sama. “Kami menawarkan alternatif telepon yang lebih bijaksana bagi konsumen yang lebih banyak menggunakan telepon untuk keperluan dalam kota,” katanya.

Meskipun masih terdapat banyak kekurangan, minat masyarakat terhadap telepon fixed wireless ini cukup besar. Esia, yang ditawarkan dalam dua varian, Esia Home dan Esia City, dalam satu bulan pertama telah terjual 40-50 ribu paket perdana. Hingga akhir tahun ini, kata Yugi, BT menargetkan meraih 150 ribu pelanggan di Jadetabek dan Bandung. Angka tersebut, ia menerangkan, merupakan perkiraan konservatif. “Kami tidak ingin terlalu jumawa memasang target,” ujarnya.

Dalam hal pemasaran, Esia terlihat sangat agresif. Lihat saja, iklan produk ini sangat mudah dijumpai di mana-mana. Tidak hanya di berbagai media cetak dan elektronik, tapi juga di banyak media luar ruang. Merujuk pada data Nielsen Media Research, Esia telah menghabiskan Rp 7,7 miliar untuk mengomunikasikan produknya di berbagai media, atau Rp 1 miliar lebih besar dibanding Telkom Flexi. “Sebagai produk baru, iklan merupakan suatu kewajiban,” ungkap Yugi.

Dalam strategi komunikasinya, Esia memilih cara yang berbeda dari Telkom Flexi. Telkom Flexi lebih mengedepankan harga murah sebagai keunggulannya, sedangkan Esia pada emotional benefit, yaitu komunikasi sebagai kebutuhan dasar manusia untuk berinteraksi. “Kami tidak pernah menyebutkan kalau telepon ini lebih murah,” ujar Yugi. Menurutnya, functional benefit hanya cocok untuk mencapai tujuan jangka pendek.

Yang lebih membedakan Esia dari Telkom Flexi, bahkan dari operator GSM sekalipun, adalah dalam hal distribusi, khususnya untuk melayani pelanggan yang lebih senang dengan pola prabayar. Di samping tetap menggunakan sentra distribusi voucer layaknya pemain lain, BT mengembangkan pola sendiri: menggandeng para pedagang rokok di pinggir jalan dengan cara memberikan rombong rokok kepada mereka secara cuma-cuma. “Syaratnya hanya satu, mereka harus jual voucer Esia,” tegas Yugi.

Menurutnya, cara itu dipilih karena pihaknya tidak ingin ketersediaan voucer menjadi penghambat pengembangan pemasaran produknya. “Kami memilih mengembangkan distribusi terlebih dulu sambil terus mengembangkan customer based,” ungkap Yugi lagi. Saat ini, di wilayah Jakarta sudah terdapat 300 rombong rokok Esia. Jumlah ini akan bertambah menjadi 1.000 unit pada akhir 2003.

Yugi mengatakan, karena investasi dilakukan secara bertahap, sulit bagi mereka menentukan titip impasnya. Hanya, berdasarkan pengalaman perusahaan yang menggunakan teknologi CDMA, titik impas dicapai dalam waktu 3-5 tahun. “Amannya, nilai ARPU (average revenue per unit — pendapatan rata-rata per unit) harus mencapai Rp 120 ribu,” katanya.

Walau cukup happy dengan mengantongi izin pada dua daerah ?gemuk?, untuk terus menambah jumlah pelanggannya, BT akan mengajukan permohonan menjadi operator di daerah-daerah lain. Yugi mengatakan, proses ini akan dilakukan secara bertahap. Lagi pula, karena industri yang digeluti adalah fixed wireless, proses perizinan harus dilakukan per area. “Kami menargetkan meraih 3 juta pelanggan dalam lima tahun,” tuturnya. Untuk itu, selain terus mengembangkan jaringan, BT juga akan bekerja sama dengan para ATPM ponsel CDMA.

Ke depan, persaingan operator telepon berbasis CDMA akan semakin ketat. Saat ini beberapa perusahaan seperti PT Indosat, PT Wireless Indonesia dan PT Mobile 8 Telecom sudah mengantongi izin sebagai operator telepon yang mengusung teknologi CDMA. Telkom pun terus menambah jumlah BTS-nya. Sampai akhir Oktober, dituturkan Alex, Telkom menargetkan membangun 174 BTS di Jabotabek. Bagaimanapun, ini harus diperhitungkan BT dalam memenetrasi pasar telepon berbasis CDMA.

Riset: Vika Octavia.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved