Listed Articles

Henry Koenaifi: Mengincar Properti di Prime Area

Oleh Admin
Henry Koenaifi: Mengincar Properti di Prime Area

Proyek jalan tol Jakarta-Bumi Serpong Damai (BSD) menjadi saksi bisu kekecewaan Henry Koenaifi. Bukan karena jalur bebas hambatan itu macet, tapi di salah satu ruas proyek (jalur BSD-Ulujami) masih terkatung-katung penyelesaiannya. Barisan beton penyangga tol yang kokoh itu tampak melumut, beberapa bagian sambungan jalannya terpotong dan ditumbuhi ilalang. “Boro-boro soal macet, lha wong pembangunannya saja sampai sekarang masih mangkrak,” ujarnya kesal. Gara-gara pembangunan tol yang telantar itulah investasi properti Henry kacau.

Semuanya berawal tahun 1990-an. Kala itu rencana pembangunan Jakarta Outer Ring Road (JORR) menjadi buah bibir masyarakat. Termasuk Henry yang terpukau dengan megaproyek itu. Dari tiga ruas JORR — BSD-Bintaro, BSD-Pondok Indah dan BSD-Ulujami — ternyata jalur terakhir yang hingga kini tidak jelas nasibnya. Padahal, Henry sudah membabi buta membeli beberapa rumah, tanah dan ruko di sekitar Bintaro yang dekat jalan tol yang direncanakan itu. Ia berharap, harga properti di kawasan itu cepat terkatrol begitu ketiga jalan tol tadi direalisasi.

“Ternyata perhitungan saya meleset,” kenang Presdir PT Central Sari Finance itu sedih. Mulurnya realisasi jalan tol mengakibatkan harga tanah di daerah itu merangkak tipis dan cenderung stagnan. “Faktanya dalam tempo 10 tahun harga tanah di Bintaro hanya naik 2-3 kali lipat. Bandingkan dengan kawasan Kelapa Gading, yang dalam kurun waktu sama harganya terkerek 10 kali lebih,” ujar MBA dari Universitas Monash, Australia ini.

Kini, Henry tidak percaya lagi jika ada orang yang optimistis harga tanah di Bintaro segera terkatrol karena jalan tol itu kabarnya segera terwujud. “Saya tidak percaya nanti, yang penting sekarang pembangunannya sudah dilanjutkan atau belum. Sebab, yang namanya investasi itu dengan asumsi akan dijual kembali dan perlu pertimbangan soal risiko, seperti musibah yang tak terduga,” Henry mewanti-wanti.

Tentu, Henry tidak mau mengulang pengalaman pahitnya. Sejak saat itu, ia melancarkan dua strategi penting dalam berinvestasi properti. Pertama, pilih di prime area. Kendati harganya agak tinggi, nantinya lonjakan harga bisa diharapkan. Properti yang termasuk prime area, antara lain di Kelapa Gading, Puri Indah dan Lippo Karawaci. Sebagai gambaran antara Kelapa Gading dan Sunter meski sama-sama di Jak-Ut, perkembangan Kelapa Gading lebih dahsyat, sehingga selisih harganya pun jauh. Sekitar 8 tahun silam, dijelaskan Henry, harga tanah di Kelapa Gading sekitar Rp 1 juta/m2, sekarang Rp 4-5 juta. Dalam kurun waktu sama, tanah di Sunter hanya naik dari Rp 700 ribu/m2 menjadi Rp 1-2 juta/m2. Kedua, menguasai seluk-beluk daerah yang diincar. “Setelah saya pindah dari Sunter ke Bintaro, saya tidak berani investasi lagi di Sunter, karena tidak lagi mengikuti perkembangan daerah itu,” papar Henry, kelahiran Pematang Siantar, 24 Agustus 1959.

Sesungguhnya, sebelum berinvestasi properti di Bintaro, Henry pernah membeli rumah di Sunter pada 1986. Kemudian ia menjualnya kembali dengan tujuan menangguk untung dari momen lompatan harga tanah di Kelapa Gading. Kala itu ia pasang iklan jual rumah dan tiga bulan berikutnya transaksi. “Membeli properti yang dekat prime area lebih menguntungkan ketimbang yang lokasinya tidak jelas. Selain susah menjualnya, harga pun bisa terancam melorot,” pehobi jogging ini mengingatkan.

Ditambahkan Henry, karakter pasar ruko lebih sensitif. Alasannya, semua orang harus bisa melihat lokasinya. Ruko di sentra bisnis lebih cepat laku, meski harga lebih tinggi dibanding ruko di area perumahan. Toh, dari semua jenis properti yang dimasukkan portofolionya, Henry mengaku tanah paling menguntungkan. Ada dua pertimbangannya, pertama, tanah tidak perlu biaya perawatan. Kedua, jika terjadi kenaikan harga properti, yang terpengaruh duluan bukan dari sisi bangunan, melainkan tanah. Bukan berarti pula, ia asal tubruk ketika membeli tanah. Kuncinya, pilih tanah yang luasnya di bawah 300 m2 agar likuid, karena banyak orang butuh. Jika ukurannya ribuan m2, lebih sukar melepas.

Ketertarikan Henry di dunia properti, lantaran ia merasa aman dan enjoy membiakkan duitnya di instrumen ini. Apalagi, sebelum krismon tidak ada cerita harga properti turun. “Sampai saat ini saya pikir lonjakan harga properti masih paling gede ketimbang instrumen lain,” ujarnya beralasan. Maka, porsi investasi di aktiva tetap dipertahankan sebesar 50%. Bentuknya: rumah, ruko dan tanah.

Di samping properti, keranjang investasi Henry kedua berupa deposito dengan alokasi 50%. Simpanan berjangka yang dilakukan sejak 1984 ini dipecah fifty-fifty dalam mata uang rupiah dan US$. Aneh memang, dalam kondisi bunga deposito tidak menarik, Henry ngotot mempertahankan porsi deposito begitu besar. Idealnya, investor mencari alternatif instrumen lain yang lebih kompetitif. Ia berargumen, “Tujuan deposito US$ saya bukan untuk mengejar penghasilan tambahan, tapi sekadar perlindungan nilai. Ini untuk persiapan biaya sekolah anak.” Ia sadar, secara historis nilai tukar rupiah dari tahun ke tahun turun, sedangkan US$ tidak. Padahal, biaya pendidikan di dalam dan luar negeri naik terus.

Petualangan investasi Henry tak luput dari risiko merugi. Sepanjang 2000-01 adalah masa prihatin baginya ketika bermain saham. Saat itu, ia tergoda ajakan teman mengadu peruntungan di surat berharga ini. Namun, setelah rugi cukup besar, ia memutuskan berhenti. “Saya heran, meski saham yang dibeli saat itu namanya bagus-bagus, tapi kok rugi juga,” katanya bingung sembari menyebut beberapa nama saham dari sektor perbankan, manufaktur dan properti. Ia menegaskan, “Begitu saya memutuskan cut, maka putus hubungan itu berlaku untuk jenis investasi sekaligus emosionalnya.”

Selain pengalaman getir berinvestasi saham dan properti, Henry mengaku pernah pula mereguk nikmatnya jualan rumah. Pengalaman untung dirasakan ketika menjual tempat tinggal di Sunter. Pada 1986 rumah tadi dibeli seharga Rp 29 juta, dan laku Rp 250 juta pada 1993. “Saya awalnya tidak menyangka akan terjadi kenaikan harga sebesar itu,” ujar mantan Tim Pengelola Bank Jaya dan Bank Bali itu.

Kelak, komposisi investasi Henry direncanakan berubah menjadi: 50% properti, 25% deposito US$ dan 25% reksa dana (sebagai pengganti investasi deposito rupiah). “Dengan catatan reksa dana memang menguntungkan. Untuk itu, sekarang saya coba dulu masuk,” ungkap mantan staf IBM Indonesia, yang mulai melirik reksa dana karena belakangan banyak fund manager agresif menawarkan produknya. Baginya, reksa dana boleh juga, lantaran ada yang investasinya fokus di obligasi pemerintah.

Kendati tidak memiliki penasihat investasi pribadi, Henry sudah puas dengan sepak terjang investasi yang ia lakoni. Ia sadar betul tipikal investasinya konservatif, sehingga tidak boleh macam-macam. Kiatnya, bentuk investasi mesti proporsional, enjoy, plus belajar dari kesalahan. “Kalau kita tidak nyaman, bukannya pleasure yang didapat, melainkan pressure. Apa pun bentuk investasi yang pernah gagal, tidak akan saya pikirkan kembali,” ungkap eksekutif berkacamata minus berperawakan sedang ini.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved