Listed Articles

Jalan Berliku Brother Temukan Mutiara yang Hilang

Oleh Admin
Jalan Berliku Brother Temukan Mutiara yang Hilang

Bagaimana rasanya ditinggalkan Dewi Fortuna? Yoshihiro Yasui, 65 tahun, tahu betul jawabannya: menyakitkan. Sewaktu muda, Presiden dan Chairman Brother Industries ini merasakan nikmatnya berada di pelukan kejayaan. Di tahun 1960-70-an, siapa tak kenal Brother? Kaum ibu dan gadis muda, mengenalnya sebagai mesin jahit jempolan di samping merek lain, Singer. Yang lain, mengenalnya sebagai merek mesin tik andalan. Kedua peranti itu tak hanya menghuni rumah-rumah, tapi juga perkantoran.

Namun, zaman berputar, teknologi pun berkembang begitu pesat. Awal 1980-an, Yasui merasakan pil pahit dinamika itu. Seiring kian sedikitnya wanita yang menjahit pakaian di rumahnya masing-masing (dan tumbuhnya industri garmen di beberapa belahan dunia), penjualan mesin jahit Brother pun terjun bebas. Hal yang sama terjadi pada mesin tiknya. Senada laju pesatnya dunia komputer, mesin tik — termasuk mesin tik Brother — pun banyak yang ditinggalkan di gudang untuk jadi barang kenang-kenangan.

Semula Brother mencoba bertahan. Eksperimen ke produk lain juga dikembangkan sebagai alternatif mesin pertumbuhan yang baru. Dalam rangka melebarkan kisaran produk, dibuatlah beberapa produk baru, di antaranya organ elektrik, microwave oven, dan mesin cuci. Namun, apa mau dikata. Karena brand Brother terlampau identik dengan mesin tik dan mesin jahit, nasib produk-produk baru ini sangatlah muram. Publik rupanya tak percaya mesin jahit atau mesin tik Brother sebagus organ dan mesin cucinya.

Dipepet keadaan, Yasui tak mau menyerah. Ia yakin, meski organ dan mesin cuci jeblok di pasar, sumber pertumbuhan baru tetap harus dicari untuk menyelamatkan perusahaan yang dirintis kakeknya pada 1908 dengan bendera Yasui Sewing Machine Co. ini. Maka, akhir 1980-an, sebagai Eksekutif Direktur Pengelola, Yasui pun tak segan meluncurkan perubahan besar-besaran terhadap jalur bisnis perusahaan yang berganti nama menjadi Brother Industries Ltd. pada 15 Januari 1934. ?Sebuah perusahaan hanya dapat bertahan bila ia bisa beradaptasi terhadap perubahan,? ujar Yasui pada kolega-koleganya.

Apa yang dilakukan lulusan Massachussetts International of Technology itu? Dipanggilnya para teknisi muda untuk memunculkan ide-ide bisnis yang bisa mentransformasi nasib perusahaan. Mengapa anak-anak muda yang dipanggil, ini tak terlepas dari pengamatannya. Yasui melihat, sebagai perusahaan tua, banyak karyawan yang sulit sekali diajak untuk mengubah pola pikir. Mereka resisten terhadap ide-ide mencari sumber pertumbuhan baru sekalipun tampak jelas permintaan-penjualan atas mesin tik dan mesin jahit berjalan bak siput.

Dari anak-anak muda ini, lahirlah 30 ide pembaruan. Yasui mengambil tiga saja: mesin fotokopi berwarna, mesin faksimile, dan menjual software videogame lewat vending machine. Inilah tiga ide yang diharapkan memberi hasil positif di tengah mendung yang menggayuti perusahaan warisan sang kakek.

Seperti tak henti didera cobaan, harapan ini, sementara waktu tak bersinar terang. Perjalanan Yasui membawa Brother meniti perubahan core business, tidaklah semulus impian. Dari sisi karyawan, resistensi kembali muncul. Rupanya, tak mudah mengubah pola pikir SDM di perusahaan tradisional. Mereka menganggap sang pemimpin berjudi terlalu besar. Menyikapinya, Yasui tak henti turun langsung ke lapangan untuk meyakinkan mereka. Dia meluangkan waktu hari demi hari mengunjungi pabrik dan kantor untuk menjelaskan mengapa perusahaan mesti berubah.

Namun, dari sisi penjualan, keadaan benar-benar menyedihkan. Mesin fotokopi berwarna dan bisnis videogame segera terjerembab tanpa ampun karena pasar tak menerima. Sementara itu, prospek untuk bisnis mesin faks juga masih suram. Dan lagi-lagi ini semua karena brand yang ekuitasnya lemah. Di industri mesin faks, nama Brother tenggelam dalam bayang-bayang Sharp dan Matsushita.

Telanjur meyakini mesin tik dan mesin jahit tak bisa diandalkan, dan bahwa sumber-sumer pertumbuhan baru mesti terus digarap apa pun kondisinya, Yasui tak segera melempar handuk putih. Lelaki berkacamata ini tak mengenal kata menyerah, yang boleh jadi akan membuatnya tampak hina di mata karyawan. Khusus untuk mesin faks, ia hakul yakin, potensinya masih besar asalkan digarap dengan benar. Dan pada titik kritis ini, ia melihat potensi pasar di Amerika Serikat, di mana mesin tik Brother sempat mendapat pengakuan yang cukup besar di negeri itu, harapan bisa ditanamkan. Di negeri adidaya itu, Brother mendirikan Brother International Corporation USA pada 1954.

Berbekal keyakinan yang masih tebal, dikirimnya seorang karyawan yang masih muda ke AS. Tugasnya cuma satu: meriset pasar. Belakangan, tugas ini dijawab sang karyawan dengan jawaban singkat, tapi menawarkan harapan baru, yakni: Masyarakat bisa menerima hadirnya mesin faks baru, asalkan bermodel cantik, dan dengan harga lebih murah ketimbang produk yang sudah beredar.

Segera setelah menerima jawaban semacam itu, Yasui pun menitahkan teknisinya untuk mengembangkan dengan cepat mesin faks yang sesuai keinginan publik AS. Maka lahirlah mesin faks seharga US$ 399, yang berarti lebih murah US$ 100 ketimbang pesaingnya. Saat itu, kalender menunjukkan tahun 1992, sementara produk yang dihasilkan disebut Fax-600.

Perjalanan menuju peluncuran Fax-600 tidaklah mudah. Para teknisi Brother bekerja keras bukan cuma mengalihkan presisi teknologi dari mesin tik dan mesin jahit ke mesin faks, tapi juga mesti memangkas jalur pengadaan sampai 40%, dan membuat suku cadang sendiri ketimbang membeli dari pemasok luar agar bisa menghasilkan produk murah. Segala hal mulai dari desain, pengembangan, sampai tes produk, juga kudu dilakukan secara simultan. ?Kami sangat putus asa, tapi saat itu, itulah jalan keluarnya,? kata Yasui mengenang.

Kerja keras itu terbayar tuntas. Fax-600, segera menjadi produk laris di AS. Dan setelah itu, nasib Brother bergulir dengan cepat: dari pecundang jadi pemenang. Terutama setelah di tahun 1995 Yasui memeragakan kecerdasannya sebagai alumni MIT. Tahun itu, ia meluncurkan sebuah revolusi: menciptakan mesin faks yang juga memasukkan fungsi mesin fotokopi, printer, dan pemindai (scanner). Maka, bum … produk yang disebut compact fax machine ini laris bak kacang goreng, sekaligus mempercepat pertumbuhan bisnis mesin faks Brother dan benar-benar menggusur posisi bisnis inti sebelumnya, mesin tik dan mesin jahit.

Yasui dikatakan cerdas karena ia pandai melihat tren yang berkembang. Saat itu, kian populerlah small office home office (SOHO). Bak cendawan di musim hujan, bermunculan para wirausahawan yang bukan hanya membutuhkan kantor kecil dan peralatan kerja yang efisien, tapi juga mobile.

Akhirnya, perlahan-lahan, perjudian superberani itu pun terbayar tuntas. Sejak 1995, mesin faks Brother terus meraup sukses. Buntutnya, laba, mutiara yang hilang itu ditemukan kembali sehingga pundi-pundi perusahaan yang sempat mengempis, terus membengkak. Per 31 Maret lalu, seperti dikutip Far Eastern Economic Review, Juli 2004, perusahaan mencetak rekor penjualan hingga mencapai 425 miliar yen (US$ 3,9 miliar). Investor pun mengganjar dengan pantas, harga saham Brother juga terus naik, meningkat lima kali lipat. Juni lalu, mencapai 1.000 yen/saham.

Kini, sekalipun menjadi pendatang baru di pasar, Brother menempati posisi kedua di pengiriman mesin faks ke AS setelah Hewlett-Packard, mengacu pada riset pasar yang dilakukan Gartner Dataquest. Data lain menunjukkan, Brother adalah pengirim mesin faks terbanyak nomor dua ke Eropa dan nomor tiga di Jepang, setelah Sharp dan NEC. Compact fax machine-nya sendiri, buat Brother kini menjadi bagian penting denyut kehidupan dengan kontribusi 60% nilai total penjualan. Sementara itu, mesin jahit hanya menyumbang 15%, dan mesin tik cuma 1%.

Kesuksesan ini, tak ayal mengundang pujan buat Yasui. Ia dijuluki The Rising Japan. ?Brother tahu bagaimana caranya mengambil keuntungan dari teknologinya dan kemudian melakukan reinventasi dirinya,? ujar Takeshi Ishizuka, analis senior di Mizuho Securities, Tokyo.

Yasui sendiri tak terlalu melambung dengan puji-pujian. Belajar dari pengalaman, ia sadar betapa dinamika zaman cepat menggilas siapa yang terlena plus lamban. Kini, alih-alih berpuas diri, ia terus mencari inovasi buat mesin faksnya. Ia tak mau Brother ditinggalkan lagi Dewi Fortuna.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved