Listed Articles

Juragan Besi Tua dari Madura

Oleh Admin
Juragan Besi Tua dari Madura

Meski yang digelutinya adalah bisnis besi tua alias rongsokan, H. Muchaji tak selalu berada di sekitar tumpukan besi tua yang karatan dan berbau oli. Kantornya pun tidaklah pengap dan amburadul. Kantor pengusaha asal Madura ini, di Jl. Logistik, Jakarta, begitu nyaman, tertata rapi dan wah. Keramik-keramik Cina berukuran besar nongkrong manis di ruangan kantor itu. Di ruang tamu, terdapat gebyog berukir asal Jepara yang panjang dan indah. Di ruang kerja, semua perangkat mebelnya buatan Jepara dengan ukiran yang indah pula. Di belakang meja kerjanya, juga terdapat gebyog berukir yang tak kalah indah. Seluruh isi ruangan yang serba berukir dan tertata rapi itu seakan-akan memberi isyarat bahwa yang punya memang berselera tinggi.

Muchaji mulai menapaki Kota Jakarta pada 1976. Orang tua dan keluarganya adalah pebisnis barang antik di Surabaya. Terbawa arus kawan-kawannya, ia malah berbisnis besi tua. Mulanya, cuma membantu usaha teman-temannya sebagai penyuplai besi tua atau sekadar menjadi penghubung alias broker. Lama-kelamaan, karena usaha ini memberikan keuntungan lumayan, ia keterusan. Ia tak betah lagi sekadar menjadi penyuplai. Apalagi, setelah ia mengetahui liku-liku bisnis ini dan memiliki jaringan. Akhirnya, pada 1980 Muchaji memberanikan diri terjun langsung ke bisnis ini, ia mendirikan CV Victory. “Rasanya peruntungan saya memang di sini. Jadi, saya terjun sekalian. Telanjur basah,? tutur Muchaji.

Bisnis besi tua, menurutnya, tidak memerlukan pendidikan tinggi. Ia mengaku cuma lulusan SMA di Kota Pahlawan. “Mungkin orang berpendidikan tinggi justru malah ndak mau menyentuh bisnis ini,” katanya dengan logat Madura yang kental. “Prinsipnya, dalam bisnis ini cuma diperlukan keberanian. Selebihnya, insting,” tambahnya.

Mengapa? “Karena risiko ruginya sangat tinggi,” jawabnya. Ia menjelaskan, ketika membeli besi tua, baik berupa kapal maupun bangunan pabrik, si pengusaha dituntut untuk dapat memperkirakan dengan tepat nilai barang dalam waktu singkat. Terlebih, sistem yang dipakai adalah borongan. “Artinya, bila penilaiannya tepat, bisa mereguk untung besar. Sebaliknya, jika perkiraan salah, ya langsung buntung atau rugi besar,? ujar Muchaji datar.

Untuk menjadi penaksir jitu, menurutnya, dibutuhkan insting tajam dan jam terbang tinggi. Tidak bisa langsung jadi. Ia pernah rugi ratusan juta rupiah karena salah taksir. “Waktu itu saya perkirakan barang seberat 1.000 atau 1.300 ton, ternyata cuma 800 ton,” tuturnya mengenang. Karena belum berpengalaman, ketika itu ia tak bisa memperkirakan secara tepat berat kapal di dalam laut.

Dalam menjalankan bisnis, Muchaji tidak hanya fokus pada kapal tua. Bidikannya meluas sampai ke pabrik yang tak berfungsi. Meski demikian, cashflow-nya lebih banyak disumbang oleh kapal-kapal usang yang dibelinya, kemudian dilego lagi. Caranya, kapal tua yang usang dan tidak bisa dipakai, dipotong-potong dan dijadikan tumpukan besi tua. Lalu, dijual ke pabrik peleburan. Jika kapal masih dalam keadaan baik, akan ia renovasi dan perbaiki, kemudian dijual atau dioperasikan sendiri. Muchaji memang tidak asal cuap. Ia kini memiliki PT Bestindo Citra Samudra, perusahaan pelayaran yang didirikan pada 2000. Kini, Bestindo memiliki dua kapal yang banyak dicarter pelanggan untuk pengiriman barang.

Orang nomor satu di Victory ini menjelaskan, pemotongan besi kapal mati menggunakan tenaga manusia. Untuk mengangkatnya, digunakan alat penderek, baru dipotong lebih kecil-kecil lagi, kemudian diangkut ke truk-truk dengan alat penderek pula. “Tempat pemotongan kapal jelas ndak di sini. Ini kantor utama. Pemotongannya di daerah lain,” jelasnya tanpa menyebut nama daerahnya.

Jika yang dibeli berupa bangunan pabrik, Victory menjualnya secara terpisah. Maksudnya, tanah, besi tua dan mesin dijual sendiri-sendiri. Penjualan secara terpisah seperti itu, menurut Muchaji, jauh lebih menguntungkan. Ia menolak menyebutkan beda margin keuntungannya dibanding jika dijual borongan. “Yang jelas, pasti ada nilai tambahnya, sebab mesinnya kan kami perbaiki dulu. Begitu juga tanahnya, kami bikin rata dan rapi,? kilahnya. Ia juga tak bersedia berbagi angka soal keuntungannya.

Bagaimana Muchaji memperoleh barang-barang buruannya? “Kami ikut tender. Juga, aktif mencari informasi dari surat kabar. Dan, yang lebih penting lagi, jaringan pertemanan,” tuturnya. “Teman saya dalam bisnis ini banyak, tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan, sampai Singapura dan Jepang,” imbuhnya bangga. Dengan hubungan baik itu pula, ia pernah membantu pabrik peleburan dalam pembelian besi tua di Jepang. “Saya dipercaya untuk mengkalkulasi dan melihat kondisi kapal tua oleh pabrik peleburan tersebut,” katanya sembari tersenyum.

Menurut Muchaji, hubungan antara pemasok seperti dirinya dan pabrik peleburan seperti hubungan anak-ayah. Ketergantungannya sangat tinggi. Toh, ia senang karena sampai kini ia boleh dibilang anak kesayangan pabrik. Ia mengaku tak pernah menunggu lama untuk pembayarannya. Dua atau tiga hari setelah memasok barang, ia sudah menerima uang dari mitra bisnisnya. Laki-laki ini setiap bulan bisa menyuplai 2-3 ribu ton besi tua ke beberapa pabrik peleburan di Jakarta, Surabaya dan Medan. Tentu saja, Victory tak dapat memenuhi semua kebutuhan itu sendiri. Karena itu, ia menjalin kerjas ama dengan sekitar 100 pemasok kecil. Sayang, lagi-lagi ia tutup mulut ketika ditanya soal omsetnya.

Pengusaha ini membagi pasokan besi tua berdasarkan kedekatan jarak dengan pabrik peleburan, di Jakarta, Surabaya dan Medan. Saat ia mendapat kapal tua atau pabrik di Medan, misalnya, besinya dipotong-potong dan dijual di daerah itu. Jika barang didapat di lokasi yang dekat dengan Surabaya, ia menjualnya di kota itu juga. Namun, pasokan terbanyak ke pabrik peleburan di Jakarta, karena angkutannya mudah. Untuk membawa kapal mati, biasanya Victory mengangkutnya dengan tongkang atau ditarik menggunakan tack-boot sewaan. Jika membeli kapal tua yang tenggelam, harus diapungkan lebih dulu dengan cara memompa airnya agar keluar dan kemudian ditarik.

Muchaji tak mau setengah-setengah menekuni bisnis ini. Itu sebabnya, berkaitan dengan pekerjaan menyelam dan mengapungkan kapal, Muchaji mendirikan PT Satyadi Sindutama. Hal itu untuk memenuhi aturan pemerintah yang mewajibkan pelaku bisnis di bidang ini memiliki izin menyelam. Selain itu, penyelamnya juga harus yang berpengalaman dan diasuransikan. Peralatannya pun harus memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Bayaran penyelam sebesar Rp 150-300 ribu/hari, sesuai jam terbang. Kadang perusahaan lain pun ikut menggunakan jasa Satyadi Sindutama.

Muchaji menilai, bisnis ini sulit dipercayakan kepada orang lain. Menurutnya, perusahaan seperti ini mesti dijalankan sendiri. Itulah sebabnya, di mana pun tempat barang yang akan dibelinya, ia selalu menyurvei sendiri dan mengamati langsung keadaan barang, kecuali kalau yang dibeli kapal tenggelam. “Bukan masalah tidak percaya terhadap karyawan, tapi karena karyawan kurang berani mengambil kesimpulan,” ia menerangkan.

Menjalankan bisnis ini, diakui Muchaji, amat tergantung pada pinjaman bank. Soalnya, uang yang dipertaruhkan makin lama makin banyak. ?Bisa mencapai Rp 2 miliar sekali gebuk,? ia menandaskan. Padahal, ketika memulainya dulu, ia hanya bermodalkan Rp 300 juta. “Bisnis ini membutuhkan mental baja dan muka badak,” katanya sambil ngakak. Maksudnya? “Si pengusaha harus tahan uji untuk menerima segala kemungkinan, sampai yang terburuk, dan tidak menyerah. Muka badaknya, karena harus berani malu terus-menerus mencari bank agar bisa membeli barang.”

Ia mengaku punya utang bertumpuk-tumpuk. Toh, ia tetap getol menekuni bisnis besi tua. ?Hidup-mati saya di sini. Tapi, saya tidak ingin anak-cucu ikut terjun ke bisnis ini. Berat!” ujarnya. Kenapa ia bertahan? “Ya, karena tidak bisa berbisnis atau bekerja di luar bidang ini,” jawabnya bercanda.

Toh, Muchaji bersyukur, karena bisa memberi makan sekitar 500 karyawan (100 di antaranya pekerja tetap). “Alhamdulillah, yang penting cukup bisa makan bersama karyawan,” ujarnya, ketika ditanya pendapatannya. “Saya sudah senang kalau bisa makan bersama karyawan,” kata pria yang gemar membantu anak-anak yatim di pondok-pondok pesantren itu, merendah.

Terhadap karyawannya, Muchaji melakukan pendekatan emosional. Semua diperlakukan sama tanpa pilih kasih. Ia mengibaratkan, bila dia makan pakai bandeng, semua karyawan juga makan bandeng. Namun, jika terpaksa makan teri, semua juga makan teri. “Tapi jangan khawatir, semua karyawan saya bayar di atas UMR (upah minimum regional — Red.),” ia menandaskan.

Reportase: Farida Nawang Nurini

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved