Listed Articles

Juragan Replika Pesawat dari Pelosok Bogor

Oleh Admin
Juragan Replika Pesawat dari Pelosok Bogor

Keterampilan Harto membuat miniatur pesawat ini diperoleh secara agak kebetulan. Setelah bisnis desain papan reklamenya di bilangan Gajah Mada, Jakarta Barat, gulung tikar, ia bekerja di perusahaan yang menekuni bisnis perlengkapan dan cenderamata tentara. Dari sinilah, ada yang memesan dua unit model pesawat RG milik British Airlines.

Tanpa pengalaman, ia berusaha memenuhi permintaan tersebut. Setelah bertanya kanan-kiri, ia baru tahu, bahan bakunya adalah serat fiber (atau resin) yang kebetulan mudah diperoleh di Bogor. Berkat ketelatenannya, ia mampu menyelesaikan kedua miniatur itu dalam 30 hari. “Saya ternyata mampu juga membuatnya, meskipun hanya coba-coba,” katanya agak heran dengan bakatnya. Untuk pesanan tersebut, saat itu (1983) ia dibayar Rp 400 ribu. “Saya tidak menghitung biaya produksi saat itu, tapi saya merasa senang sekali bisa melihat hasilnya,” ujarnya.

Dari situlah Harto mulai termotivasi untuk mengembangkan bakat terpendamnya. Makin dijalani, pengalamannya dan keterampilannya pun bertambah. Misalnya, untuk membuat model pesawat yang baik, ternyata ada beberapa sudut yang harus dipertahankan. “Banyak hukum konstruksi pesawat yang harus dipatuhi,” katanya.

Setahun berselang, lewat seorang leveransir (perantara) bernama Raharjo, ia mendapat tawaran membuat replika pesawat dari Garuda Indonesia. Raharjo selama ini menggarap pesanan vandel dari maskapai nasional ini. Sayangnya, ketika mengikuti tender, leveransirnya tidak menang, kalah dari segi mutu dan harga dibanding leveransir lain. Namun, harap maklum, pemenang tender tersebut konon membawa produk miniaturnya langsung dari pabrikan Boeing di Amerika Serikat.

Tiga bulan berikutnya, leveransir pemenang tender menyetor pesanannya ke Garuda. Di luar dugaan, model pesawat yang disodorkan itu dikomplain Garuda karena mutunya tidak sesuai dengan contoh yang dibawa ketika tender. Raharjo pun mencoba maju lagi. Kali ini Raharjo berhasil meyakinkan Garuda dan mendapat order untuk pengadaan sekitar 500 unit model pesawat berbagai jenis. Saat itu, harga jual dari Harto ke Raharjo sebagai leveransir sekitar Rp 75 ribu/unit untuk tipe Boeing 747 ukuran 30-60 cm. Menurut Harto, karena saat itu bahan bakunya relatif murah, keuntungannya bisa mencapai 150%-200%.

Sejak 1990, melalui beberapa leveransir, Harto mulai kebanjiran order membuat miniatur pesawat dari berbagai perusahaan penerbangan. Merpati, misalnya, memesan sekitar 400 unit yang terdiri dari F-100 dan Boeing 737-200 (panjang sekitar 50 cm) dengan harga Rp 75 ribu/unit.

Belakangan, peminat model pesawat ini bukan hanya perusahaan penerbangan, tapi juga para pehobi perorangan. Menurut pengakuan Harto, dari total omset yang diperolehnya, 50% berasal dari pehobi dan kolektor, dan 50% lagi dari berbagai perusahaan penerbangan, yakni Mandala, Bouraq, Batavia, Lion Airlines dan Garuda. Adapun order pemesanan untuk perusahaan penerbangan asing seperti SQ, British, Malaysia Airlines, Qantas dan Cathay Pasific, diperolehnya lewat para agen dan pedagang cenderamata. “Sekitar 70% aircraft model dari perusahaan penerbangan asing, dibuat di sini,” katanya, mengklaim. Namun, umumnya order dari perusahaan penerbangan bersifat musiman, dan tidak semua perusahaan rutin mengorder.

Dengan 11 karyawan mingguan dan 20 tenaga borongan, paling tidak dalam sebulan OAM bisa memproduksi sekitar 400 unit replika ukuran 15 dan 20 cm. Rata-rata per tenaga bisa mengerjakan sekitar 10 unit replika/minggu dengan ukuran 15 cm dan 20 cm.

Harto mengaku secara umum tidak merasa kesulitan membuat replika pesawat. Hanya, bila jenis pesawat yang dimodelkan dari luar negeri, komponennya sulit didapat di Indonesia, seperti baut untuk penyangga yang hingga kini belum ditemukannya. “Dari desain, kami bisa menyerupai,” katanya. Paling tidak dengan total investasi Rp 75-100 juta kini OAM telah memiliki berbagai peralatan untuk mendukung pekerjaannya seperti kompresor, alat air brush, mesin bubut, bor tangan dan mesin pengamplas.

Sayangnya, dalam memasarkan produk replika pesawatnya, peran leveransir masih terlalu dominan, sehingga margin yang diterima OAM tidak begitu besar. Paling tidak, saat ini ada 6 leveransir yang rutin datang ke workshop milik OAM di SBJ Cangkrang, Dramaga, Bogor. “Hampir seluruh leveransir yang menjadi pemasok perusahaan airlines memesan replika tersebut pada saya,” katanya.

Dengan produksi sekitar 400 unit/bulan, Harto memperkirakan omset perusahaannya Rp 40-50 juta/bulan. Sejauh ini yang paling diminati adalah replika berukuran 30 cm dengan harga jual ke leveransir Rp 125 ribu/unit. Saat ini, OAM sedang mengerjakan pesanan dari beberapa perusahaan penerbangan. Mandala, misalnya, memesan sekitar 225 unit untuk tiga jenis model pesawat.

Untuk mengasah kemampuannya, Harto mengaku rajin membaca majalah terkait yang memuat beragam tipe pesawat yang pernah diproduksi. Bukan itu saja. Mengingat di Indonesia mulai bermunculan beberapa perusahaan penerbangan berjadwal baru, ia pun mempelajarinya. “Kami hanya mengantisipasi jenis pesawat yang akan mereka gunakan,” katanya.

Menurut ayah tiga anak ini, untuk membuat replika, kita harus mengetahui karakter pesawat. Membuat Boeing, misalnya, jangan sampai moncong kepalanya kelihatan seperti milik Airbus. ?Banyak pembuat miniatur yang justru punya kelemahan di situ,? ujarnya. Selain karakter pesawat, menurut dia, hal lain yang harus dikuasai adalah tehnik painting dan finishing, yang pada gilirannya akan menentukan harga jual. Selain itu, letak logo yang merupakan kebanggaan maskapai, sedapat mungkin bisa menyerupai aslinya. “Di sinilah kekuatan kami,” katanya.

Boy Adrian, salah satu leveransir yang memasok miniatur pesawat ke Garuda, mengakui, dibanding home industry replikasi pesawat lainnya, hasil kerja OAM lebih bermutu. ?Begitu pula harga jualnya, bagi leveransir relatif murah,? katanya. Boy memesan miniatur dari Harto sejak 1997, dan jumlahnya sangat beragam tergantung permintaan perusahaan penerbangan. “Hampir seluruh miniatur pesawat komersial bisa dibuatnya,” katanya lagi.

Untuk mengembangkan bisnisnya, Harto ingin bermitra. Dikatakannya, beberapa investor berminat menggandengnya untuk meningkatkan produksi dengan menggunakan mesin. “Ini sedang kami pertimbangkan,” katanya.

Riset: Darandono/Asep Rohimat.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved