Listed Articles

Kala Reformasi Berjalan Setengah Hati

Oleh Admin
Kala Reformasi Berjalan Setengah Hati

Benar kata orang bijak, hidup memang seperti roda. Dan nasib adalah setipis kulit ari, bisa terkoyak begitu mudah. Lihatlah pengalaman PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo). Beberapa tahun lalu, tak sedikit fresh graduate yang sangat berhasrat bergabung dengan BUMN ini (95% sahamnya dikuasai pemerintah). Mereka tergiur iming-iming gaji besar (bisa tiga kali gaji karyawan Bea Cukai untuk posisi sejenis, misalnya pengawas), kursi empuk, plus aneka fasilitas nyaman. Maklum, sebagai BUMN, Sucofindo hanya sedikit kalah pamor dibanding Indosat, Telkom dan Tambang Timah.

Namun, itu dulu. Kini, Sucofindo sedang lesu. Perhatikan data sekaligus perkembangan berikut: sejumlah gedung (termasuk 11 kantor) dan tanah miliknya di 16 kota besar tengah dilego dan menanti pembeli; lalu, 1.200 dari total 4.000 karyawan sudah diputus hubungan kerjanya (PHK) dan mencari rezeki masing-masing (umumnya membuka kantor konsultan).

Sementara itu, arus kas — nah ini yang kabarnya gawat — juga diisukan kembang-kempis. Bahkan, guna melanjutkan operasional sehari-hari, Rp 140 miliaran harus disambat dari bank setelah laci kas kering dikuras Rp 120,9 miliar untuk kompensasi pelepasan karyawan. Lagu sedih ini akan makin panjang terlantun bila mendengar kabar kinerja keuangan selama dua tahun terakhir. Tahun 2001, rugi tercetak sebesar Rp 89,5 miliar, sementara tahun lalu rugi Rp 85,4 miliar.

Sucofindo yang dulu perkasa kini termehek-mehek. Tak salah bila orang bertanya, apa sebab semua ini terjadi? Mismanagement-kah?

Sebelum menjawab hal tersebut, ada baiknya waktu diputar ulang ke tahun 1985. Saat itu, karyawan Direktorat Bea Cukai resah bukan kepalang. Pasalnya, pemerintah memutuskan menyerahkan jasa inspeksi kepabeanan kepada Sucofindo. Rumor yang berkembang saat itu, seperti dituturkan Hoja, salah seorang karyawan Bea Cukai, pemerintah tidak memercayai Bea Cukai yang operasionalnya dianggap dipenuhi praktik tilep-menilep. Karena manajemen Bea Cukai tak siap mendapat keputusan ini, karyawan yang kena getahnya: jumlah mereka dipangkas. Lalu, yang dianggap tua dipensiunkan lebih awal, sedangkan yang masih berpotensi dialihkan menjadi widya iswara (tenaga pengajar) di Diklat Bea Cukai.

Pengalihan jasa ini membuat Sucofindo ketiban durian: menjadi gemuk. Bukan hanya karyawan, tapi juga bisnisnya. Belakangan, seiring jalannya waktu, beberapa usaha lain bahkan lahir seperti property management, konsultansi, manajemen agunan dan logistik. Tujuannya, untuk melengkapi jasa superintendent, bisnis intinya.

Sejatinya, menurut Zafar D. Idham, Presiden Direktur Sucofindo, perusahaannya sadar betapa pengalihan ini tak akan selamanya. Pasalnya, pemerintah sewaktu-waktu bisa menarik kembali jasa inspeksi kepabeanan yang memang selalu menjadi isu tarik-ulur antar- instansi terkait (mirip kasus penanganan BUMN: antara Depkeu dan Kementerian BUMN). Karena itulah, sejak 1991, manajemen perusahaan yang 5% sahamnya dimiliki SGS ini mulai berpikir mengantisipasi bila hari itu akan tiba: jasa inspeksi kepabeanan lepas dari tangan.

Sayang, karena jasa limpahan itu telanjur menguntungkan dan menimbulkan rasa nyaman, pemikiran yang mulai berkembang tersebut tak ditindakanjuti lebih serius. Secara psikologis, dikatakan Zafar, ada semacam ketakutan dalam diri warga Sucofindo untuk mengakui bahwa kenyamanan itu terancam hilang dan benar-benar akan terjadi. “Saya rasa itu manusiawi,” ujarnya. Sekadar catatan, perlahan tapi pasti, jasa kepabeanan menyumbang 48% dari total pendapatan BUMN ini. Maklum, ekspor-impor merupakan bisnis yang melaju kencang.

Baru pada 1994, pemikiran itu kembali didengungkan jajaran direksi. “Direksi kala itu sudah mulai mencoba membangun landasan,” ujarnya. Wujudnya, beberapa konsultan, termasuk Andersen Consulting (sekarang Accenture), diminta untuk mengkaji arah sekaligus model bisnis Sucofindo. “Kami minta mereka membantu melihat what is Sucofindo in the future?” ungkap mantan Direktur Operasional I ini. Di samping menyambat konsultan, kajian internal juga dilakukan melalui Tim Quality Improvement. Hasil semua kajian ini sama: mengantisipasi dicabutnya jasa kepabeanan, perusahaan memang harus segera merombak model bisnis. Pendek kata, transformasi mendesak untuk digelar, dari pembenahan struktural hingga SDM.

Sayang, lagi-lagi sayang. Semua informasi yang ada, menurut Zafar, hanya masuk lemari dan tidak diterapkan. Semuanya berjalan seperti biasa alias business as usual. “Trigger untuk implementasi ini belum timbul. Seakan-akan (kami) masih bisa bilang, ?ini bagus, tapi besok sajalah?,” kenang pria yang masuk Sucofindo tahun 1984 ini. Saat itu, ia melanjutkan, manajemen justru merasa ada hal lain yang lebih mendesak dikerjakan, seperti pembangunan laboratorium berikut pengembangan jasa-jasa baru. Manajemen juga berpikir, bila transformasi dilakukan, diperlukan tenaga sekaligus dana yang tak sedikit. Pendek kata, repot, rek!

Ternyata, perlu waktu lima tahun untuk menghapus ?amnesia? ini. Padahal, sebelumnya, sinyal yang diberikan pemerintah tentang akan dikembalikannya jasa kepabeanan pada Bea Cukai semakin berbunyi nyaring. Yakni, dengan munculnya UU Kepabeanan No. 10/1995. Peraturan ini di antaranya menyebutkan bahwa wewenang Bea Cukai akan mencakup inspeksi Ekspor-Impor yang notabene merupakan jasa kepabeanan. Ini sejalan dengan fungsi standar Bea Cukai di seluruh dunia, terlepas apakah pemerintah percaya atau tidak pada aparatnya.

Karena implementasi UU tersebut tak bisa langsung direalisasi, manajemen Sucofindo tetap tenang, seperti tak akan ada badai bertiup. Baru pada akhir 1999, dijelaskan Zafar, manajemen seakan-akan disadarkan dari tidur panjang sehingga kembali membongkar file-file lama berisi kajian konsultan dan tim internal.

Memasuki tahun 2000, semua kajian warisan tahun sebelumnya dipelajari kembali diikuti pembentukan tim awal perumusan transformasi. Saat itu, tiga keputusan penting dilahirkan: (1) perubahan mulai digelar Mei 2001; (2) perlunya dilakukan reorganisasi dan pengurangan karyawan secara bertahap; (3) melakukan benchmark pada beberapa perusahaan global yang berhasil melakukan perubahan, salah satunya General Electric.

Pemimpin perubahan dipercayakan pada Bagian Pemasaran dan Pengembangan Usaha, dan melibatkan beberapa orang dari unit-unit bisnis dan supporting. Kemudian, untuk kedua keputusan tersebut, ancar-ancar waktunya diperkirakan berakhir pada 2003. “Prediksi kami, baru pada 2003 jasa kepabeanan akan dicabut,” kata Zafar.

Orang boleh berasumsi terhadap sesuatu yang sudah diantisipasi sebelumnya. Namun, dalam kasus Sucofindo, keterlambatan mengeksekusi hal-hal yang sudah dikaji, ternyata harus dibayar mahal. Pemerintah akhirnya benar-benar menjatuhkan bom: mengembalikan jasa inspeksi kepabeanan pada Bea Cukai. Waktunya? Aha, inilah problemnya buat Sucofindo: Juli 2001! Artinya, lebih cepat dari perkiraan manajemen.

Ujungnya mudah ditebak. Seperti roda berputar, kasus ?Bea Cukai 1985? pun tanpa ampun terulang. Bedanya, giliran Sucofindo yang ketiban sial. Bagaimana tidak? Jasa kepabeanan menyumbang 48% dari total pendapatan. Dicabut di tengah ketidaksiapan (seharusnya sih sudah siap!) membuat lampu merah benar-benar menyala terang sebagai tanda bahaya.

Sebenarnya, manajemen BUMN ini berupaya cepat tanggap untuk menyelamatkan diri begitu palu kepastian Juli 2001 jatuh berdentum. Dibentuklah Tim Arah yang mengkaji percepatan transformasi. Hasilnya?

Dari sisi model bisnis, diputuskan perusahaan akan kembali fokus pada bisnis yang dipandang menjadi core-nya: superintendent yang melayani jasa supervisi, inspeksi, pengujian dan pengkajian (SIPP). Adapun beberapa bisnis lain, property management, konsultasi, manajemen agunan dan logistik, dihapuskan.

Kemudian, yang cukup mendasar, bisnis yang dulu dipasarkan sembarang, diupayakan ditata lebih rapi. Agar semakin fokus dan jasa SIPP mudah dijual, pasar yang menjadi target disegmentasi. Maka, muncullah 10 Strategic Business Unit (SBU) yang masing-masing dipimpin seorang General Manager, di antaranya Sucofindo International Certification Services, Government and International Institution Services serta Industrial and Consumer Products Services. Selain itu, guna mendukung kerja 10 SBU itu, dibentuk pula 7 divisi korporat yang mengurusi masalah internal dan korporat. Sebelumnya, ada 24 unit kerja dengan berbagai level dan bentuk (lihat SBU dan Divisi Sucofindo).

Strategic Business Unit Sucofindo

Divisi Sucofindo

Lalu, seiring dibuatnya struktur baru, SDM yang akan menempati SBU dan Divisi juga ditata ulang. Pemangkasan jumlah karyawan memang tak bisa dielakkan karena berkurangnya pekerjaan, tapi caranya adalah dengan melakukan screening terlebih dulu. Artinya, tidak main ?cukur? begitu saja. Bagi yang tidak lolos, harus rela keluar kapal. Namun, sebelum mengikuti screening, ditawarkan program Mutual Termination Agreement (MTA). “Kami sampaikan ke seluruh karyawan, tidak mungkin kapal berjalan dengan kondisi seperti ini. Akan tenggelam kalau dipaksakan, (sehingga) terpaksa ada awak yang ditinggalkan,” papar Zafar.

Sebenarnya juga, seluruh langkah ini dibuat dengan pemikiran yang sekomprehensif dan semenguntungkan mungkin. Secara bisnis, misalnya. Dengan adanya SBU, cara pandang terhadap bisnis diubah dari competence oriented menjadi market oriented. “Dulu, pokoknya kami jual jasa. Siapa saja yang mau beli, silakan,” tutur Zafar. Dengan kata lain, perusahaan mencoba melayani keinginan pasar.

Adapun dari sisi keberadaan divisi, organisasi dibuat menjadi lebih ramping. Sebelumnya, selain ada 24 unit kerja, sering terjadi pembengkakan struktur organisasi tanpa pemikiran panjang. Terkadang, bila ada proyek atau pekerjaan baru, lahir struktur baru. Sekarang, semuanya diefisienkan. Contoh, bila dulu ada bagian Keuangan dan Akuntansi yang terpisah, kini disatukan dalam satu divisi. Dengan langkah reorganisasi, Zafar menegaskan, semua proyek baru harus masuk dalam SBU mana yang sesuai karakter bisnisnya.

Itu dari sisi bisnis, dari aspek SDM pun, perubahan diupayakan seminimal mungkin menimbulkan konflik. Program MTA, umpamanya. Menurut Zafar, keputusan yang ditawarkan ini bukan diambil sepihak melainkan hasil negosiasi terbuka antara karyawan yang diwakili Serikat Pekerja Sucofindo (SPS) dan pihak manajemen. Kedua pihak juga membuat contingency plan (rencana darurat) untuk mencari solusi bila timbul masalah.

Memang, dari sisi SDM, karena kerja sama yang cukup apik, proses negosiasi MTA hanya berlangsung singkat. Oktober-November 2001, gelombang pertama pelepasan karyawan selesai dengan waktu eksekusi penyelesaian tanggung jawab berlangsung pada 31 Desember 2001. Namun, dari sisi bisnis, akibat bertele-tele merealisasi beragam kajian yang dirintis sejak 1994, situasi menjadi parah ketika Juli 2001 benar-benar tiba: Sucofindo limbung karena sumber pendapatan utamanya terenggut. Ini tak ubahnya nasib PT Tambang Timah yang kondisi keuangannya langsung berdarah-darah begitu para penambang liar di Bangka Belitung begitu agresif menjual hasil produksinya ke pasar dunia.

Memasuki tahun 2002, seiring penggenjotan bisnis-bisnis yang ada, penataan juga lebih digalakkan, khususnya dalam SDM. Karyawan kembali di-screen ulang untuk menempati struktur organisasi perusahaan, terutama mengisi layer di bawah direksi.

Sayangnya, di sini persoalan keterlambatan berpacu dengan waktu — yang justru sangat diperlukan — muncul. Karena ingin mencari orang-orang terbaik yang akan diserahi SBU, Sucofindo melakukan tes tidak hanya pada orang yang langsung berada di bawah direksi, tapi juga hingga dua lapis di bawahnya. Akibatnya, pengisian lapisan elite ini memakan waktu lama. Baru pada Januari 2003, posisi satu lapis di bawah direksi ini bisa terpenuhi. Berikutnya, baru Maret 2003, seleksi untuk posisi lapisan selanjutnya dibentuk.

Untuk urusan pertemanan, keterlambatan mungkin bukan perkara besar. Orang bisa berkata, ?Cingcai lah!? Namun dalam bisnis, hukum besi berlaku kejam: barang siapa terlambat, dia akan tersikat. Begitulah yang dialami Sucofindo. Dari sisi bisnis, akibat 48% usaha yang hilang belum sepenuhnya bisa tergantikan usaha-usaha yang ada — terlebih pesaing terus merangsek — tahun 2002 pun akhirnya berjalan sekelabu tahun sebelumnya: rugi puluhan miliar.

Seorang karyawan Sucofindo, sebut saja Fideliono, mengungkapkan, awalnya karyawan sempat optimistis dengan pembaruan model bisnis berikut struktur organisasi. Akan tetapi, lambat laun optimisme ini menyusut untuk kemudian pudar di hati banyak karyawan. Penyebabnya?

Dari aspek bisnis, dikatakan Fidel, karena infrastruktur SDM tak terisi dengan rapi, proses kegiatan usaha menjadi terhambat. “Konsep SBU-nya sih lebih baik, tapi buat apa jika perangkatnya tidak disiapkan dengan baik. Percuma,” ucapnya emosi. Ia mengaku makin kesal karena orang-orang yang ditempatkan di posisi tertentu dinilainya tidak begitu siap di posisinya. Menurutnya, screening kerap didasarkan pada kompetensi semata tanpa menimbang jam terbang. “Memang pintar, bahkan ada lulusan S-2. Tapi (karena) belum pernah ditempatkan di bidang itu, akhirnya keteteran menghadapi pekerjaannya,” katanya tanpa merinci.

Penyebab lain, timpal Debian (juga bukan nama sebenarnya), adalah kepemimpinan manajemen yang dinilainya tidak menampilkan keseriusan untuk mengatasi persoalan, terutama tahun 2001-2002 saat situasi makin memburuk. ?Contohnya, kadang untuk rapat saja mesti digelar di hotel. Mana sense of crises-nya?? ujar mantan karyawan yang kini berbisnis bersama rekan-rekannya sesama ?alumni? Sucofindo. Belum lagi, ia berbisik, ada mantan Direksi yang di tengah situasi kacau-balau seperti itu masih sempat main band di kantor di sela-sela kerja. ?Nggak ngerti saya, dia kok bisa seperti itu,? katanya penuh nada masygul.

Bisikan Debian yang begitu sensitif ini memang tak mudah dibuktikan kecuali oleh orang-orang dalam Sucofindo sendiri. Akan tetapi, kalau memang itu yang terjadi, alangkah ironisnya. Yang pasti, ia melanjutkan, kondisi ini membuat ia beserta banyak karyawan lain lebih memilih MTA ketimbang di-screen ulang untuk menempati posisi dalam struktur baru. ?Saya tak melihat ada masa depan,? ujarnya pesimistis. Maret lalu, ia akhirnya termasuk karyawan yang menggenapi jumlah 1.200 orang yang keluar bergelombang sejak Desember 2001.

Berlarutnya persoalan SDM untuk mengisi struktur yang baru, ujar Budi W. Soetjipto, pengamat manajemen dari Universitas Indonesia, karena Sucofindo melakukan kesalahan tambahan. Kesalahan pertama, sudah pasti, bermain-main dengan waktu dan tidak menyegerakan transformasi bisnis kendati tahu sewaktu-waktu bisnis jasa kepabeanan akan lepas. Kesalahan kedua, manajemen lalai dalam membuat profil karyawan sehingga ketika waktunya diperlukan menjadi serba lambat dan bertele-tele. Ia menduga ini semua akibat bagian SDM tidak terlibat secara strategis dalam perusahaan. “Bagian SDM hanya dianggap sebagai objek. Kalau dianggap subjek, harusnya mereka dilibatkan dalam perumusan strategi sehingga ada dimensi SDM-nya,” ucapnya.

Terlepas dari analisis tersebut, satu fakta muncul begitu memasuki tahun 2003. Karyawan yang melihat perusahaannya tak lagi memiliki masa depan sehingga mengajukan MTA, membuat Sucofindo harus merogoh kocek lebih dalam. Buntutnya, seperti disinggung di awal, BUMN ini seperti sudah jatuh ditimpa tangga: sementara bisnis sedang seret-seretnya, harus mengucurkan dana kompensasi PHK. Akhirnya, tak heran jika properti dijual dan bank disambat untuk membuat perusahaan tetap berjalan.

Lantas, apa yang akan dilakukan Zafar, yang baru diangkat menjadi CEO pada Desember 2002? Benarkah Sucofindo tak punya lagi setitik asa?

“Kami sadar perubahan ini membuat sistem saraf kami memerlukan waktu untuk mengarah ke kondisi stabil,” kata Zafar. Menurutnya, ibarat menyetel radio, setelah perubahan struktur mendasar bisa diselesaikan, kini ia memasuki fase fine tuning.

Dalam konteks fine tuning ini, pada aspek tertentu seperti SDM, Zafar mengakui memang belum sepenuhnya menggembirakan. Berkurangnya 48% pekerjaan utama, katanya, menyebabkan beban pekerjaan masih di bawah kapasitas yang dimiliki. Mereka yang masih under utilized pun belum bisa secara langsung berpartisipasi dengan cepat dalam perubahan.

Secara bisnis, Zafar mengungkapkan, pihaknya kini menerapkan prinsip mengkaji ulang profitabilitas tiap SBU secepat mungkin. “Kami pikirkan kalau ada unit kerja yang tidak profitable, apa yang harus dilakukan secepatnya, ditutup atau di-downgrade,? katanya. Dalam hal ini, ia mengklaim sudah menilai SBU mana yang prospektif dan mana yang tidak. Hasilnya? Kendati tak menyebut angka pasti perihal kinerja keuangan tiap SBU, ia hanya menyatakan, sejauh ini dua SBU terlihat oke: Government and International Institution Services dan Mineral Services.

Dalam hemat Trisno Handoko, Konsultan Senior PT Daya Dimensi Indonesia, menyusul tranformasi yang sudah ada, sebaiknya manajemen Sucofindo melakukan tiga hal agar terus bertahan di tengah segala keterbatasan. Pertama, kendati tiap SBU memiliki kompetensi inti dalam menjalankan perannya sebagai revenue generator, semuanya harus saling memberi dukungan dan compliment.

Kedua, manajemen harus selalu melakukan strategic board di level kepala SBU yang memungkinkan adanya pertukaran informasi, kompetensi dan dukungan satu sama lain. Strategic board ini berperan mengembangkan jaringan informasi yang menyeluruh agar setiap SBU tidak terkotak-kotak secara rigid.

Ketiga, di tengah penataan SDM dalam struktur organisasi baru, manajemen perlu mengembangkan dan menyebarluaskan budaya organisasi yang utuh. “Seluruh pegawai harus tetap merasa sebagai pegawai Sucofindo, bukan pegawai SBU,” tegasnya. Ini agar tetap tercipta sifat saling mendukung dan memberi compliment.

Zafar sendiri optimistis, Sucofindo wajah baru yang ramping masih mampu melangkah ke depan dengan kepala tegak. Memang tak mudah, karena selain hanya dua SBU yang prospektif, para pesaing juga terus menggempur sehingga jika salah melangkah, Sucofindo yang letoy bisa makin terjerembap. Inilah harga mahal yang harus dibayar akibat keterlenaan di tahun-tahun sebelumnya. Akibat reformasi dilakukan setengah hati.

Riset: Vika Okcavia.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved