Listed Articles

Kaus Promosi, Sang Penyelamat

Oleh Admin
Kaus Promosi, Sang Penyelamat

Sebuah kaus. Warna, tulisan dan logo bisa beragam. Bisa hijau dengan logo Bank Permata atau kaus berwarna merah dengan logo HM Sampoerna. Bisa juga di belakang atau depan kaus itu tertera tulisan dengan tema tertentu. Sebuah pesan memang ingin disampaikan lewat kaus. Begitulah memang kaus promosi didesain. Selebihnya, boleh jadi tak ada yang istimewa dari kaus promosi.

Namun, tidak bagi PT Media Solusindo (MS). Kaus promosi itulah justru yang menjadi darah untuk tetap memompa denyut perusahaan. Sejak 2003, MS memang fokus menggarap ladang bisnis kaus promosi dengan sasaran bidik korporat. Dan, dalam tempo singkat, MS berhasil menjaring puluhan perusahaan papan atas, antara lain Bank Permata, Carrefour Indonesia, Matahari Putra Prima, Sri Ratu Pasaraya Group, Asia Dept. Store Group, Susanna Baby Shop Group, Artomoro Dept. Shop, HM. Sampoerna Tbk., Semen Gresik, UBM Biscuits, Wings Surya, Vitas Energy Drink, Petrokimia Gresik, Golf Petrokimia Gresik, Petrosida Gresik, Petrokimia Kayaku, Avia Avian, Sariguna Prima Tirta, Intiboga Sejahtera, BAT Indonesia, Atlas Sport Club, Pabrik Mie Kuda Menjangan Panahmas Tritama, Srikandi Mulia Holding Company, Sasmita Putra (Teh Asli), Planet Elektronika, Norton Hamplas, dan PLN.

Ketika musim kampanye legislatif dan pemilihan presiden beberapa waktu lalu, MS juga kecipratan order membuat kaus promosi dari berbagai partai, semisal PDI Perjuangan, Partai Patriot Pancasila, dan Partai Bulan Bintang. “Produk kami malah sudah terbang ke Hong Kong dan Afrika,” ungkap Direktur MS, Gershon Prasetya. Merambah pasar ekspor ini memang tidak dilakukan MS sendiri, melainkan oleh salah satu klien MS.

Menurut Gershon, meski MS fokus hanya menggarap lini bisnis kaus promosi, tidak berarti pihaknya melenggang sendirian. “Di pasar ceruk ini, tingkat persaingannya cukup tinggi,” katanya. Ia menambahkan, pasar pembuatan kaus promosi juga menjadi andalan perusahaan garmen dan agensi yang sudah cukup mapan. Umumnya para pemain lama ini sudah memiliki klien tetap, baik korporat maupun lembaga. “Amat sulit sebenarnya bagi pemain baru menembus pasar ini. Kami bisa karena kehendak Tuhan dan upaya yang tidak kenal lelah,” papar pria berusia 34 tahun yang dikenal religius ini.

Sebagai pemain baru, MS ternyata hanya butuh waktu tak lebih dari dua tahun untuk unjuk gigi. Dalam tempo singkat, puluhan perusahaan papan atas memercayakan pembuatan kaus promosi ke tangan MS. “Kami tidak mempunyai jurus atau strategi khusus untuk bisa memperoleh order dari perusahaan-perusahaan besar,” ungkapnya. Order dari Carrefour, misalnya, didapat karena pihak Carrefour sendiri yang menelepon dan meminta pesanan. Yang terpenting, dikatakan Gershon, menjaga kualitas. “Jangan sampai jatuh hanya karena iming-iming harga rendah. Kalau jatuh, yang kena dampak pertama bukan pemesan tapi produsen kaus,” tandasnya. Ia mengaku sering menolak order yang menawarkan harga terlalu rendah per potong, walaupun secara teknis pihaknya bisa mengerjakan.

Ketika mendekati klien pun, MS tak sekadar jualan, melainkan tampil layaknya konsultan garmen. “Kami kerap memberi nasihat dan saran kepada klien,” kata Gershon, yang sebelum melakukan transaksi, harus mengetahui dengan gamblang peruntukan kaus promosi itu. “Yang pertama kali kami tanyakan adalah kaus akan digunakan untuk momentum apa, buat siapa, dan bujetnya berapa,” ia menjelaskan. Informasi seperti ini penting karena berkaitan dengan penentuan harga dan kualitas kaus. “Kaus yang akan dipakai Wali Kota, misalnya, diharapkan memiliki kualitas baik karena Wali Kota merupakan salah satu pembentuk opini di masyarakat,” tambahnya.

Konsultasi tersebut tetap berjalan meski pesanan pertama sudah dipenuhi dan pesanan kedua dalam proses produksi. Pasalnya, kerap terjadi klien datang membawa contoh kaus dengan harga lebih rendah dari perusahaan lain. Karena contoh kaus dibawa, ia bisa langsung memberi penjelasan karakteristik dan kualitas kaus itu. “Setelah itu, keputusan melanjutkan atau mengalihkan order ke perusahaan lain kami serahkan sepenuhnya kepada klien,” tutur Gershon.

Diakui Gershon, kecepatan proses produksi juga menjadi fokus perhatian MS. Semisal, MS pernah mendapat order 2.500 kaus dari Bank Permata. Hanya saja, bank itu memberikan tenggat (batas waktu) penyelesaian tiga hari. “Bayangkan, menerima order pada 2 Desember sore dan harus sudah selesai 5 Desember 2004, pagi lagi,” ceritanya. Order itu ibarat buah simalakama. Kalau ditolak jelas akan menurunkan kepercayaan, sementara kalau diterima waktunya sangat mepet. Toh, akhirnya order diterima. “Saya ikut turun memberi support kepada karyawan dan syukurlah kami mampu menyelesaikan sebelum jam deadline,” ucapnya.

Kecepatan proses produksi MS, diakui Vivi Budijanto, Manajer Promosi Ritel Bank Permata, sebagai keunggulan MS. Menurut Vivi, ketika menggelar proses tender pengadaan kaus promosi itu, hanya MS yang menyanggupi tenggat yang diminta pihaknya. “Peserta tender lain mengundurkan diri begitu harga dan kualitas dikaitkan dengan waktu pengerjaan yang tidak lebih dari tiga hari,” ujar Vivi, yang mengakui hasil yang diterimanya juga bagus. “Saya tidak tahu bagaimana proses produksinya, mungkin mereka mempunyai ready stock kaus sehingga tinggal sablon saja,” katanya.

Mampu mengerjakan ribuan kaus dalam tempo singkat dengan kualitas bagus sepertinya hanya bisa dilakukan segelintir perusahaan. Maklum, ini jarang dilakukan oleh korporat garmen ritel, yang untuk tahap desain saja butuh waktu berbulan-bulan. MS pun fleksibel untuk pesanan minimal, misalnya mau melayani 100 hingga 1.000 potong. Padahal, beberapa perusahaan sejenis tidak mau menerima order di bawah 1.000 potong dengan alasan tidak ekonomis.

Kendati demikian, Gershon mengaku kemampuan MS memproduksi kaus sebagai media promo sebenarnya biasa-biasa saja. “Tidak ada yang istimewa. Begitu pula mengenai kecepatan, mungkin sama dengan yang lain, bahkan boleh jadi kalah dibanding perusahaan serupa di Jakarta,” paparnya. Hanya saja, dalam hal mesin, diakuinya MS tidak segan-segan melakukan penggantian dalam waktu maksimal tiga tahun. “Kalau tidak kami ganti, justru akan memperlambat proses penyelesaian,” katanya. Pergantian mesin itu sangat penting, karena dalam kurun tertentu biasanya beberapa bagian mesin sudah ada yang mulai aus. “Sehingga besar kemungkinan akan mengalami gangguan yang berakibat pada perlambatan proses produksi,” ia menjelaskan.

Sebagai alat produksi, mesin jelas menjadi jantung produksi. Tak heran MS memiliki semua mesin, mulai dari mesin jahit, obras, sablon, mesin potong dan bordir — semuanya impor dari Jepang. “Sekarang, kami masih terus berbenah diri. Kami sedang mempelajari tawaran profil mesin khusus untuk packaging dari Cina. Katanya mempunyai kecepatan tinggi dibanding menggunakan tenaga manusia,” ungkapnya. Untuk mesin sablon sendiri, MS terobsesi memiliki mesin seperti yang dimiliki perusahaan flexible packaging. Semisal Cerruti R960 8 warna yang bisa dikontrol menggunakan komputer. “Tingkat presisinya bisa dikendalikan dan diandalkan selain tentu saja mempunyai kecepatan begitu tinggi,” Gershon menjelaskan. Untuk memberikan kualitas terbaik, MS juga mempelajari teknik celup sebagaimana dilakukan perusahaan sekelas Benneton sehingga kecepatan sablon lebih tinggi. “Tidak seperti sekarang, masih memakai mesin-mesin sablon seperti yang ada di pasaran,” ungkapnya.

Dari sisi alur produksi, MS juga melakukan kerja seefektif dan seefisien mungkin. MS mempunyai mesin potong yang mampu memotong 1 piece sekali potong. Saat ini, MS memiliki 70 mesin jahit yang mempunyai kemampuan sampai 4 ribu pieces per hari. Sementara mesin sablon, 2 ribu potong sekali proses. Untuk alur produksi, semua unit sudah memahami deskripsi pekerjaan masing-masing, sehingga proses produksi berjalan dengan baik meski Gershon sering tidak memonitor langsung.

Untuk satu unit produksi, setiap harinya, mesin potong akan melakukan pemotongan sekitar 1.000 pieces. Pada saat bersamaan, bagian desainer juga mempersiapkan diri, terutama pada pembuatan screen (film). Alhasil, saat kaus sudah dipotong, screen siap dan langsung masuk ke proses penyablonan berlanjut ke bagian pengobrasan kemudian masuk mesin jahit. Waktu yang dibutuhkan untuk menjahit 1.000 pieces sekitar dua jam. Proses selanjutnya adalah bagian pembersihan benang dan packaging. Diakui Gershon, bagian ini membutuhkan waktu paling lama.

“Maklum, masih menggunakan tenaga manusia,” kilahnya. Untuk 1.000 potong, waktu yang dibutuhkan sekitar empat jam. Menjelang sore, sekitar pukul 15.00, sebanyak 1.000 kaus sudah masuk ke ekspedisi dan siap kirim. “Jadi, kami tidak mempunyai kaus yang dalam kondisi ready. Yang ready cuma stok kain kaus, sehari-hari rata-rata 40-100 ribu pieces,” ia menguraikan. MS sendiri memiliki lebih dari dua unit produksi. “Kami tidak bisa menyebutkan jumlahnya karena kalau ketahuan kompetitor, kami bisa dikremus,” katanya. Yang pasti, MS membagi dua unit produksi: kapasitas besar dan kecil. Besar untuk pesanan rutin dan kecil untuk pesanan mendadak yang jumlahnya ratusan potong sekali pesan..

Untuk memberikan hasil terbaik, tak hanya peralatan mesin yang menjadi fokus perhatian MS. “Kami juga memperhatikan SDM kami,” kata Gershon. Saat proses rekrutmen karyawan, pihaknya tidak hanya menyaring berdasarkan keahlian, tapi juga kecepatan menyelesaikan pekerjaan. ?Kalau tidak, mana mungkin kami bisa memproduksi dalam waktu singkat,” ungkapnya. Bahkan, untuk menumbuhkan sense of belonging, Gershon memperlakukan para karyawannya sebagai satu keluarga besar.

Sebagai gambaran, misalnya MS mendapat proyek besar. “Kami kemukakan kepada karyawan bahwa kami mempunyai pekerjaan berat yang membutuhkan dukungan penuh,” ungkapnya. Sebagai imbalan, ketika pekerjaan sudah selesai, perusahaan membagikan bonus kepada 250 karyawan. Sebaliknya, ketika order lagi sepi, perusahaan juga mengemukakan kondisi yang ada sehingga para karyawan pun ikut prihatin.

Cikal bakal MS sendiri bermula dari sebuah toko biasa yang menjual aneka keperluan bayi (baby needs) di Sawojajar, Malang, pada 1990-an. Belum sampai pada titik kesuksesan, dalam arti ramai dikunjungi pembeli, sang pemilik, Hendratno, merasa bosan karena ritual menunggui toko. Tahun 1997, ia banting setir menerjuni bisnis garmen dengan mengibarkan bendera PT Media Garment Manufacture (MMG). Pasar ceruk bayi dan anak-anak tetap menjadi pilihannya. Hanya saja, Hendratno fokus memproduksi sepatu dan topi untuk usia 0-5 tahun dengan merek Little Think yang membidik kalangan atas. “Kami sengaja tidak membuat popok, gurita dan keperluan bayi lainnya untuk menghindari tingkat persaingan yang tinggi,” Hendratno memberi alasan.

Dengan alasan memperluas varian produk, tahun 1999, MMG juga merambah produk baju dengan merek sama. Ketika itu, ia menjual produknya melalui toko-toko bayi yang ada di sekitar Malang. Perlahan, pasar pun meluas sampai menjangkau seluruh daratan Jawa. Bahkan, produk Little Think mengepakkan sayap sampai ke luar Pulau Jawa melalui pintu pedagang di Pasar Turi Surabaya. Pada titik ini, Hendratno mengaku benar-benar menikmati manisnya kue baby needs.

Keberhasilan Little Think memicu alumni Fakultas Teknik Universitas Kristen Petra ini melebarkan portofolio bisnisnya. Bidang teknologi informasi pun dirambahnya dengan mengibarkan PT Media Solusindo pada 2001. Di ladang bisns baru ini, Hendratno menggandeng rekan bisnisnya. Sayang, ia tak mau menyebut jati diri teman kongsinya itu. Sebagai pemain baru di bisnis TI, ternyata ambisi Hendratno cukup besar. “Saya inginnya bisnis TI ini harus wah, ” ceritanya. Alasannya, MS merupakan perusahaan baru yang belum mempunyai track record apa pun. “Kalau ditampilkan biasa-biasa saja, nanti disangka dikelola tidak bonafide dan profesional,” katanya. Untuk menunjukkan profesionalisme dan bonafiditas perusahaannya, ia lantas menyewa 1 space di sebuah gedung perkantoran di kawasan elite Surabaya.

Ternyata, ambisi Hendratno menjadi pemain TI papan atas harus dikubur dalam-dalam. Dalam perjalanannya, MS tak segemebyar yang diharapkan. Kegagalan MS ini juga berimbas pada kinerja MMG. Bahkan, ia sempat tidak mampu menutupi biaya operasional harian. Namun, kegagalan ini tak membuat Hendratno patah arang. Ia segera mengambil keputusan menutup kantor MS dan kembali fokus pada bisnis MMG.

Keputusan kembali ke khitah itu ternyata membuat MMG kembali bercahaya. Kini, kapasitas MMG untuk merek Little Think malah mencapai 180 ribu pieces per bulan. Untuk memperluas pasar, MMG pun mengibarkan merek Miffy yang menyasar segmen menengah. Saat ini, kapasitas Miffy 160 ribu pieces/bulan.

MMG makin kemilau ketika Hendratno berkongsi dengan Gershon pada 2003. Dengan suntikan dana segar dari Gershon, MMG makin agresif menggarap pasar. Hanya saja, Gershon tak mau langsung tubruk. Pria yang tidak tamat kuliah di Teknologi Industri Universitas Surabaya ini lantas me-review lini bisnis MS. Dari sini, terbersit ide untuk total menjadi produsen garmen. “Kami ingin memanfaatkan keberlangsungan AFTA,” ungkap Gershon.

Menurutnya, ketika Asia Free Trade Area berlangsung akan banyak korporat asing memasuki wilayah Indonesia, termasuk korporat yang bergerak di bidang garmen. Kalau MS sama-sama memasuki pasar ritel, otomatis tingkat persaingan antarprodusen makin ketat sehingga MS sulit memasarkan produknya. “Kami kemudian melihat peluang lain. Makin banyak korporat asing masuk, ternyata memberi peluang bagi pasar kaus promosi. Apa pun perusahaannya akan membutuhkan kaus untuk promosi,” tutur bapak satu anak ini.

Ide memasuki ladang bisnis kaus promosi ternyata menuai sukses. Kecepatan, fleksibilitas, dan kualitas yang senantiasa ditawarkan MS membuat perusahaan ini berkembang begitu cepat. Dalam waktu tidak lebih dari dua tahun, klien-klien besar berhasil ditaklukkan. Sayangnya, Gershon tidak bersedia mengemukakan nilai nominal omset yang dikantongi MS. Yang pasti, antara kaus sebagai media promosi dan barang-barang baby needs mempunyai kontribusi sepadan (50:50) terhadap total omset Grup MS. “Ke depan, kami berharap mampu merealisasi rencana ekspor langsung ke Hong Kong dan membuka cabang baru di Jakarta, yang pasarnya masih terbuka lebar dan pengambil keputusan korporat mayoritas berada di Jakarta,” papar Gershon.

Meski kesuksesan sudah berada dalam genggaman, Gershon dan Hendratno tetap berpijak pada bumi. Mereka tetap menampilkan potret MS dengan gambaran sederhana. Paling tidak, itu tercermin dari keberadaan kantor pemasaran MS yang letaknya di salah satu ruko di ruas Jl. Trenggilis Raya, Surabaya. Tak ada papan nama dengan huruf-huruf besar yang mencolok mata. Bahkan, tempatnya pun agak menyempil sehingga bagi yang belum tahu harus dipandu oleh petugas satpam untuk sampai di kantor MS. Sejatinya sih bukan kantor karena lebih mirip gudang. Beberapa barang tergeletak tanpa arah dan terkesan acak-acakan, meskipun kebersihannya tetap terjaga. “Saya dan Pak Hendratno bahkan tidak mempunyai kursi dan meja sendiri. Apalagi ruang khusus, ” kata Gershon.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved