Listed Articles

Ketika Juragan Rokok Membangun Sistem TI

Oleh Admin
Ketika Juragan Rokok Membangun Sistem TI

Zentha Windrardini sempat merasakan betapa berat pekerjaannya sebagai Kepala Departemen Logistik PT HM Sampoerna (HMS). Ini lantaran beberapa rutinitas kerja harian yang selalu dilakukannya bersama anak buahnya — salah satunya meng-update dan mengonsolidasi data harian ? sungguh merepotkan. Maklum, data harian biasanya baru diterima di akhir hari kerja. Selain itu, dikatakan Zentha, “Prosesnya cukup njelimet lantaran data yang harus dikonsolidasi demikian banyak.”

Data yang banyak itu pun mesti dikonsolidasikan dengan program berbasis FoxPro lewat input manual satu per satu. “Bisa dibayangkan repotnya kalau jumlah data itu mencapai ribuan,” tambahnya. Tak heran, Zentha bersama anak buahnya harus rela lembur hingga tengah malam sekadar menyelesaikan laporan data produksi tersebut.

Itu cerita lama. Zentha pun tak perlu lagi kewalahan menangani tanggung jawabnya itu. Harap maklum, kini proses update dan konsolidasi data bisa dilakukan lebih cepat lantaran semua departemen — termasuk Departemen Logistik — di lingkungan HMS sudah difasilitasi sistem teknologi Informasi (TI) yang jauh lebih maju.

Peletakan fondasi sistem TI yang lebih maju ini sebenarnya dimulai sejak 1992. Waktu itu, HMS mengevaluasi sistem lamanya. Selanjutnya, pada 1993-94, HMS melakukan inventarisasi dan konsolidasi berbagai unsur TI yang diperlukan. Setahun kemudian, 1995, dilakukan peralihan dari pola local area network ke wide area network.

Aplikasi bisnis korporat menjadi fokus perhatian berikutnya. Maka, pada 1996, mulai dilakukan studi terhadap fitur-fitur software yang dianggap sesuai dengan kebutuhan operasional HMS. Internet, buku kuning dan brosur-brosur, digunakan untuk menjaring vendor software yang dianggap sanggup memenuhi permintaan HMS.

Setelah melewati pencarian, beberapa vendor yang dianggap mumpuni diundang ke HMS untuk mempresentasikan keunggulan produk masing-masing. “Setelah kami lakukan proses skrining sekitar 6 bulan, dengan melihat fungsionalitasnya, tiga penyedia aplikasi masuk dalam short list, termasuk Oracle dan BPCS,” ungkap Kris Darwin, Kepala Solusi Bisnis HMS.

Untuk memilih pemenang, HMS menyaring melalui aspek teknis operasional, fungsionalitas, track record sang vendor, serta local support-nya. Harapannya, sang pemenang tidak hanya men-support sistem TI HMS dalam jangka pendek, tapi juga jangka panjang. ?Dari proses ini, akhirnya kami putuskan menggunakan aplikasi ERP (enterprise resource planning) Oracle,” kata Kris.

Sayangnya, Kris tidak bersedia membeberkan total investasi TI yang dibenamkan hingga saat ini, termasuk biaya untuk implementasi ERP. Ia hanya menyebutkan, dari total investasi TI yang dianggarkan, 80%-nya diserap untuk menghadirkan aplikasi ERP.

Itu pun, tidak semua keinginan (termasuk fitur-fitur yang dibutuhkan) HMS mampu diakomodasi aplikasi Oracle. “Karena itu, 20% fitur yang tidak tersedia tapi dibutuhkan HMS terpaksa kami kembangkan sendiri,” ujar Kris.

Adapun sekitar 20% dari biaya investasi dialokasikan untuk pengadaan peranti keras, dari server, personal computer (CPU dan monitor), sampai infrastruktur jaringan (kabel, hub/switch, router, dan lain-lain). Nah, untuk vendor peranti keras ini, yang dipakai beragam: HP, Cisco, dan sebagainya. Menurut Kris, ini dilakukan agar HMS tidak tergantung pada satu vendor dan memperoleh harga paling kompetitif.

Dalam proses implementasinya, tidak semua modul ERP digarap bersamaan. Menurut Kris, pihaknya khawatir bila diterapkan bersamaan, yang muncul bukannya efisiensi dan penerimaan dari para user, tapi malah penolakan. “Sebab, implementasi TI itu kan berkaitan dengan perubahan kultur perusahaan,” katanya.

Maka, pada tahap awal (1997), HMS hanya mengimplementasikan modul Finance. Tujuan sampingnya, mendeteksi respons user dan melokalisasi penolakan bila terjadi agar tidak sampai mengganggu aktivitas HMS secara keseluruhan. Nyatanya, meskipun telah melalui proses pelatihan, penolakan dari sebagian user memang benar terjadi. “Tapi, setelah kami melakukan komunikasi intensif dibantu konsultan, masalah tersebut perlahan-lahan berhasil kami atasi,” Kris menuturkan.

Sukses implementasi modul tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penerapan modul lain pada tahun yang sama, yakni pengembangan SDM dan manufakturing (termasuk aplikasi/fitur Warehousing, Inventory dan Ordering). Namun, memasuki 1998, rencana implementasi modul lainnya sempat terhenti. Penyebabnya, krismon. HMS, seperti perusahaan besar lain di Tanah Air, ikut merasakan tamparannya, sehingga terpaksa menghentikan beberapa program investasi, termasuk di bidang TI.

Memasuki tahun 2000, begitu kondisi ekonomi Indonesia mulai kelihatan pulih, proyek ini dilanjutkan. Modul Costing pun diimplementasikan. Dilanjutkan pada 2002 dengan penerapan modul Planning (dari material hingga finished goods). “Implementasi kami baru bisa dikatakan mapan sejak 2002,” ujar Kris.

Menurut eksekutif yang pernah berkarier di DHL Indonesia itu, tatkala semua sistem di tubuh HMS sudah terintegrasi, ada banyak keuntungan yang bisa diraih. Ia mencontohkan, dulu untuk membuat rokok dibutuhkan resep tertentu. Katakanlah berisi A, B dan C. Pada waktu tertentu, karena mengikuti perubahan permintaan pasar, isi resep diubah. Bagian produksi pun melakukan perubahan berdasarkan memo bagian pengembangan. Sementara itu, bagian keuangan menghitung dampak perubahan isi resep terhadap biaya produksi. Katakanlah, hasil penghitungan ternyata menunjukkan ketidakcocokan biaya produksi, maka bagian keuangan langsung menulis memo untuk menghentikan produksi. Akibatnya, rokok yang sudah diproduksi tidak dipasarkan. Dan, berubah menjadi beban. “Inilah yang sering terjadi (sebelumnya),” kata Kris.

Ia melanjutkan, sering juga terjadi, proses produksi menunggu memo bagian keuangan, sehingga bagian produksi berada dalam kondisi off (tak beroperasi). Padahal, beban penyusutan atas mesin dan tenaga kerja, terus berjalan. Dengan begitu, proses operasional menjadi tidak efisien. “Tapi, dengan sistem terintegrasi, hal itu bisa dihindari. Karena komunikasi data dapat dilakukan seketika, dan kalau terjadi ketidakcocokan bisa langsung dikoordinasikan dengan cepat,” ia menjelaskan.

Contoh manfaat lainnya, dalam proses approval. Katakanlah, seorang staf membutuhkan komputer baru, karena yang lama sudah tidak memenuhi syarat. Yang dilakukan si staf tinggal mengajukan permintaan via jaringan elektronik. Sang pimpinan langsung, di mana pun dia berada, dapat mengecek via jaringan elektronik, dikoordinasikan dengan bagian TI. “Dulu kan tidak. Kalau pimpinan tidak ada di tempat, proses approval otomatis akan terhenti,” ujar Kris.

Ringkasnya, semua bagian atau departemen di lingkungan HMS saat ini bisa merasakan dampak positif implementasi TI. Manfaatnya, berupa kecepatan, akurasi, dan kontrol atas keamanan data. ?Ujung-ujungnya, ini juga terasa dalam hal pengambilan keputusan investasi,? kata Kris. Misalnya, bagian produksi mengusulkan penambahan mesin baru guna mengimbangi permintaan pasar yang terus meningkat. Dulu, karena tidak bisa mengetahui secara seketika ada-tidaknya idle capacity, keputusan manajemen tidak bisa langsung diterbitkan. Sekarang, di mana pun dan kapan pun, manajemen dapat lebih cepat mengambil keputusan, karena semua data yang dibutuhkan dapat diketahui seketika.

Enaknya, seperti diakui Kris, dalam membangun sistem TI di perusahaan sekelas HMS, pihaknya tidak melakukan sendiri, tapi dibantu vendor dan konsultan TI. Manajemen tinggal memantau apakah proses pembangunan itu tepat waktu dan tepat anggaran. Toh, ia mengakui, hal tersulit adalah proses implementasinya di lapangan. Menurutnya, itu pula yang membuat HMS membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk mengimplementasikan modul-modul TI hingga berada dalam posisi mapan seperti sekarang. “Bohong besar jika dikatakan ada perusahaan yang bisa langsung mapan sistem TI-nya hanya dalam waktu 6 bulan implementasi,” ujarnya.

Meski mengaku sudah cukup lumayan, Kris mengatakan, sistem TI di HMS akan dikembangkan secara lebih baik lagi. Untuk menunjang pengembangan ini, Divisi TI HMS akan dipisah dari sang induk menjadi perusahaan tersendiri.

Selama ini, urusan TI berada di bawah Divisi Sistem Informasi Manajemen (SIM). Beragam aspek TI dikelolanya, dari infrastruktur jaringan, kegiatan operasional, aplikasi, hingga pengadaan peranti TI. Divisi SIM HMS memiliki empat departemen — masing-masing dipimpin seorang manajer — yang mengatur serangkaian fungsi organisasi TI, yakni Departemen Operasional TI dan Layanan Pelanggan, Departemen Sistem Informasi, Departemen Layanan Groupware dan Departemen Logistik TI. Dengan dijadikannya Divisi TI sebagai perusahaan tersendiri, menurut Kris, nantinya HMS tidak lagi direpotkan urusan TI, sehingga bisa fokus pada bisnis intinya sebagai produsen rokok.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved