Listed Articles

Ketika Sekolah Bisnis "Berbisnis" Pengetahuan

Oleh Admin
Ketika Sekolah Bisnis "Berbisnis" Pengetahuan

Tak selamanya pesaing mesti dipandang semata sebagai pesaing. Dalam pendekatan bisnis modern, pesaing pun bisa ditempatkan sebagai mitra. Namun, lebih istimewa lagi, bila ada yang berhasil memosisikan pesaing sebagai pelanggan setia. Salah satu yang berhasil melakukannya adalah Wharton School, unit sekolah bisnis dari Universitas Pennsylvania (beralamat web di: www.wharton.upenn.edu), yang berlokasi di Philadelphia.

Memang, sejak 1997 Wharton telah menjual jasa akses ke salah satu fasilitas andalannya, yakni Wharton Research Data Services — lebih dikenal dengan singkatan “WRDS” dan dibaca seperti kata “words” — kepada sekolah-sekolah bisnis yang selama ini jadi pesaingnya. Layanan yang tahun ini baru saja menerima salah satu penghargaan Enterprise Value Awards itu, menyediakan akses online ke sekumpulan database keuangan dan akuntansi serta pelbagai alat (tools) analisis statistik, dan dijual dengan pola berlangganan. Sekarang, lebih dari 6 lusin sekolah bisnis di seluruh dunia — termasuk para pesaing top macam Harvard Business School, Stanford Business School, dan Kellog School of Management– membeli akses ke WRDS dengan biaya langganan US$ 30 ribu/tahun.

Yang jelas, dengan menjual fasilitas WRDS, Wharton tak hanya mengubah para pesaing utamanya itu menjadi pelanggan, tapi juga membuat para pengajar sekolah bisnis di seluruh dunia lebih produktif. “Nilai yang berhasil mereka ciptakan tidak hanya untuk (internal) Wharton, tapi juga untuk dunia riset di lingkungan perguruan tinggi,” ujar Doug Barker, CEO Barker & Scott Consulting yang berbasis di Washington D.C. dan salah satu juri untuk penilaian penghargaan tadi. “WRDS memang seperti merealisasi janji dunia yang terhubung,” kata Patrick Harket, Dekan Wharton saat ini. “Kami makin yakin ketika mengetahui para pengajar junior di sekolah lain mengaku hanya bisa menyelesaikan pekerjaan mereka jika punya akses ke WRDS.”

Namun, sesungguhnya, kekuatan potensial WRDS tak akan berkembang tanpa ada kerelaan dari para pembuat keputusan — tidak hanya di Wharton tapi juga di komunitas periset bisnis — untuk selalu menguji ulang proposisi nilai mereka. “Sejujurnya, mulanya ini tidak disangka akan menjadi aplikasi yang berpengaruh besar,” ujar Thomas Gerrity, guru besar manajemen yang menjabat Dekan Wharton ketika WRDS mulai dikembangkan pada 1994. “Waktu itu, ini hanya dianggap ide bagus, karena bisa membantu banyak orang.”

Adalah Paul Ratnaraj, ketika itu Direktur Wharton Computing and Information Technology, yang pertama melihat kebutuhan pentingnya sistem yang bisa menghemat waktu dan tenaga kerja dalam proses riset bisnis. Ia mengamati banyak pengajar dan mahasiswa doktoral yang rata-rata menghabiskan sekitar 40% waktu mereka hanya untuk menuliskan program pencarian database dan memformat ulang data tersebut agar bisa dianalisis, serta untuk minta bantuan pada para pakar database di Wharton. Harap maklum, riset-riset finansial memang amat bergantung pada analisis statistik. Dan, prosesnya tak jarang mesti membongkar data ribuan perusahaan. Ambil contoh, periset ingin mencari bagaimana hubungan antara valuasi pasar dan laba perusahaan guna menemukan kesimpulan seberapa bagus ukuran tradisional kinerja perusahaan bisa menjelaskan perkembangan harga saham di akhir 1990-an.

Ratnaraj kemudian berpikir, jika ia bisa mengonversi sepasang database berbasis Fortran ke format yang lebih mudah digunakan, sekaligus menuliskan program pencari yang lebih simpel, para profesor ataupun mahasiswa tak perlu repot-repot lagi minta bantuan stafnya. “Pengguna tinggal mengekstraksi data secepat mungkin tanpa perlu menuliskan kodenya dulu,” jelasnya, ketika itu.

Gerry McCartney, yang diangkat sebagai CIO Wharton pada 1993, kemudian menyediakan dana US$ 20 ribu kepada Ratnaraj dan timnya untuk memformat ulang data. Ratnaraj menuliskan versi asli WRDS dalam SAS — software statistik yang banyak dipakai oleh para pengajar dan mahasiswa untuk menganalisis data — sedangkan programer Steve Crispi dan Son To kemudian menggunakan prototipe itu untuk membangun programnya. Berikutnya, Crispi juga membuat versi Web-nya.

Pada masa-masa itu (hingga saat ini), persaingan di antara sekolah-sekolah bisnis top guna memperebutkan periset andal sudah cukup ketat. Thomas Gerrity yang juga pendiri dan mantan CEO the Index Group tahu bahwa TI merupakan salah satu selling point penting. Itulah mengapa ia kemudian menugaskan McCartney membangun infrastruktur TI yang bersifat state-of-the–art, guna mencitrakan Wharton sebagai kekuatan berbasis komputer (computing powerhouse). Jadi, dalam visinya, WRDS hanyalah satu dari sekian langkah menuju kedigdayaan di bidang TI.

Bagi lingkungan internal Wharton, manfaat WRDS memang sudah dinanti-nanti. Akan tetapi, yang menarik, justru keputusan menjualnya ke sekolah bisnis lainnya, boleh dibilang terjadi secara kebetulan. Setelah mengembangkan WRDS, Ratnaraj menuliskan makalahnya yang kemudian dipresentasikan di depan para konferensi pengguna SAS. Malah, ia kemudian sempat mendemokannya di acara Business Computing Directions, asosiasi profesional manajer TI sekolah bisnis. “Tak dinyana, banyak sekolah lain yang sangat tertarik dengan konsep ini,” katanya. “Dan, pertanyaan pertama mereka adalah bisakah Anda memberikannya kepada saya?”

Nah, di dunia akademis, berbagi pengetahuan semacam itu sudah jamak. Namun, baik McCartney maupun Ratnaraj berpikir mereka tetap harus membayar jika ingin ikut menikmatinya. “Sebab, di sana kan ada biaya riilnya,” kata McCartney. Ia setuju menjualnya, karena melihat di sana juga ada manfaat yang lebih besar bagi Wharton, yakni sebagai application service provider (ASP), Wharton juga yang nantinya akan memberikan dukungan teknis pada sekolah-sekolah pelanggannya itu.

Toh, bukan berarti langkah ini mulus-mulus saja. Pasalnya, langkah pertama McCartney adalah meyakinkan para pengajar dan pimpinan (administrator) Wharton. “Maklum, institusi besar biasanya punya momen kelembaman yang tinggi,” katanya menggunakan istilah Fisika. “Dan, mereka punya kesamaan dalam banyak hal.”

Namun, McCartney tak ingin mengimpresikan dirinya sama dengan yang lainnya. Ia memang mengelak disebut wirausaha, tapi kenyataannya ia lebih suka mengerjakan hal-hal radikal ketimbang yang rutin. Yang jelas, kalau WRDS semenarik saat ini, itu juga karena McCartney dan Ratnaraj tak bosan-bosan mendengung-dengungkannya. Ratnaraj yakin orang yang sudah melihat demo WRDS akan segera menyadari seberapa besar nilainya. “Anda akan melihat rasa suka di wajah mereka,” katanya.

Ketika kabar WRDS akan dikomersialkan makin santer, banyak staf pengajar dan pimpinan Wharton yang khawatir mereka melepaskan keunggulan kompetitif yang sudah dibangun lama. Ada juga yang menyuarakan kerisauan kalau WRDS dijual untuk melayani pelanggan, nantinya kebutuhan internal Wharton sendiri bisa terabaikan. Adapun para pengacara Wharton mempertanyakan apakah Wharton, yang merupakan lembaga pendidikan nonprofit, layak menarik duit dari hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan dunia pengajaran. Contoh dari mereka yang skeptis itu adalah Prof. Michael Gibbons, Kepala Jurusan Keuangan — kini pendukung berat WRDS — yang sempat berujar, “Saya pikir, program ini hanya akan jadi pecundang.”

Setelah perdebatan internal yang panjang itu, McCartney kemudian menghadap sang dekan, Gerrity, dengan satu business plan, guna menjelaskan perangkat dan staf yang dibutuhkan untuk menjalankan program, serta perkiraan jumlah pelanggan dan dana yang bisa digaet. Akhirnya, Gerrity pun memberikan lampu hijau, setelah menyimpulkan bahwa menjual akses ke WRDS pun membantu tercapainya misi Wharton. “Misi kita kan memang mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan,” katanya. Akan tetapi, ia memberikan syarat kepada McCartney agar tingkat layanan ke lingkungan internal juga tidak mengecewakan.

Kehadiran Stanford sebagai pelanggan pertama pada 1997 cukup mendongkrak kredibilitas WRDS. “Setelah Stanford, ada 3-4 institusi lain yang menyatakan minat bergabung,” kata McCartney. Salah satunya, pesaing potensial layanan WRDS sendiri, Center for Research on Securities Prices, milik Universitas Chicago. Menurut David Barclay, COO-nya, itu karena mereka mendapatkan win-win solution. “Dengan Wharton sebagai host data kami, data kami jadi lebih mudah diakses pelanggan,” kata Barclay. “Lagipula, menjadi ASP bukanlah kompetensi inti kami.”

Adapun Ravi Pillai, Manajer Komputasi Riset Stanford, berujar bahwa keputusan menjadi pelanggan WRDS murni soal finansial. Katanya, para pengajar Stanford tak peduli dari mana mereka mendapatkan data, yang penting mereka bisa mengaksesnya. Pimpinan Stanford sendiri mengatakan, langkah ini menghemat biaya yang harus dikeluarkan kalau mereka mengembangkan sendiri sistemnya secanggih ini dan memelihara datanya. Pillai pun terhindar dari tekanan harus mencukupi jumlah stafnya.

Penghematan dan — tentu saja — kemudahan adalah alasan mengapa nama-nama besar seperti Harvard, Stanford ataupun Kellog rela berlangganan aplikasi dan akses berlogo kompetitor mereka (yakni Wharton dan WRDS). Ratusan kumpulan data bisa dikirimkan Wharton dalam format standar, sehingga memudahkan para periset menyatukan data dari pelbagai sumber dan menggunakannya dengan software analisis yang populer. Walhasil, para pengajar maupun periset dapat menghemat waktu dalam memublikasikan karya ilmiah mereka.

Kini kalangan pengajar dan pimpinan Wharton tampaknya sudah yakin bahwa brand mereka pun makin prestisius. Ratnaraj menceritakan, orang dari Harvard pernah bernegosiasi untuk membayar biaya ekstra tapi tak perlu mencantumkan logo WRDS. “Tapi, saya bilang, saya berani memberikan akses ke WRDS secara gratis, tapi logonya harus tetap ada,” katanya. Insiden ini, kata Ratnaraj, menunjukkan betapa para pesaing Wharton merasakan besarnya manfaat yang dipetik Wharton. “Ini juga menunjukkan bahwa Wharton tidak pernah melakukannya karena alasan duit,” katanya lagi.

Manfaat lain yang bisa dirasakan Wharton, mereka bisa meningkatkan sistem dan aplikasi TI mereka dengan dana yang masuk. Sekitar US$ 5 juta dari revenue yang digaet WRDS sejak 1997 diinvestasikan kembali guna mengembangkan sistem ini. Tak heran, WRDS kini boleh dinilai sebagai perangkat adiguna — dan punya level dukungan bagi pelanggan yang tinggi — ketimbang kalau dulu hanya dipakai secara internal. Sebanyak 11 staf dedicated, terdiri dari orang teknis dan periset akademis, yang juga pengguna ahli database WRDS, senantiasa menjaga sistem ini berjalan dan menyediakan dukungan bagi pelanggan. “Ini juga membuat kami melihat peluang dengan lebih bersemangat,” ujar McCartney.

Keberhasilan WRDS, misalnya, telah membantu dan mendorong McCartney meluncurkan layanan lain untuk pelanggan eksternal, yakni : Knowledge@Wharton dan Alfred West Jr. Learning Lab.

Knowledge@Wharton adalah perpustakaan online gratis untuk kebutuhan riset bisnis. Saat ini, layanan ini telah menggaet lebih dari 200 ribu pelanggan dari seluruh dunia. Adapun Learning Lab merupakan sumber online bagi perangkat mengajar, simulator investasi, dan game transaksi tender. Sementara ini, Learning Lab masih digunakan di lingkungan internal Wharton. Namun, Wharton berencana memasarkannya ke institusi pendidikan lainnya. McCartney berujar, kalau saja semuanya terserah dia, ia akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk inisiatif strategis semacam WRDS.

Riset: A. Windarto

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved