Listed Articles

Keuntungan Menggiurkan di Waralaba Kecil

Oleh Admin
Keuntungan Menggiurkan di Waralaba Kecil

Pada satu sore di Mal Taman Anggrek, Rossiani Purba tertegun memandangi antrean pembeli kudapan di rombong Fresh & Corn (FC). Sepintas tak ada yang aneh. Snack jagung rebus itu dikemas dalam cup dengan tiga varian rasa. Pemandangan senada dijumpai lagi di pusat perbelanjaan lain. Ia pun penasaran apa yang istimewa dari FC, sehingga dipadati konsumen. Selain mencoba makan FC, dia segera mencari informasi siapa pemilik bisnis itu dan bagaimana sistem penjualannya.

Begitu mendengar jawaban, FC dikembangkan melalui kerja sama waralaba, tak banyak berpikir Rossiani langsung menyambarnya. Per Mei 2003, dia resmi tercatat sebagai franchisee FC. “Inilah yang saya cari-cari selama ini, dan saat itu juga bikin kontrak tiga gerai,” ujar karyawati perusahaan ekspedisi itu. Memang banyak pilihan bisnis waralaba di depan mata. Akan tetapi, baru pola franchise FC yang cocok baginya. Investasi awal cukup setor Rp 16 juta, tapi omzetnya bisa Rp 39,6 juta/bulan tiap outlet. ?Investasinya murah dan cepat kembali modal,? tuturnya.

Mula-mula Rossiani tidak menyangka jika respons konsumen FC di Atrium Senen sebesar itu. Awalnya hanya menargetkan 100 cup/hari karena lokasi outlet-nya di lantai dua. Pada kenyataannya, gerainya itu mampu menjual rata-rata 220 cup tiap hari. Belum lagi hari libur bisa membengkak.

Potensi laba yang dihasilkan waralaba FC cukup menggiurkan. Andy Christopher, franchisor FC dalam bendera PT Anvic Multi Bisnis, memproyeksikan margin laba franchise FC bisa mencapai 45%, padahal umumnya berkisar 10%-20%. Itulah sebabnya Rossiani antusias menggarap dengan serius bisnis sampingannya ini. Belum genap setahun menjadi pemegang waralaba FC, dia berhasil melebarkan sayap hingga lima outlet yang tersebar di mal Jakarta, Tangerang, Samarinda, dan Balikpapan.

Andy menguraikan, investasi awal Rp 16 juta sudah termasuk paket fasilitas, yaitu peralatan konter, gerobak, masak, steamer pemasak jagung, jagung untuk 100 cup set pertama, seragam, dan training SPG. “Prinsip kami beli putus, tidak ada biaya tambahan. Kontrak berlaku seumur hidup sepanjang investor masih memenuhi persyaratan,” paparnya. Dalam kerja sama ini, kepentingan FC untuk jangka panjang adalah sebagai pemasok jagung dengan harga Rp 27 ribu/kg.

Gambaran kasar kalkulasi investasi dan biaya operasional waralaba FC bisa dicontohkan dari gerai Rossiani di mal Atrium Senen. Omzet Rp 39,6 juta/bulan didapat dari rata-rata penjualan 220 cup/hari, dikalikan harga jual per cup Rp 6 ribu. Hitungannya: Rp 6 ribu X 220 X 30 = Rp 39,6 juta.

Sementara itu, biaya operasionalnya terdiri atas sewa konter ukuran 2X3 m2 di Atrium Senen dengan harga pasaran Rp 4 juta/bulan, gaji dua SPG dengan sistem shift Rp 1,3 juta/bulan, serta bahan baku dan cup sekitar Rp 17,82 juta/bulan. Total jenderal, biayanya sekitar Rp 23,12 juta. Dengan demikian, taksiran untungnya: Rp 16,48 juta (pendapatan Rp 39,6 juta-pengeluaran Rp 23,12 juta). Jadi, bukan isapan jempol kalau Rossiani mengaku bisa untung setelah tiga bulan. Padahal, perkiraan awal setahun baru BEP (break even point). “Asalkan kita pintar pilih lokasi yang banyak dikunjungi orang, kita sangat mungkin akan kewalahan melayani pembeli,” dia membeberkan strateginya.

FC di dunia waralaba boleh dikata pemain baru. Meski diluncurkan pada 2002, peminatnya sudah ratusan. Hanya saja, setelah diseleksi, yang memenuhi kriteria 30 franchisee yang tersebar di 75 gerai. “Jika lokasinya tidak sesuai dengan ketentuan kami, aplikasi akan ditolak,” ujar Andy tegas. Pihak FC ingin investor yang aktif mencari lokasi strategis dan bersedia menanggung risiko. Jadi, tidak sekadar taruh duit saja. Prinsip kerja samanya: win-win solution. Tak heran, dengan lokasi yang strategis dan aturan ketat, Andy mengklaim rata-rata investor FC mampu BEP pada bulan kelima.

Di samping FC, bisnis waralaba makanan yang tidak terlalu besar menguras kocek adalah Crepes & Coins (CC). Camilan CC dengan enam macam rasa ini produk Bogasari. Namun, mereka enggan disebut murni sistem franchise. “Kami menyebutnya Paket Usaha, karena sifatnya beli putus,” kilah Setion Alvin, Wakil Presiden Pelayanan Perdagangan dan Pendidikan PT Bogasari Flour Mills.

Dengan modal Rp 30 juta, investor CC akan mendapatkan beberapa fasilitas. Isi paketnya: pelatihan di Bogasari Baking Center tentang cara memproduksi makanan, dua unit mesin crepes listrik, chiller stainless steel, meja kertas stainless steel food grade, dan 10 kg bahan dasar CC.

Besarnya margin yang ditawarkan CC 10%-15% per bulan. Gambaran omzetnya kira-kira Rp 18-27 juta/bulan. Dengan harga jual CC dipatok Rp 10-15 ribu/potong kue, rata-rata penjualan 60 potong/bulan, maka hitungannya: Rp 10-15 ribu X 60 X 30 = Rp 18-27 juta. Dengan margin sebesar itu, Alvin memprediksikan dalam tempo setahun waralaba CC bisa mengalami titik impas.

Ada lagi investasi waralaba dengan modal awal ratusan juta, tapi biayanya menyusut setelah tahun pertama. Simaklah pengalaman Budi Rahmad yang tercatat sebagai investor waralaba minimarket Alfamart sejak Mei 2003. Dengan modal awal Rp 250 juta, Budi mendapatkan tipe 54 rak untuk masa kontrak per lima tahun. Tiap bulan masih dipungut distribution fee 2% dari delivery barang. Dan, setiap lima tahun berikutnya cukup bayar franchise fee Rp 50 juta. “Jadi, saya berinvestasi cukup besar pada awal saja, karena supply barang dari Alfamart. Berikutnya, cuma bayar distribution fee dan franchise fee,” jelasnya.

Lokasi Alfamart milik Budi terletak di kawasan Bendungan Jago, Kemayoran. Daerah itu cukup ramai, lantaran berada di kawasan permukiman dan pertokoan. Tak heran, rata-rata omzetnya Rp 300-330 juta/bulan. Budi mengaku meski dibebani biaya sewa gerai Alfamart Rp 130 juta/5 tahun dan bayar gaji 12 karyawan, tapi omzetnya melebihi biaya operasional. “Pokoknya saya rata-rata bisa menghasilkan keuntungan Rp 10 juta per bulan, tapi belum dikurangi fee delivery,” ungkap Budi.

Lain cerita pengalaman Ali Hanafia yang memproklamirkan diri sebagai investor Century 21 –waralaba broker properti asal AS– mulai 1998. Izin telah dikantungi sejak 1997 dengan membayar investasi US$ 25 ribu (setara Rp 57,5 juta dengan kurs Rp 2.300/US$) untuk masa kontrak lima tahun. Berdasarkan perjanjian dengan master franchiser Century 21 di Indonesia, setelah masa kontrak lima tahun pertama berakhir, investor cukup membayar franchise fee kontrak lima tahun berikutnya 50% (Rp 125 juta). Angka Rp 125 juta itu merupakan standar biaya waralaba investor yang masuk 2004. Biasanya, tiap periode, jumlah biaya waralaba yang dibanderol terus naik.

Di luar biaya waralaba lima tahunan, franchisee Century 21 masih wajib bayar royalty fee bulanan sekitar 10,8% dari total pendapatan komisi atau minimal Rp 1 juta. “Saya bersyukur rata-rata tiap bulan berhasil melampaui target minimal royalty fee,” ungkap Ali. Keberhasilan memenuhi target penjualan itu otomatis mempersingkat masa pencapaian BEP menjadi tiga tahun dari yang dijanjikan lima tahun.

Kendati Ali tak mau buka kartu berapa omzet atau laba yang dihasilkan per bulan, tapi ia memaparkan rata-rata berhasil membukukan transaksi 15-25 unit properti. Bentuknya: rumah, apartemen, ruko, dan kavling.

Senada dengan Budi yang merasa berat investasi pada tahun pertama, begitu pula Ali. Untuk waralaba agen properti ini butuh investasi cukup besar buat sewa gedung. Ia mengaku menggelontorkan duit Rp 400 juta untuk ongkos operasional dua tahun pertama. Setelah itu, cukup ringan dengan membayar gaji tujuh karyawan tetap dan komisi 30 tenaga pemasaran. “Justru biaya operasional terbesar setelah gedung adalah bayar telepon,” katanya.

Guna menggenjot pendapatan waralaba Century 21, Ali merasa perlu totalitas membesarkan bisnis itu. Caranya: berpartisipasi aktif terjun dalam bisnis broker properti. Jadi, tidak sekadar tanam duit dan menyerahkan pengelolaan kepada orang lain.

Masih ada beberapa jenis investasi waralaba di bawah Rp 250 juta, selain yang dipaparkan di atas. Berdasarkan riset SWA, ada Warintek 9000 (warung telekomunikasi dan teknologi) yang modalnya Rp 32,4-83,2 juta, Balon Rp 21 juta, salon Rudy Hadisuwarno Rp 250 juta, rental VCD/film Video Ezy Rp 100 juta, Office 1 Superstore Rp 50 juta, dan Future Kid Rp 125 juta.

Iming-iming return yang disodorkan semua waralaba kecil tersebut memang menarik. Akan tetapi, itu bukan berarti tanpa risiko. Dalil investasi; high risk, high return, tetap berlaku. Rata-rata risiko pelik yang dihadapi para franchisee ialah minimnya penjualan. Dan penjualan yang tidak memenuhi target dipicu oleh kesalahan memilih lokasi. “Kami pilih tempat yang gampang dilihat orang, akses mudah, wilayah berkembang, dan banyak developer beroperasi di sekitarnya,” ungkap Ali.

Begitu pula halnya dengan Rossiani. Dia perlu waktu berbulan-bulan hanya untuk survei lokasi. Budi pun khawatir jika lokasi tidak strategis, ia tak mampu memenuhi target laba minimal Rp 8 juta/bulan. Pasalnya: kalau kondisi buruk itu terjadi, bukan untung, malah buntung.

Namun, para investor waralaba tersebut optimistis dengan pilihan investasi masing-masing. Semuanya berambisi menambah cabang dan menjadi andalan asap dapur mereka. Rossiani, umpamanya, meski telah memiliki lima gerai, masih berniat menambah beberapa cabang lagi. “Karena saya karyawan, maka ingin mencari penghasilan sampingan dari bisnis yang prospektif,” papar wanita kelahiran Medan 10 Agustus 1971 itu. Budi tak mau ketinggalan. Lelaki ini ingin meningkatkan gerainya menjadi tiga outlet. Ia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawan untuk serius menekuni bisnis waralaba minimarket yang dianggapnya lebih menjanjikan.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved