Listed Articles

Kiat Wella Menguasai Salon

Oleh Admin
Kiat Wella Menguasai Salon

Rambut adalah mahkota wanita. Demi menjaga keindahan mahkotanya, para wanita rela melakukan apa saja, termasuk mengeluarkan anggaran besar untuk perawatan rambut di salon. Yvette Maureen Pangabean, 24 tahun, misalnya. Karyawati PT Panca Mandiri Pratama ini mengaku setidaknya empat kali sebulan mengunjungi salon. Tujuannya tidak hanya memotong rambutnya yang panjang, tapi juga untuk perawatan rambut yang lain: creambath, bonding, pewarnaan, dan lainnya.

Yvette tidak sendiri. Banyak wanita lain yang memiliki kebiasaan seperti dia. Peluang inilah yang dimanfaatkan produsen perawatan rambut umumnya. Mereka melihat salon merupakan pasar potensial yang menarik digarap, sehingga sengaja tidak hanya berburu di pasar eceran, melainkan juga pasar profesional alias salon-salon itu tadi.

Tentu saja, karakteristik dan cara penggarapan antara pasar eceran dan pasar profesional sangat berbeda. Karena itu, biasanya para produsen mengambil prioritas, konsentrasi di salah satu pasar. PT Unilever Indonesia Tbk. dan PT Procter & Gamble Indonesia Tbk., boleh saja menjadi raja sampo di segmen ritel, tapi di segmen profesional nama kedua raksasa itu sama sekali tidak muncul. Di segmen profesional dikuasai pemain seperti Wella, L?Oreal, NR, Rudy Hadisuwarno, Jhonny Andrean, dan lainnya.

Dari segi besaran, pangsa pasar segmen profesional memang lebih kecil dibanding pasar eceran. Dwi Budi Sartono, Kepala Divisi Profesional PT Kosmindo — distributor Wella — menyebutkan sekitar 30% total pasar produk perawatan rambut, atau Rp 200-300 miliar per tahun. “Jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih besar, karena banyak yang tidak terdeteksi,” ungkapnya.

Di antara pemain segmen profesional, Wella bisa dibilang paling unggul. Walau tidak ada data pasti, Dwi berani mengklaim bahwa Wella telah berada di puncak segmen pasar dengan penguasaan pasar 30% lebih. “Bisa dikatakan kami sebagai leader di segmen pasar ini,” ujarnya. Dikatakan Dwi, secara global Wella memang lebih fokus dalam menggarap pasar profesional ketimbang pasar ritel. Bahkan, kontribusi segmen profesional terhadap total pendapatan Wella secara global berbanding terbalik dengan pemain lainnya, yaitu 60:40. Perbandingan ini di Indonesia bisa jadi lebih besar lagi, sekitar 70% total pendapatan Wella di Indonesia.

Liza Felicia Wulandari, konsultan pemasaran dari The Advisory melihat Wella memang unggul di segmen profesional. Hal ini, menurutnya, tak lepas dari strategi lebih fokus menggarap segmen profesional ketimbang eceran. Antara lain terlihat dengan upaya Wella membuat kemasan produk dalam ukuran besar.

Menurut Dwi, menggarap pasar profesional memang berbeda dari pasar eceran. “Pendekatan yang dilakukan lebih pada pendekatan personal,” ungkapnya. Wella menggunakan pendekatan yang mirip dengan pemasaran obat etikal, di mana dilakukan pendekatan ke pemilik salon atau pimpinan penata rambut dengan menjelaskan produk secara detail. Tidak hanya itu, tidak jarang diadakan perjanjian khusus dengan pemilik salon seperti bonus, hadiah, dan sebagainya.

Diakui Dwi, tidak mudah meyakinkan pemilik salon untuk mau menggunakan produknya, karena kenyataannya sering sangat tergantung pada mood pemilik salon. “Bisnis salon lebih kepada emotional business,” katanya, sehingga mereka tidak bisa gegabah dalam menangani klien. Karena itu, cara pemasaran yang digunakan merupakan penggabungan antara pemasaran modern dan pemasaran personalitas. Maka, selain membekali 33 tenaga pemasarannya dengan pengetahuan produk dan teknis, Kosmindo juga membekalkan pengetahuan psikologis, sehingga mereka dapat melakukan pedekatan secara lebih baik.

Liza menilai langkah yang dilakukan Kosmindo tepat. Menurutnya, dalam menggarap pasar profesional dibutuhkan pendekatan khusus yang sifatnya hubungan jangka panjang. Ini merupakan cara standar yang juga dilakukan produsen lainnya. “Keunggulan produk saja tidak cukup,” ungkap Direktur The Advisory ini.

Wella memang dikenal memiliki hubungan sangat erat dengan professional outlet. Hal ini tak lepas dari keberadaan mereka yang jauh lebih dulu ketimbang pemain lain, yaitu tahun 1979. “Saat itu jumlah pemainnya masih sedikit, sehingga Wella dapat bergerak begitu leluasa dan barangnya pun sangat diminati,” ungkap Dwi. Memasuki era 1990-an, barulah pemain lain ikut meramaikan persaingan, baik pemain kelas internasional maupun lokal.

Tidak hanya predikat pionir yang mengantarkan Wella meraih sukses di Indonesia. Dari sisi produk, Wella memiliki range produk yang sangat lengkap. Tak kurang dari 250 SKU (stock keeping unit) dengan 60 merek dimiliki Wella. “Dengan range produk yang demikian lengkap, kami siap menjawab semua kebutuhan produk perawatan rambut,” ungkap Maria Inviolata, Manajer Pemasaran Divisi Profesional PT Kosmindo. Lebih dari itu, Wella menawarkan pula kebutuhan lain gerai profesional, seperti: furnitur, gunting, dan pernik-pernik lain yang dibutuhkan salon kecantikan.

Dengan range produk sangat lengkap, Wella dapat membidik berbagai segmen pasar yang berbeda — kelas C+ sampai A+. Tak heranlah, saat ini tercatat 3 ribu lebih salon dari berbagai kelas telah menggunakan produk Wella. “Kami memperlakukan mereka sebagai mitra,” ungkap Dwi, sehingga mereka pun harus dipuaskan dengan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Menjaga kepuasan dan loyalitas pelanggan merupakan hal yang sangat sulit dilakukan di segmen pasar ini. Selain karena ada dua pihak yang harus dipuaskan — konsumen dan penata rambut — keunggulan produk saja tidaklah cukup. Untuk itu, harus ada nilai tambah yang ditawarkan, khususnya bagi pemilik salon. “Mereka juga harus dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan produk,” ungkapnya. Dikatakan Dwi, cara pemasaran konvensional tidaklah cukup, mengingat makin lama mereka makin berkembang. “Semakin lama barganing power gerai profesional semakin kuat, sehingga mereka dapat menuntut apa yang mereka perlukan,” tambahnya.

Sebagai contoh, Dwi menyebutkan, sejak tahun 2000 pihaknya meluncurkan program free will saving — salon yang menggunakan produk Wella dalam jumlah tertentu memperoleh insentif tersendiri di samping diskon khusus, baik bagi pemilik salon maupun stafnya. “Program ini menantang mereka untuk loyal kepada Wella,” ujarnya.

Strategi promosi yang dijalankan dalam menggarap segmen profesional juga sangat berbeda dari segmen eceran. Dwi mengatakan, promosi above the line saja tidak cukup. “Promosi below the line-lah yang menjadi andalan,” ujarnya. Tak heranlah, berdasarkan data Nielsen Media Research periode Januari-Agustus 2003, Kosmindo hanya mengeluarkan Rp 4,2 miliar untuk mempromosikan produknya di berbagai media. Itu pun lebih banyak dilakukan di media cetak, khususnya media wanita. Bandingkan dengan sampo Sunsilk atau Clear yang masing-masing menghabiskan Rp 66,16 miliar dan Rp 85,17 miliar pada periode yang sama.

Kegiatan promosi Wella lebih banyak melalui gathering dan seminar. Iin, panggilan dekat Maria Inviolata, menjelaskan, setiap kali mereka meluncurkan produk baru selalu diiringi gathering dan seminar. Selain bertujuan menyosialisasi produk barunya, kegiatan ini juga memberikan informasi lengkap seputar produk yang diluncurkan. “Pengetahuan produk hanya sebagai pengantar. Yang lebih penting pengetahuan teknis tentang bagaimana cara menggunakan produk secara benar, sehingga hasil yang didapatkan maksimal,” paparnya.

Selain itu, Kosmindo juga memiliki studio di kantor mereka di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dengan dukungan 6 technical consultant, Kosmindo berusaha memberikan tambahan pengetahuan bagi penata rambut tentang teknik baru yang berkembang di bidang penataan rambut. “Ini merupakan tanggung jawab kami sebagai produsen kepada mitra kami,” katanya diplomatis. Selain di Jakarta, Kosmindo juga memiliki studio mini di kantor cabang Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan.

Kosmindo memiliki pula kelas reguler dengan berbagai tingkatan — basic, intermediate sampai advanced — untuk penata rambut. “Kami mengundang mereka untuk meningkatkan kemampuan,” ujar Iin tentang kelas yang diselenggarakan itu. Meskipun tidak diberikan secara cuma-cuma, peminatnya terbukti sangat besar, karena pelatihan ini memiliki sertifikasi resmi dari Wella.

Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan PT L?Oreal Indonesia. Melalui L?Oreal Academy, L?Oreal Professional juga menyelenggarakan pelatihan berstandar internasional. L?Oreal Academy memiliki program pelatihan lengkap dari tingkat dasar hingga advanced: color motivation, color experience, fashion high light, color correction, dan talking color. Seluruh materi pengajaran diperoleh dari L?Oreal pusat di Paris, sehingga lulusan L?Oreal Academy memiliki pengetahuan tentang penataan dan pewarnaan rambut berskala internasional.

Di antara para pemain di segmen ini, Liza melihat L?Oreal memiliki penekanan yang jauh lebih tinggi, di mana mereka tidak hanya menyelenggarakan kegiatan dekoratif pada rambut, tapi juga pada wajah dan perawatan lainnya. Hal ini dimungkinkan karena L?Oreal tidak hanya memiliki produk perawatan rambut, tapi juga produk dekoratif lainnya. “Ini merupakan keunggulan kompetitif L?Oreal yang tidak dimiliki pemain lain,” ujarnya.

Selain itu, belakangan L?Oreal melakukan pendekatan secara khusus ke gerai profesional yang tidak dilakukan pemain lain, yaitu dengan mengajak kerja sama pemilik salon — khususnya salon kelas atas — untuk masalah desain interior. “Mereka berani support untuk sampai pada desain salon,” katanya.

Sukses Wella di segmen profesional, menurut Dwi, juga berdampak terhadap penjualan produk Wella di segmen eceran. Dwi menyebutkan, di segmen ritel saat ini Wella cukup kuat di kategori produk hair tonic dan pewarnaan.

Dwi menjelaskan, produk yang dijual ke pasar profesional berbeda dari produk yang dijual secara eceran. Kendati dalam hal mutu tidaklah berbeda, formulasi yang digunakan untuk produk eceran tidak sama dengan produk profesional. Dikatakannya, sesuai dengan namanya, produk profesional adalah produk yang khusus dirancang untuk digunakan para profesional, sedangkan produk eceran khususnya produk yang membutuhkan kemampuan teknis untuk menggunakannya, haruslah mudah dan aman digunakan. “Untuk produk eceran, kami lebih menekankan pada kemudahan penggunaannya,” ungkap Dwi.

Demikian pun dalam hal merek. Merek yang digunakan untuk produk profesional berbeda dari merek yang digunakan untuk produk eceran. Misalnya, untuk produk pewarnaan di pasar ritel dengan merek Koleston, sedangkan untuk produk yang di lempar ke pasar profesional menggunakan merek Koleston Perfect. “Ke depan, kami akan memberikan cara pengelolaan salon yang benar,” ujar Dwi mengenai program Kosmindo yang memperoleh dukungan dari kantor pusat Wella di Jerman.

Riset: Vika Octavia.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved