Listed Articles

Mantan Pedagang Kayu Sukses di Bisnis Salon

Oleh Admin
Mantan Pedagang Kayu Sukses di Bisnis Salon

Sebuah piagam terpampang di dinding ruang kantornya yang mungil di Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta. Anugerah Citra Kartini 2003, itulah penghargaan yang dimaksud ?- sama dengan yang diterima Megawati Sukarnoputri. Setidaknya, wanita berkulit cokelat dan berambut pendek ini membuktikan bahwasanya wanita bisa sukses di mana saja. Tak hanya di bisnis keras seperti jual-beli kayu yang mesti keluar-masuk hutan, bisnis yang menuntut pelayanan ramah dan keterampilan halus seperti salon pun bisa dilakoni. Dan di bisnis yang disebut terakhir itu, Maria Goretti Sukasti berhasil membangun 38 salon milik sendiri hanya dalam tempo empat tahun.

Pertama kali datang ke Jakarta pada 1980, Cathy -? panggilan akrabnya — belum berpikir akan berbisnis salon. Bisnis yang malah digelutinya adalah ekspor-impor kayu, yang dia tekuni hingga 1990-an. Kepiawaianya di bisnis ini ditunjukkannya. Ia memulai karier dari tenaga pemasaran door-to-door hingga bisa dipercaya sebagai agen kayu perusahaan asing. Sebagai konsekuensi pekerjaannya, mantan mahasiswa akademi manajemen ini bahkan sempat tinggal di Belanda selama empat tahun (1984-88).

Sepulang dari Belanda, wanita kelahiran Wonosari, 20 April 1959 ini makin dekat dengan teman-temannya yang hobi ke salon. Dari sinilah ia tertarik mencoba mendirikan salon di kawasan Kemang, Jakarta pada 1989. “Tujuannya waktu itu lebih untuk tempat kumpul-kumpul,” ujarnya. Kendati begitu, bisnis kayu tetap serius dilakoni, sedangkan operasional salon diserahkan kepada para profesional yang dia rekrut.

Salon debutannya yang seluas 40 m2 itu bernama Kurawa. Modalnya sekitar Rp 20 juta dari kantong sendiri. Sayang, salon yang sempat berkembang pesat ini bangkrut karena kecurangan pegawainya dalam hal keuangan. “Saya kurang kontrol, karena harus sering ke luar kota,” ujar putri dari pasangan Tomoredjo dan Catherina Suly (keduanya sudah almarhum) ini. Salon yang sempat bertahan hingga 8 bulan itu akhirnya terpaksa ditutup.

Cathy bercerita, suatu malam ia tercenung sembari memandangi salon dan isinya yang tak terpakai. Ketika itu, bungsu dari lima bersaudara ini bingung, barang mubazir itu mau diapakan. Sebab, kalau dijual harganya tak lebih dari 50%, sedangkan untuk menjalankan sendiri, ia tak punya keahlian di bidang salon. Akhirnya iseng-iseng ia membuka buku kuning, dan mencari alamat Sekolah Rambut dan Kecantikan Martha Tilaar, Rudy Hadisuwarno, dan Johnny Andrean. Namun, ia merasa lebih sreg mengikuti pendidikan di Martha Tilaar.

Pada 1990 ia memutuskan serius menggarap bisnis salon. Langkah pertamanya, mengambil pendidikan tentang rambut dan segala hal yang berhubungan dengan kecantikan — dari ujung kaki sampai ujung rambut — selama 29 bulan atau 2,5 tahun di lembaga pendidikan milik Martha Tilaar itu. Dana untuk merintis bisnis baru ini dan untuk ongkos hidup sehari-hari tak lain diambil dari hasil bisnis kayunya selama ini.

Lalu, nasib bisnis kayunya? Ia tinggalkan begitu saja. “Saya suka petualangan. Di bisnis kayu, tak ada tantangan lagi, semuanya sudah bisa saya tangani,” ujar pehobi travelling yang kerap melancong ke mancanegara ini. Menurut Cathy, karena berjiwa petualang, maka ia rela membangun bisnis baru dari nol lagi.

Diakui Cathy, awal belajar di Martha Tilaar ia sempat syok. “Bayangkan, bertahun-tahun tangan saya terbiasa memegang kayu yang kasar. Tiba-tiba sekarang saya memegang rambut,” ujarnya. Bulan-bulan pertama belajar memotong dan membentuk rambut ia selalu gagal. Ia sempat merasa putus asa. Apalagi ketika ada pengajarnya yang sempat mengeluhkan ketidakmampuan dia. “Tapi, ini juga yang membuat saya penasaran dan merasa tertantang,” ujar Cathy. Enam bulan kemudian, kerja kerasnya memperlihatkan hasil. Bahkan, ia meraih juara dalam lomba antarsiswa dan wilayah. Yang mengesankan, ia pun mampu meraih juara I umum tingkat nasional.

Pada 1992 ia lulus dari Martha Tilaar dan melamar kerja pertama kali di Salon Johnny Andrean (SJA). Sebenarnya dengan uang yang ia miliki dan aset salon yang terbengkalai, ia sudah bisa mendirikan salon sendiri. Namun, hal itu tidak dilakukan. “Untuk sukses dibutuhkan pengalaman lapangan yang banyak,” ujarnya memberi alasan. Dan, ia melihat Johnny Andrean yang saat itu sudah memiliki nama bisa menjadi wadah untuk menggali pengalaman.

Di SJA ia diterima sebagai stylist yunior. “Saya berprinsip, sekali naik pohon, maka kita harus berjuang sampai ke puncak,” ujarnya bersemangat. Dalam waktu singkat, Cathy diangkat menjadi stylist senior. Kemudian naik lagi menjadi top stylist. Lalu, pada 1993 ia diangkat sebagai art director salah satu salon terkemuka di Tanah Air ini.

Momentum besar datang, ketika pada suatu hari di tahun 1994 Johnny Andrean menugasi Cathy membangun sekolah (training center) SJA. Ia sempat ditugaskan ke Kimari School di Singapura dua bulan untuk menyadap metode sekolah salon modern itu.

Ilmu dari Singapura pun ia tumpahkan di sini. Praktis, mulai dari penggodokan sistem, persiapan tempat, pembuatan kurikulum sampai penunjukan tim untuk training center, peran Cathy amat dominan. Semua persiapan ini hanya dilakukan dalam empat bulan. Sejak 1994, jabatan Cathy pun berubah menjadi Kepala Training Center SJA. Namun, setelah empat tahun menjabat kepala sekolah, Cathy mengundurkan diri pada akhir 1998, lantaran ada masalah internal yang mengganggunya.

Setelah keluar dari SJA, Cathy tergelitik untuk membuka lagi salonnya sendiri. Februari 1999, ia meluncurkan salon di ITC Mangga II, Jakarta Barat, seluas 62 m2. Modal yang ia kucurkan dari isi kantong sendiri itu mencapai Rp 150 juta. “Saya kebetulan mendapat berkah dari kenaikan harga dolar saat itu,” ujarnya sumringah.

Ia menamakannya Salon Christopher (SC). Alasannya, peluncurannya bersamaan dengan perayaan Natal (Christmas) dan salon ini memang diutamakan untuk pelanggan laki-laki. Toh, alasan terpenting, nama itu merupakan nama orang yang dicintainya, yakni Christopher, 50 tahun, suaminya sendiri yang keturunan Belanda.

Selama 6 bulan pertama, Cathy harus turun langsung melayani pelanggan. “Awalnya, respons masyarakat sedikit,” katanya mengenang. Namun, dari waktu ke waktu ternyata makin membaik. Karena itulah, pada tahun yang sama ia bisa membuka salon kedua, mengambil lokasi di lantai satu Gajah Mada Plaza, dengan luas ruangan 98 m2.

Memasuki tahun 2000, perkembangan SC makin bagus. Maka, pada Juli 2000 Cathy memberanikan diri membuka cabang di luar kota untuk pertama kali, yaitu di Batam. Kini, di Batam ia memiliki tiga salon. Di kawasan Jabotabek pun ia agresif membuka salon, seperti di Bogor (dua salon), di Cijantung Mal, dan Kramatjati Indah.

Pada 2002 ia memperluas jaringan salonnya ke Solo, Surabaya dan Bali. Perkembangan yang paling pesat pada 2002 dan 2003. Di dua tahun ini ia berhasil menambah 12-13 salon/tahun. Kini, gerai SC berjumlah 38 salon, dan diperkuat sekitar seribu karyawan. “Pada Agustus tahun ini total akan genap 40 gerai,” ujar Cathy bangga, sambil menyebutkan salah satunya akan hadir di Palembang.

Wi Hong, pemasok peralatan salon dan pewarna rambut untuk SC mengungkapkan, selama empat tahun mengenal Cathy, ia melihatnya sebagai sosok yang ulet dan mau terjun langsung. Pemasok nomor dua terbesar di SC ini menambahkan, pertumbuhan SC tertinggi diperkirakan pada 2003. “Omset saya khusus dari Salon Christopher saja mencapai Rp 100 juta per bulan,” ujar Wi Hong, sambil menyebutkan itulah nilai transaksi tertinggi diperolehnya dari SC.

Uniknya, Cathy mengembangkan ke-38 salonnya itu secara mandiri alias dengan modal dari kantong sendiri. “Saya sama sekali tidak bermitra dengan orang lain dan tak memakai uang bank,” katanya mengaku. Kalau benar seperti itu, jelas ia punya dana yang amat likuid. Pasalnya, untuk membuka satu gerai salon saja, dana yang dibutuhkan Rp 150-400 juta. Toh, menurut Cathy, dana untuk membuka salon tak lain ia dapatkan dari keuntungan salon terdahulu. “Jika ada uang dan ada kesempatan, maka saya akan membuka salon. Jika uangnya tak ada, walaupun ada kesempatan saya tidak buka,” ujarnya lugas.

Cathy merasa prinsip pengembangan salon seperti ini aman bagi kinerja usahanya. “Saya takut jika punya utang besar, saya tak bisa bayar,” tuturnya. Diungkapkan Cathy, ia pernah ditawari kredit sampai miliaran rupiah untuk pengembangan usahanya, tapi ia menolak.

Kendati begitu, Cathy mengaku saat ini sedang mempertimbangkan sistem kemitraan dan waralaba yang adil untuk pengembangan lebih lanjut jaringan salonnya. “Yang saya khawatirkan, kemungkinan terjadinya kecurangan atau ketidakadilan,? ujarnya terus terang. Itulah sebabnya ia sangat hati-hati menawarkan atau menerima berbagai bentuk kerja sama.

Yang tak kalah menarik, langkah Cathy dalam pengembangan SDM. Sebagai perusahaan yang agresif membuka cabang, Cathy sadar perusahaannya harus selalu siap menyediakan SDM yang mumpuni. Juga, belajar dari pengalamannya terdahulu, maka sejak tahun 2000, Cathy berinisiatif membuka training center bertempat di Gedung Chandra, Glodok, Jak-Bar. Karena dirasakannya masih kurang memadai, pada 2003 ia membuka lagi training center di Cempaka Mas, Cempaka Putih, Jak-Tim. Melalui training center inilah Cathy mempersiapkan tenaga SDM bagi pengembangan salonnya di berbagai kota. Itulah mengapa setiap pelamar disyaratkan harus bersedia ditempatkan di mana saja.

Untuk memudahkan penempatan SDM di sejumlah salon, Cathy selalu menyediakan tim cadangan. Jumlahnya sama dengan jumlah karyawan di sebuah gerai salon, atau 15-20 orang. “Mereka selalu siap diterjunkan setiap waktu,” ujarnya. Sementara salon yang ditunjuk belum terbentuk, biasanya mereka disisipkan satu per satu ke sejumlah salon yang ada. Uniknya, yang bersangkutan sendiri biasanya tak tahu jika ia sebenarnya dalam posisi ini. Yang tahu adalah manajemen SC melalui daftar karyawan. Cathy menuturkan, pengalamannya yang cukup banyak dalam pengembangan SDM di Johnny Andrean merupakan modal yang besar baginya. “Saya banyak belajar dari persoalan sebelumnya,” katanya bangga.

Dalam pengembangan usahanya, Cathy selalu memasok karyawan dari Jakarta. Artinya, Cathy tak pernah memakai tenaga daerah setempat tiap membuka salon baru. Alasannya demi standardisasi mutu, loyalitas karyawan, kepercayaan dan pembentukan kultur di perusahaan. Ia mengaku, meskipun mantan Kepala Sekolah SJA, ia tak pernah membajak atau mengambil karyawan dari Training Center Johnny Andrean. “Saya lebih senang mengambil orang dari nol lalu di-training,” ujarnya. Menurutnya juga, orang bajakan biasanya memiliki kultur kerja sendiri, sehingga hal ini dikhawatirkan akan merusak kultur yang sedang dikembangkan.

Salah satu prinsip yang dipegang Cathy dalam mengembangkan jaringan salonnya adalah menyediakan sistem yang baik dan adanya kepercayaan pada orang lain. Pengalaman pernah ditipu karyawan sewaktu merintis bisnis salon menjadi catatan baginya dalam menciptakan sistem yang ingin ia terapkan. Untuk memacu kinerja para stylist yang menjadi ujung tombak salon, ia menetapkan, di luar basic salary bagi mereka, juga ada komisi dan bonus jika mencapai target. Di sisi lain untuk mengontrol keuangan, tiap pekerjaan yang datang ke stylist dibuatkan daftar kerja yang detail.

Menurut Cathy, permainan keuangan di salon biasanya terjadi di kasir, lantaran mereka memegang uang tunai. Untuk mengontrol mereka, maka ia menciptakan sistem yang saling bisa mengontrol antara kasir dan stylist melalui daftar kerja yang detail dari stylist yang diparaf kasir. Bagi stylist hal ini penting karena untuk memperoleh komisi dan bonus. Bagi manajemen, hal ini untuk mengontrol berapa persis uang yang masuk ke kasir.

Selain sistem di atas, Cathy juga membuat sistem pengelolaan salon secara berjenjang. Di tiap salon selalu ada dua manajer. Pertama, manajer salon dan kedua manajer mutu. Di atas mereka ada manajer area. Di SC, manajer area ada tiga orang, yang mengontrol salon-salon yang berada di wilayah mereka masing-masing termasuk cabang di luar kota. Posisi ketiga manajer area ini diputar setiap periode tertentu.

Jika di sebuah salon ada karyawan bermasalah, maka manajer salon atau manajer mutu akan melaporkan persoalannya ke manajer area. Setelah dikaji, maka SDM akan ditangani oleh manajer personalia di pusat jika berkenaan dengan soal kepersonaliaan. Namun, jika berhubungan dengan keuangan akan ditangani oleh manajer keuangan. “Saya bersyukur karena mendapat tim yang bagus. Mereka sangat mendukung kinerja salon saya,” ujar Cathy sambil tersenyum.

Dilihat dari sisi persaingan, diakuinya cukup keras. Kendala yang sering ia hadapi adalah upaya pesaing yang memblok kehadirannya di pusat-pusat belanja. Yang paling tragis ada sebuah salon ternama yang membuka salon persis di samping salonnya, padahal salonnya sudah bertahun-tahun di sana.

Kini ia boleh berbangga, jaringan salonnya berkembang baik. Tiap bulan pendapatan Cathy rata-rata mencapai Rp 100 juta/salon. Cathy sendiri tak bisa mengungkapkan apa keunggulan salonnya dibanding salon lain. “Bagi saya ini merupakan bisnis jasa. Jadi, yang paling diperhatikan adalah soal servis,” ujarnya. Dilihat dari sisi harga ia mengaku tak mematok harga terlampau murah. Di salah satu salonnya ia mematok harga Rp 30 ribu untuk servis memotong dan blow rambut. Tarif tiap SC berbeda-beda tergantung lokasinya, walaupun diakuinya target pasar konsumen SC kalangan menengah.

Ke depan, wanita yang tinggal di Perumahan Depok Kembangan di Depok ini berencana meluncurkan second brand untuk menggarap segmen pasar yang lebih rendah. Nama salon second brand dan kapan tanggal pasti peluncurannya, ia belum mau buka-bukaan.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved