Listed Articles

Masih Arena Pertarungan Unilever dan P&G

Oleh Admin
Masih Arena Pertarungan Unilever dan P&G

Namun, itu bukan satu-satunya iklan kreatif yang ditampilkan PT Unilever Indonesia, pemilik merek Sunsilk. Di televisi, belakangan kita bisa menyaksikan beberapa versi iklan Sunsilk yang tak kalah menarik.

Toh, langkah Unilever memborbardir pemirsa dengan iklan Sunsilk, bisa dibilang tak percuma. Buktinya, ketika publik ditanyakan iklan sampo apa yang paling diingat, sebagian besar menjawab iklan sampo Sunsilk. Hasil survei MARS-SWA menunjukkan, di lima besar, angka TOM ad Sunsilk paling tinggi, yakni 37,4, baru disusul Clear (23,7), Pantene (19,0), Lifebuoy (6,9), dan Rejoice (4,7). Bukan itu saja. Ketika orang ditanyakan merek sampo apa yang paling diingat, sebagian besar juga menjawab Sunsilk. Dari hasil survei terbaru tadi, skor TOM brand Sunsilk sebesar 36,0, lagi-lagi disusul secara konsisten oleh Clear (23,4), Pantene (17,9), Lifebuoy (6,8) dan Rejoice (6,0).

Wajar jika Unilever cukup jorjoran mengampanyekan produk-produk samponya. Tidak cuma Sunsilk, tapi juga Clear, dan yang relatif baru Lifebuoy. Pasalnya, pasar sampo di Tanah Air yang diperkirakan bernilai sekitar Rp 500 miliar setahun, jelas sangat sayang untuk diabaikan. Apalagi, seperti kata Debora H. Sadrach, Direktur Perawatan Personal Unilever, sukses Sunsilk menjadi pemimpin pasar merupakan buah perjalanan panjang Unilever merintis pasar sampo sejak 1952. Debora berani mengklaim, kini Unilever menguasai sekitar 50% dari total pasar sampo di Indonesia, dengan Sunsilk memberikan kontribusi sekitar 60%.

Dari hasil survei tadi, Sunsilk tampil sebagai jawara di kategori produk sampo dengan mencatat nilai total brand value (BV) tertinggi, yakni 207,23, disusul berturut-turut oleh Clear (135,45), Pantene (112,51), Lifebuoy (40,11), dan Rejoice (35,34). Sunsilk mencatat keunggulan dalam beberapa kriteria, yakni TOM brand (skor 36,10), TOM ad (37,32) dan brand share (34,63). Namun dari segi satisfaction, Sunsilk mencatat skor 89,6, di bawah Clear, Pantene, dan Rejoice. Malah di kriteria gain index (GI), nilai Sunsilk paling rendah, yakni 13,8.

Bila menilik peringkat lima besar di kategori sampo ini, yang muncul memang dua nama besar di bisnis toiletries, yakni Unilever dan Procter & Gamble (P&G). Unilever punya merek-merek Sunsilk, Clear dan Lifebuoy. Adapun P&G mengandalkan Pantene, Rejoice, dan satu produk lagi yang sebenarnya lumayan berbunyi, Head & Shoulders. Diperkirakan, lebih dari 90% pasar sampo di Tanah Air dikuasai dua dedengkot toiletries ini. Dan, persaingan keduanya bukan hanya di Indonesia, tapi juga di pasar internasional. Yang jelas, kedua pemain ini tergolong rajin mempromosikan produk samponya.

Sunsilk, misalnya. Selain menampilkan iklan above the line lewat media televisi dengan berbagai tema, Unilever juga menggarap aktivitas below the line-nya. Salah satu event-nya yang tergolong besar dan serius adalah ajang pemilihan Gadis Tiara Sunsilk. Yang menarik, untuk lebih memperbesar jumlah pesertanya Unilever merasa perlu melakukan langkah jemput bola ke kampus dan mal-mal. Selain itu, juga ada iklan testimoni dari gadis-gadis pemenang pemilihan tahun sebelumnya.

Menurut Debora, karena Sunsilk sudah lama di pasar dan menjadi pemimpin pasar, strateginya sebenarnya lebih untuk memelihara merek dan konsumennya. Saat ini Sunsilk memiliki lima varian utuk memenuhi kebutuhan konsumennya. “Kami berusaha memuaskan konsumen dengan mengeluarkan berbagai varian. Tetapi, kami mematok 4-5 varian untuk Sunsilk agar tidak membingungkan konsumen. Yang jelas, kami terus melakukan inovasi berdasarkan consumers insight,” katanya.

Debora juga menyebutkan, kunci keberhasilan Sunsilk adalah kedekatannya dengan konsumen Indonesia, khususnya dari sisi personalitas wanita Indonesia. “Sunsilk sudah identik dengan wanita Indonesia. Kami mengupayakan brand tersebut berada di jalur itu,” katanya. Positioning seperti ini memang cukup terlihat dari serial iklannya yang merefleksikan kedekatan Sunsilk dengan konsumennya. Sayangnya, ia tidak bersedia menyebut anggaran promosi yang dikeluarkan untuk Sunsilk. Namun, secara umum ia memberi gambaran bahwa untuk setiap produk Unilever disiapkan total support (anggaran) 18%-20%, dengan sekitar 15%-nya untuk aktivitas promosi dan iklan.

Ke depan, kata Debora, merek-merek sampo ini punya peran masing-masing di pasar. Clear misalnya, diposisikan sebagai sampo antiketombe terkemuka. Adapun Lifebuoy akan diposisikan sebagai sampo keluarga.

Memang, pertarungan keras antara Unilever dan P&G di kategori sampo belakangan juga diperpanas dengan munculnya subkategori sampo keluarga. Ini dimulai ketika P&G meluncurkan Rejoice Complete yang diposisikan sebagai sampo untuk keluarga pada April 2001. Hanya dalam waktu 6 bulan, Unilever meluncurkan sampo pesaingnya, yakni sampo Lifebuoy Hydro Protein. Untuk menancapkan brand awareness, Unilever gencar mempromosikan sampo Lifebuoy, baik melalui iklan di radio maupun televisi. Tahun 2001 misalnya, berdasarkan data AC Nielsen sampo Lifebuoy mengeluarkan belanja iklan sebesar Rp 36,68 miliar. “Sampo Lifebuoy kan umurnya relatif masih muda, sehingga diberikan investasi lebih, agar awareness-nya bagus,” ujar Debora.

Hasilnya lumayan terlihat. Sampo Lifebuoy yang dalam survei tahun lalu berada di bawah merek Rejoice (di peringkat lima), dalam survei kali ini berhasil naik ke peringkat empat dengan menggeser Rejoice. Tahun lalu sampo Lifebuoy berada diperingkat ke-5 dengan BV 15,32 di bawah Rejoice dengan BV 38,49. Adapun tahun ini dengan BV 38,5 sampo Lifebuoy berhasil menyingkirkan Rejoice yang BV-nya menurun dari 38,49 menjadi 34,0. “Tapi, masih terlalu dini untuk menilai keberhasilan sampo Lifebuoy,” kata Debora merendah.

Hasil survei untuk kategori sampo menarik dicermati, karena sebagai jawara tahun ini, skor satisfaction dan GI yang diperoleh Sunsilk lebih rendah dibanding merek sampo lainnya. Menurut Debora, skor satisfaction Sunsilk relatif lebih rendah, karena Sunsilk sudah terlalu lama di pasar. Karenanya, lanjut dia, bisa saja konsumen berpersepsi bahwa merek lain sebagai pendatang baru akan membawa sesuatu yang lebih modern, sehingga tingkat kepuasan yang akan diperoleh konsumen akan lebih tinggi.

Menanggapi hasil survei tersebut, Yuswohadi, pengamat pemasaran dari MarkPlus, berpendapat sangat wajar bila skor satisfaction Sunsilk lebih rendah dibanding merek lain, karena Sunsilk terlalu konservatif, kurang ekspansif menginovasi produk sehingga terkesan produknya itu-itu saja. “Pengembangan produk tetap dilakukan, tapi tidak seagresif merek lain. Saya melihat Sunsilk akan mempertahankan gaya konservatifnya,” katanya. Menurutnya lagi, dalam konsep kepuasan konsumen, bila ekuitas merek sudah dipersepsikan tinggi, ekspektasinya cenderung terdongkrak. Nah, bila produknya tidak ditingkatkan, gap antara ekspektasi dan apa yang bisa dinikmati konsumen semakin membesar, sehingga tingkat kepuasaan konsumen semakin menurun.

Menurut Yuswo, Sunsilk memang harus tetap memelihara ekuitas mereknya, sehingga bisa terus memimpin pasar. Namun, ujarnya lagi, dengan GI yang rendah, posisi Sunsilk bisa dibilang sudah mentok dan konsumen sudah jenuh, karena tidak ada perubahan yang dirasakan konsumen. Padahal, kata Yuswo, pemain lain berlomba-lomba ekspansi sehingga berpotensi menarik konsumen baru.

Yuswo menyarankan, Sunsilk tidak perlu konservatif lagi. Alasannya, bila gaya lamanya tetap dipegang dengan mengenang kejayaan masa lampau, tingkat kepuasan konsumennya akan semakin menurun, sehingga potensi gain-nya rendah. “Ini lampu merah bagi Sunsilk,” katanya, mengingatkan.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved