Listed Articles

Meluaskan Channel, Menjaring Premi

Oleh Admin
Meluaskan Channel, Menjaring Premi

“Silakan brosurnya dilihat-lihat dulu, Pak,” ujar Yulia Yaumun, Post Financial Officer (PFO) PT AIG Lippo, ramah. Selama 7 bulan terakhir, gadis manis berusia 24 tahun ini mangkal di Kantor Pos Serpong, Tangerang, menjajakan berbagai polis asuransi yang keluaran AIG Lippo. Jelas, sasarannya tak lain adalah pelanggan Kantor Pos Serpong. Dalam sebulan, lulusan D-3 Jurusan Pajak Universitas Padjadjaran Bandung ini dapat menjual rata-rata 25 unit polis asuransi.

Dilihat dari unit polis yang terjual, barangkali, jumlah itu bisa dikatakan banyak. Namun, dihitung dari nilai premi yang dikumpulkan, ternyata jumlahnya tidak besar. Yulia bisa maklum. Target pasar di kantor pos adalah kelas menengah-bawah dengan premi Rp 30-60 ribu setahun. Namun, ini bukan berarti ia tak menawarkan produk lain, semisal Rejeki — produk kombinasi asuransi dan tabungan. Hanya, “Tak mudah menjualnya. Soalnya, banyak masyarakat yang belum mengerti manfaat asuransi,” ujar gadis yang hari itu memakai kaus putih bertuliskan AIG Lippo.

Selain Yulia, ada pula Evi Parwati, yang memasarkan polis AIG di Bank Lippo Cabang Universitas Pelita Harapan. Menurutnya, menjual polis dengan cara nge-pos seperti itu lebih mudah ketimbang menjadi agen asuransi biasa. Pasalnya, “Tiap hari banyak orang yang datang ke bank untuk melakukan berbagai transaksi. Saya tinggal menawari,” ujar Evi yang sudah menjalani profesinya selama dua tahun. Berbeda dari pelanggan kantor pos yang belum paham seluk-beluk asuransi, mereka yang datang ke bank, dinilai Evi, sudah mengerti produk yang ditawarkannya. “Saya hanya menjelaskan lebih jauh mengenai manfaatnya bila bergabung menjadi nasabah asuransi AIG Lippo,” tutur gadis yang sehari-harinya berseragam layaknya karyawan Bank Lippo ini.

Bisa dikatakan, Yulia dan Evi hanya dua di antara ratusan gadis yang direkrut AIG untuk memasarkan polis asuransinya. Bila diperhatikan, dalam tujuh tahun terakhir AIG cukup agresif mengembangkan saluran distribusi yang unik untuk memperluas pangsa pasarnya. Sebagaimana diketahui, di antara pemain di industri asuransi jiwa, AIG berada di urutan kedua. Tempat pertama diduduki PT Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera.

Tentu, tak mudah bagi AIG menyalip AJB Bumiputera, perusahaan yang sudah berdiri sejak 1912 ini. Bila hanya mengandalkan pola pemasaran konvensional, yang bertumpu pada keahlian agen, akan sulit bagi AIG melampaui dominasi AJB Bumiputera. Karena itu, berbagai cara pemasaran dilakukan agar perusahaan yang dulunya bernama Lippo Life ini dapat meningkatkan pangsa pasarnya. Untuk mendukung upaya itu, diluncurkanlah pola penjualan yang disebut saluran multidistribusi (multi distribution channel), pada 1997.

Strategi ini, diungkapkan S. Budisuharto, Deputi Presdir & Chief Marketing Officer AIG Lippo, menjadi pembeda antara AIG Lippo dan perusahaan asuransi lain. “Dengan menggunakan banyak saluran, produk asuransi AIG Lippo bisa dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia,” ujarnya. Bila tujuannya demikian, kenapa tidak dilakukan dengan membuka cabang di mana-mana?

Membuka cabang baru, tentu tak seperti membalik telapak tangan. Menurut Budi, membangun saluran multidistribusi biayanya jauh lebih murah ketimbang membuka cabang. “Penghematannya rata-rata 30%-40%,” katanya. Itu berarti, dapat memperkecil biaya investasi. Selain itu, Budi melanjutkan, saluran multidistribusi juga memungkinkan AIG Lippo menggandeng mitra yang memiliki jaringan sangat luas, seperti PT Pos Indonesia.

Sampai kini, setidaknya sudah ada 7 saluran distribusi yang dikembangkan AIG Lippo. Pertama, penjualan melalui agen. Pola ini sama seperti yang dilakukan perusahaan asuransi lain pada umumnya. Tiap agen akan menerima komisi sesuai nilai premi yang dibukukan. Kedua, saluran distribusi melalui bank. Saluran yang satu ini dioptimalkan mulai dari menggaet nasabah yang datang ke bank, hingga memanfaatkan database nasabah. Dalam hal ini, bank yang paling banyak digandeng AIG adalah Bank Lippo. Bahkan, kerja sama dengan Bank Lippo sudah dilakukan sejak asuransi ini ada. Ini bisa dimaklumi, lantaran kedua institusi ini didirikan oleh orang yang sama, Mochtar Riady.

Dalam perkembangannya, AIG Lippo juga menjalin kerja sama dengan bank-bank lain, yaitu BII, BNI (untuk phoneplus), dan Bank Permata (asuransi jiwa kredit). Adapun untuk pembayaran premi, selain bank-bank di atas, AIG Lippo juga bermitra dengan Bank Mandiri dan Bank Niaga.

Ketiga, saluran distribusi ritel. Umpamanya, dengan membuka gerai atau tempat nge-pos di mal-mal. Saat ini AIG Lippo memiliki gerai tetap di setiap cabang Matahari Department Store. Juga, termasuk dalam saluran ritel distribusi adalah kantor pos dan mobile financial service (Mofis). Di antara sekian banyak saluran distribusi yang diterapkan AIG, post assurance — sebutan untuk pola pemasaran yang memanfaatkan jaringan kantor pos — adalah yang termuda. Kepala Divisi AIG Lippo Heliyanto Usodo mengungkapkan, kerja sama dengan PT Pos Indonesia dikembangkan sejak 1999.

Dari total kantor pos di seluruh Indonesia yang berjumlah 4.600, saat ini AIG baru memiliki 140 gerai distribusi, yang ditangani sekitar 650 PFO. Tahun ini, AIG Lippo akan meningkatkan jumlah gerai di kantor pos menjadi 150 dengan 1.200 PFO yang siap melayani nasabah. Jadi, “Channel ini masih terbuka lebar,” ujar Budi optimistis. Sementara untuk Mofis, AIG baru memiliki 15 armada yang tersebar di Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Semarang dan Makassar. Setiap Mofis akan berkeliling ke tempat-tempat strategis untuk menjajakan produk asuransi AIG Lippo.

Keempat, financial center, yaitu gerai AIG yang berfungsi memberi pelayanan perencanaan keuangan (financial planning) kepada nasabah, termasuk memberi saran bila ingin berinvestasi di saham. “Ya, semacama supermarket finansiallah,” ujar Budi.

Kelima, distribusi korporat, yaitu saluran distribusi yang khusus menangani nasabah korporat atau perusahaan. Saat ini, baru ada di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Semarang. Keenam, direct respons, yakni pemasaran asuransi melalui telemarketing (call center), e-mail dan Internet. Dan ketujuh, saluran distribusi melalui pension center, baik untuk nasabah korporat maupun individu.

Setiap saluran dikembangkan sesuai target pasar masing-masing. Target pasar di kantor pos, misalnya, masyarakat menengah-bawah. Sementara distribusi melalui bank menyasar masyarakat menengah-atas. Demikian pula, financial center, target pasarnya kelas atas. Segmen pasar yang dituju selanjutnya menentukan jenis produk asuransi macam apa yang sebaiknya dijual di tempat itu. “Di kantor pos, produk asuransi yang kami jual adalah yang preminya murah,” Budi mencontohkan.

Nah, agar hasilnya optimal, masing-masing saluran dikelola secara independen oleh seorang Vice President (VP). Ambil contoh di post assurance, selain menempatkan PFO di masing-masing kantor pos, Heliyanto juga mengembangkan program pemasaran bersama para pengantar surat dan petugas loket. “Di program pemasaran bersama, petugas pos berkeliling mengantar surat sekalian menawarkan produk atau menyebarkan brosur asuransi kepada masyarakat,” jelasnya.

Petugas pos yang berhasil menggaet nasabah baru, bakal menerima komisi. Sayang, Heliyanto tak menyebutkan besar komisi yang diperoleh para petugas pos. Yang jelas, “Kerja sama ini sifatnya bagi hasil dengan ketentuan 2,5% untuk PT Pos dari total premi yang diperoleh melalui channel ini,” paparnya. Dibanding pola pemasaran yang dikembangkan asuransi lain, Heliyanto menilai, saluran distribusi yang dipimpinnya memiliki keunggulan bersaing. Terlebih, post assurance juga didukung infrastruktur dan teknologi yang memadai.

Sementara itu, di saluran distribusi melalui bank, Kepala Divisi Bancassurance AIG Lippo Dharma I. Odang menjelaskan, pihaknya bekerja sama dengan bank yang bersangkutan membentuk komite bancassurance. Fungsinya, sebagai wadah komunikasi yang bertugas mengontrol, menganalisis dan mengevaluasi aktivitas sinergi yang berlangsung setiap hari. “Kami ingin memastikan kerja sama ini sesuai rencana dan obyektivitas yang diharapkan,” ujar Dharma.

Diakuinya, sekarang sudah banyak asuransi yang menerapkan kerja sama dengan bank. Akan tetapi, sebagaimana Heliyanto, Dharma pun menilai, saluran distribusi AIG Lippo lebih unggul. Pasalnya? “Kami memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun,” ujarnya mantap.

Kendati pola pemasarannya menyebar ke mana-mana, untuk aktivitas penerbitan polis, pembuatannya dipusatkan di kantor administrasi — Budi mengistilahkannya pabrik polis — yang berada di Jakarta (tiga kantor), Bandung, Surabaya, Medan, Makassar dan Semarang (masing-masing satu). “Seluruh kantor pembuatan polis itu online satu sama lain, sehingga servis kami bisa lebih cepat,” paparnya.

Berkaitan dengan pola insentif masing-masing channel, Budi mengakui memang ada perbedaan. “Ini memang kami sengaja. Sebab kalau disamakan, nanti bisa menimbulkan channel conflict,” ujarnya. Sebagai contoh, untuk para agen tak ada gaji tetap bulanan. “Kalau bisa menjual, mereka dapat komisi. Kalau tidak bisa, ya berarti nggak dapat apa-apa,” katanya seraya menambahkan, bagi agen tidak ada kewajiban datang ke kantor tiap hari. Jadi, insentif diberikan berdasarkan kerja dan targetnya.

Lain agen, lain pula PFO. Bagi PFO yang bertugas di kantor pos, Heliyanto menjelaskan, selain memperoleh komponen pendapatan tetap berupa komisi dasar, mereka juga memperoleh insentif produksi/bonus. Di samping itu, karena kerja sama dengan PT Pos sifatnya partnership, ada juga ikatan dan perjanjian tata tertib yang harus disepakati bersama. Dengan kata lain, “Para PFO yang ditempatkan di kantor pos harus mengikuti aturan kerja yang berlaku di sana,” ujarnya. Lantas, bagaimana hasil agresivitas ini?

Dilihat dari tingkat keberhasilannya, Budi menyadari, upaya yang dilakukan timnya saat ini masih belum sempurna. Namun paling tidak, hasilnya mulai kelihatan. Buktinya, dari total pendapatan AIG Lippo, 55% di antaranya berasal dari saluran distribusi bank. Selebihnya, 30% dari agen, 5% ritel, 2% pos, 5% financial center, 2%-5% korporat, 1% direct respons dan 1% pensiun. Memang, dari 7 saluran yang telah dikembangkan saat ini, distribusi melalui bank masih mendominasi. Ini bisa dimaklumi, lantaran pemasaran melalui jalur bank dilakukan AIG Lippo sejak lama.

Sekadar gambaran, sampai akhir 2003 total polis aktif individu yang diterbitkan AIG Lippo mencapai 800 ribu polis, meningkat 18,5% dibanding tahun sebelumnya yang 675 ribu polis. Asuransi yang memiliki aset Rp 4 triliun ini hingga November 2003 telah membukukan premi sebesar Rp 2 triliun. “Tahun 2002, premi yang dihasilkan sekitar Rp 1,7 triliun,” ungkap Budi.

Tentu saja, untuk menggarap seluruh saluran itu dengan optimal, dibutuhkan pengetahuan, kerja keras dan pemahaman yang mendalam mengenai industri asuransi. Sebagai contoh, dalam mengembangkan bancassurance, ada dua kultur berbeda, yakni asuransi dan bank, yang dicoba disatupadukan. Budi pun tak menutup mata, tantangan yang dihadapi di lapangan memang cukup pelik. Karena itu, ia tak henti-hentinya memotivasi para tenaga penjual agar lebih giat menjual produk asuransi AIG Lippo.

Budi berharap, ke depan kontribusi dari saluran distribusi yang lain pun akan meningkat pesat. Bahkan, ia berencana meluncurkan dua saluran distribusi baru dalam waktu dekat. Polanya? “Masih rahasia,” katanya sambil tersenyum. Di tempat lain, Yulia dan Evi juga menaruh harapan yang sama. Siapa sih yang tak ingin dagangannya laku?

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved