Listed Articles

Memutar Uang di Waralaba Spa

Oleh Admin
Memutar Uang di Waralaba Spa

Spau, di abad ke-16. Desa kecil, dekat Liege, Belgia, terkenal dengan kolam air mineral yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Selama berabad-abad kolam spa itu menjadi tempat favorit para bangsawan. Konon, pesona kecantikan Cleopatra muncul dikarenakan rajin berendam air panas yang dicampur minyak asiri dan aneka wewangian. Di Indonesia, ruwatan itu sudah dikenal sejak lama di lingkungan putri keraton yang menjalani perawatan kecantikan tradisional.

Entah karena ingin cantik seperti Cleopatra atau putri keraton, Muina Englo pun getol merawat tubuhnya dengan spa. “Bahkan, tiap keluar kota saya selalu menyempatkan diri datang ke perawatan spa,” katanya. Berawal dari hobi berspa inilah, Muina tidak menyangka akhirnya itu menjadi bisnis yang menyenangkan. Kini, ia memiliki 11 jaringan waralaba Martha Tilaar Spa (MTS).

Sepak terjang Muina sebagai investor waralaba MTS diawali pada 1997. Mula-mula hanya merintis satu gerai di Batam. Di luar dugaan, satu gerai spa yang dikelolanya itu disambut masyarakat Batam dengan antusias. Tujuh tahun kemudian, jaringan spa Muina beranak pinak menjadi 11 gerai, tersebar di beberapa provinsi, dan satu lembaga pendidikan MTS di Batam. “Saat bagus-bagusnya dulu, dalam satu tahun kami bisa buka dua cabang spa. Kalau sekarang sih, susah,” kata ibu dua putra ini.

Dari 11 cabang spa Muina, empat berada di Batam (Plaza Penuin, kawasan niaga Nagoya, Plaza Lucky, Batuaji); dua di Pekanbaru; serta masing-masing satu di Padang, Palembang, Medan, Tanjungpinang dan Yogyakarta. Pemilihan lokasi itu masing-masing ada sejarahnya. Pekanbaru dia pilih karena merupakan kota asal keluarganya. Lalu, Yogyakarta, tempatnya kuliah. Cabang MTS di Tanjungpinang ia dirikan lantaran ada tawaran menjadi tenant di mal baru. Adapun Medan, ia melihat potensinya bagus.

Namun, dari tiga jenis spa (Salon & Day Spa, Dewi Sri Spa dam Eastern Rejuvenating Center) yang ditawarkan, Muina lebih tertarik pada Salon & Day Spa. Pasalnya, dengan day spa, lokasi yang ditempati bukan di alam, tapi pusat keramaian.

Hal senada diungkapkan Tinuk Nursetiawati Soemino, investor satu gerai waralaba PT Indo Gaya Spa (IGS), di Jalan Raya Perjuangan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, sejak 2000. “Saya lebih suka konsep day spa IGS,” ia menegaskan. Menurut Lourda H. Budidharma, pemilik IGS, ada lima merek spa yang dikembangkannya, yakni Gaya Spa, Sanjiwani Spa, Bali Spa, Essentia Spa dan Stylist Spa dengan konsep day spa (di kota) yang setaraf hotel bintang tiga. Selain jaringan IGS dan MTS, juga ada waralaba Mustika Ratu Spa (MRS). Menurut Yudith Emma, Manajer Account Waralaba Grup MRS, perusahaan milik Mooryati Soedibjo ini punya tiga merek spa: Taman Sari Royal Heritage Spa, Mustika Ratu Salon Health & Spa, serta Java Princess.

Muina keberatan membeberkan total investasi yang telah dibenamkan untuk waralaba spa. Akan tetapi, gambaran nilainya bisa dihitung dari taksiran satu gerai spa terbarunya menyedot dana lebih dari Rp 1 miliar. Itu baru untuk biaya interior, renovasi bangunan dan perlengkapan spa. Padahal, persyaratan membuka spa baru harus memiliki tempat (tanah dan bangunan) di lokasi yang representatif. Hebatnya, mayoritas investasi Muina di spa bersumber dari modal sendiri. “Kami baru melakukan pinjaman bank pada pembukaan cabang terbaru saja,” istri seorang pengusaha itu mengungkapkan. Sementara itu, investasi spa Tinuk — berkongsi dengan tiga rekannya, masih kurang dari Rp 1 miliar.

Modal yang harus dibenamkan di MRS, baik Taman Sari Royal Heritage Spa maupun Mustika Ratu Salon & Day Spa, masing-masing di atas Rp 1 miliar. Untuk Java Princess, ada persyaratan working capital minimal 6 bulan (di luar gedung). Besar range modal kerja tersebut Rp 15-20 juta/bulan (tipe terkecil) hingga Rp 60-100 juta/bulan (tipe besar).

Soal management fee, tiap franchisor menetapkannya secara bervariasi. Di IGS, misalnya, ada tiga sumber. Pertama, franchise fee, dihitung dari luas dan brand sebesar 5%-8%. Kedua, marketing fee 5%-8%, tergantung susah-tidaknya medan. Jika daerahnya sukar, tentu biaya promosi/pemasaran lebih tinggi. Ketiga, initial fee yang besarnya dirahasiakan oleh Lourda. Lain IGS lain pula pola fee untuk membuka jaringan MRS. Jenis fee yang ditetapkan MRS ada empat macam. Pertama, initial fee yang dibayarkan di awal kontrak senilai Rp 150 juta untuk cabang lokal dan US$ 25 ribu di luar negeri. Kedua, training fee Rp 7 juta/terapis yang dididik di Lembaga Pendidikan MRS. Ketiga, technical fee sebesar 10% dari total laba kotor/bulan. Keempat, royalty fee 5% dari omset per bulan. “Kalau ada yang tertarik beli sistem komputerisasi kami, ditawarkan Rp 40 juta,” Yudith menambahkan.

Bagi Muina maupun Tinuk, risiko membeli waralaba spa tidak terlalu memberatkan. Sebab, bila ada komplain akan ditangani langsung oleh kantor pusat MTS atau IGS. Toh, Muina mengaku terpaksa menutup satu cabang spa di Plaza Batamindo. “Penyebabnya bukan karena mutu layanan menurun, tapi banyak PHK di kawasan industri Muka Kuning, Batam, yang letaknya berdekatan dengan gerai spa kami. Akibatnya, jumlah konsumennya pun menyusut,” jelas kelahiran Medan, 4 April 1967 ini.

Jumlah pengunjung tiap cabang spa Muina berbeda-beda, tergantung lokasi dan luas. Yang tempatnya terpisah dari pusat perbelanjaan, justru ramai. Sementara itu, spa yang dibuka di dalam mal tidak bisa dipastikan selalu ramai, tergantung kondisi mal. Bila mal ramai, pengunjung spa Muina juga terkatrol. Demikian sebaliknya. Luas juga memengaruhi jumlah pengunjung yang dapat dilayani. Makin besar gerai, kian banyak jumlah tamunya. “Sebelum pihak IGS dan kami memutuskan lokasi, biasanya mempertimbangkan aspek akses jalan dan potensi pasar,” kata Tinuk.

Hari libur atau tidak turut menentukan ramai-tidaknya spa milik Muina. Sebagai gambaran, rata-rata hari biasa satu gerai spa Muina melayani 30-40 tamu, sedangkan di hari libur 60 pengunjung lebih. Lain halnya waralaba spa IGS milik Tinuk yang tidak mengenal hari libur karena letaknya di lingkungan perkantoran. Hanya, jika sedang sepi, rata-rata hanya 30 pelanggan yang datang, sedangkan saat ramai bisa mencapai 80 pengunjung.

Bagaimana kalkulasi bisnisnya? Kata Muina, satu pengunjung gerai spanya kira-kira menghabiskan dana di atas Rp 100 ribu. Dengan demikian, taksiran omset satu gerai spa Muina tak jauh-jauh dari angka Rp 102 juta. Dasar perhitungannya, Rp 78 juta diperoleh dari operasi hari biasa (Rp 100 ribu X 30 X 26) dan 24 juta di hari libur (Rp 100 ribu x 60 x 4 = Rp 24 juta). Dengan 10 gerai spa, bisa jadi omsetnya sekitar Rp 1,02 miliar/bulan.

Meski Muina tidak berterus terang soal omset yang diraih, ia mengaku biaya operasional satu gerainya mencapai sekitar Rp 40 juta. Keuntungan bersih sekitar 30% setelah dikurangi biaya operasional, management fee dan dibagikan untuk insentif karyawan,” jelas bos dari puluhan karyawan itu. Sementara itu, Tinuk mengungkapkan omsetnya dengan praktis, “Rp 100 jutaan/bulan.”

Dengan gambaran jumlah keuntungan itu, tentu saja Muina merasa mantap dengan pilihan investasinya. Awalnya, balik modal dicapai 2-3 tahun. Namun, ketika membuka gerai kedua dan berikutnya, rata-rata modal kembali dalam waktu 3-4 tahun karena tingkat persaingan sangat tajam dan daya beli merosot. Sesuai dengan konsep spa yang dibeli Muina, yakni jenis salon & day spa — fasilitasnya salon dan spa, ternyata pendapatan dari salon turun signifikan karena banyak kompetitor. Ninuk pun memperkirakan, spanya baru balik modal pada tahun ke-4, padahal semula ditargetkan sekitar dua tahun.

Muina menambahkan, dirinya lebih tertarik membeli waralaba MTS karena perusahaan ini punya manajemen yang teratur, produk perawatan tubuhnya terbaik di pasaran, dan mereknya sudah terkenal. “Saya adalah franchisee pertama MTS dan berhak menyandang brand Martha Tilaar Spa secara utuh. Padahal, sebelumnya predikat MTS hanya embel-embel di belakang, misalnya Salon Nurul Arifin & Martha Tilaar Spa,” tutur Muina bangga. Sementara itu, pilihan Tinuk jatuh ke IGS setelah mendapat rekomendasi dari staf Dirjen Pengawas Obat dan Makananan (POM). “Orang POM mengatakan bahwa dari semua produk spa yang ada, hanya brand Spa Essentia yang natural, tidak ada campuran bahan kimia,” jelas kelahiran Bogor 2 September 1959 itu.

Tinuk dan Muina sepakat, banyak manfaat yang dirasakan selama bermitra dengan para franchisor spa lokal. Untuk itu, “Jika ada peluang, saya akan buka lagi,” kata Muina yang sebelumnya tidak pernah mencoba bentuk investasi lain. Tinuk tidak mau ketinggalan, tahun depan hendak membuka satu cabang spa IGS di Jakarta atau Bogor. Namun, mitranya bukan dari tim lama, ada kemungkinan anggota keluarga atau kawan lain.

Guna mengontrol gerai spanya, Muina memercayakan kepada masing-masing supervisor. Tahap berikutnya, tiap supervisor melaporkan kepada manajer cabang yang ditunjuk MTS. Biasanya rapat semua cabang dilakukan sebulan sekali dan berkumpul di Batam. “Selanjutnya, jika ada masalah penurunan omset, bisa dilaporkan ke Martha Tilaar Spa di kantor pusat Jakarta,” kata Michael Suryadi, Manajer Operasional MTS. Beda halnya dengan waralaba IGS milik Tinuk yang kontrol kualitasnya dilakukan langsung oleh orang IGS.

Prospek industri waralaba spa diakui para pemainnya sangat bagus. Alasannya, sudah menjadi gaya hidup laksana kebutuhan makan di restoran, nonton bioskop atau kongko di kafe. “Daripada trial and error sendiri, lebih baik bergabung dengan sistem yang sudah profesional,? tutur Lourda. Tinuk mengamini. Katanya, para eksekutif sekarang ingin tampil selalu fit dan pergi ke spa sekaligus untuk memanfaatkan waktu, saat menunggu jalanan yang masih macet sepulang kantor. “Apalagi di sela treatment, klien masih bisa melakukan lobi bisnis,” tambah Tinuk yang pernah gagal investasi di bisnis interior. Riset: Siti Sumariyati.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved