Listed Articles

Mengais Rezeki dari Hotel Terapung

Oleh Admin
Mengais Rezeki dari Hotel Terapung

Benar kata orang, ?asalkan mau, peluang kan tertangkap?. Mukiyat Sutikno dan istrinya, Erliyanti telah membuktikan. Lewat bendera PT Pelayaran Wisata Laut Varuna Sakti, mereka terbilang salah satu jagonya bisnis wisata bahari. Dengan 6 kapal phinisi yang bernama depan Sea Safari (SS), sejoli ini mengajak wisatawan melayari lautan mengunjungi pulau cantik di Nusantara seperti P. Komodo, Sumbawa, Satonda, Benoa, Badas, Moyo, Bima, Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, Sulawesi, bahkan sampai Papua. Sambutan pelancong lumayan bagus di tengah lesunya dunia pariwisata. Dengan rata-rata 13-14 kamar, tingkat hunian setiap kapal bisa mencapai 70%-80%. Tarifnya?

Erliyanti menyebutkan, pihaknya membuat sistem tersendiri. Ada yang berpola carter, ada yang reguler. Untuk carter, polanya variatif. Buat mereka yang ingin mencarter selama setahun, biayanya US$ 22.500/bulan. Bagi yang ingin mencarter khusus, ongkosnya relatif lebih murah. Misalnya, Sunset Dinner Cruise, program makan malam untuk acara merayakan ulang tahun, pesta perkawinan, atau reuni. Dengan menghabiskan waktu terapung selama tiga jam di atas perairan Surabaya-Gresik, tarifnya mencapai Rp 195 ribu/orang, dan dalam satu acara bisa diangkut sampai 250 orang.

Untuk kelas reguler, disediakan dua tipe kamar. Pertama, tipe phinisi (letaknya di lantai atas dan menghadap ke laut). Kedua, tipe deluxe, yang biayanya juga variatif, tergantung paket perjalanan. Contoh, untuk paket 7 hari 6 malam dari Bali ke Pula Komodo (tanpa diving), tipe phinisi menetapkan US$ 1.219/orang. Sementara itu, tipe deluxe mematok US$ 1.159/orang.

Menilik animo wisatawan, muncul pertanyaan: Adakah para pelancong itu menyewa untuk bernostalgia? Boleh jadi. Sebab, sekalipun beberapa bagian sudah dimodernisasi dan diberi fasilitas laiknya hotel terapung seperti kamar full AC, shower air panas, bar dan restoran, kapal-kapal ini didesain mirip phinisi zaman lampau. Bodi kapal dibuat dari tiga jenis kayu: ulin untuk badan kapal, jati untuk interior, kruing dan merbau untuk beberapa sisi kapal. Bahkan, dibuat layar-layar yang terkembang di dek yang menggerakkan kapal sewaktu langit cerah dan angin bersahabat, sehingga persis zaman dulu (mesin hanya dipakai kalau sedang mati angin).

Namun tampaknya, nostalgia tak semata satu-satunya alasan buat pelancong. Mukiyat mengklaim kapal miliknya, yang rata-rata panjangnya 38 m dan lebar 11,5 m berkualitas bagus. “Kapal ini bisa berlayar lebih mantap dibanding kapal lain yang sejenis,” ujarnya berpromosi yang diamini Teguh Gigih, Ketua Diving Trip Corona Diving Club. ?Kapal (memang) terasa lebih mantap,” komentar Gigih yang menyewa untuk merayakan hari jadi klub selamnya yang ke-26 pada 16-18 Agustus lalu. Bersama 78 rekannya, ia mencarter untuk menyelam dan menyambangi sejumlah pulau di Kepulauan Seribu seperti, Payung, Kotok, Sebaru dan Papatheo.

Animo yang lumayan ini bisa dibilang tak pernah terbayang sebelumnya. Bahkan tak pernah ada kalau saja Erliyanti tak berminat menerjuni bisnis ini. Ya, ini memang bisnis warisan orang tua, tepatnya Zainal Abidin. Pada 1989, ayah Erliyanti ini mencoba merintis bisnis wisata bahari di sela-sela kesibukannya mengurusi belasan kapal tugboat (kapal tunda), yang antara lain digunakan untuk pengeboran minyak lewat bendera PT Rejeki Abadi Sakti.

Sejak awal, lelaki asal Samarinda, Kal-Tim ini membuat kapal berjenis phinisi untuk bisnis wisata bahari. Setelah membuat KLM (Kapal Layar Motor) Phinisi Wisata, tahun berikutnya (1990), dibuat lagi dua kapal phinisi (Duta Bahari dan Kembang Matahari).

Namun, tak seperti rencana, belum lama ketiga kapal ini beroperasi, datang peminat untuk membeli. Rupanya, sang pembeli tertarik dengan ketiga arsitektur kapal tersebut. Maka lepaslah kapal-kapal phinisi itu, dan karena ingin terus berbisnis, Zainal segera membuat kapal phinisi lagi.

Tahun 1993, muncul Sea Safari I yang dibuat di Samarinda. Kali ini, Zainal bertekad menggeluti bisnis wisata bahari lebih serius. Akan tetapi, apa mau dikata, bisnis jauh dari mulus. Akibat sepi peminat, kapal hanya berlayar 5-7 setiap bulan. Padahal, untuk mencapai break even point setidaknya 10 hari per bulan, sehingga lebih besar pasak ketimbang tiang.

Memang dasarnya cinta bahari, Zainal tak sayang uang. Ia teruskan bisnis ini. Bahkan, pada 1994, lahir kapal SS II dan tahun berikutnya SS III. Namun, seiring munculnya SS III, Zainal mengubah strategi usahanya. Ia tak lagi menyewakan phinisi, tapi memberlakukan sistem ritel lewat program paket wisata, terutama bagi wisatawan yang tertarik dengan Lombok. Dibuatlah paket Lombok ke P. Komodo dan sekitarnya, juga ke Bali. Target yang diincar, bule yang berkeliaran di Bali.

Laiknya bisnis baru, Dewi Fortuna belum terlalu bersahabat. Menurut Erliyanti, mulanya tingkat hunian kamar kapal lumayan bagus, mencapai 55%. Akan tetapi, karena ada masalah transportasi udara dari Bali ke Lombok, wisatawan dari Bali jarang bepergian ke Lombok, sehingga tingkat hunian terjun bebas. Tak patah arang, Zainal mengubah strategi lagi: memindahkan home base dari Lombok ke Bali dan membuat program Bali & Beyond.

Tak dinyana, strategi ini disambut pasar. Tingkat hunian kamar mencapai 70% dalam setahun, dengan frekuensi pemberangkatan mencapai 2-3 kali per bulan. Malah,di bulan-bulan tertentu seperti Juli-September, tingkat okupansi mencapai 85%. “Tak jarang sampai overbooked,” ungkap Erliyanti bangga.

Merasa usahanya berhasil, Zainal terus menggulirkan bisnis ini dan menyerahkan kepada putri sulungnya itu. Awalnya, seiring pengalihan tongkat estafet, bisnis hotel terapung ini sepertinya tak akan mendapat rintangan berarti. Namun, garis nasib berkata lain. Tragedi WTC dan Bom Bali memberi cobaan berat. Anjloknya arus wisatawan membuat bisnisnya yang juga populer dengan sebutan Sea Safari Cruise ini turut lesu.

Akibatnya, seperti ayahnya, Erliyanti pun dipaksa memeras otak. Ia bertindak cepat. Merasa Bali tak lagi bagus buat basis, maka sejak September 2002, Surabaya diputuskan jadi pangkalan. Berikutnya, 15 Juli 2003, karena menilai ada permintaan yang cukup menarik di Ibu Kota, maka untuk meluaskan pasar, basis juga ditancapkan ke Jakarta. “Ada permintaan yang begitu bagus di sini, sehingga kami pindah,” ujarnya.

Di tengah lesunya pariwisata, keputusan meluaskan tancapan kuku di Jakarta boleh dibilang tak keliru, karena Ibu Kota bisa dsebut lahan subur untuk menarik wisatawan lokal yang jadi primadona selepas emohnya turis asing menyambangi Ibu Pertiwi. Di tengah kelesuan dunia pariwisata, memang tak banyak yang bisa dilakukan pebisnis pariwisata kecuali menempuh strategi pergeseran pasar (dari asing ke lokal), dan melebarkan cakupan ke tempat-tempat potensial.

Toh, bisnis bukanlah makan siang gratis. Erliyanti rupanya mesti bekerja lebih keras lagi. Pasalnya, untuk sementara, pasar Jakarta belum segemilang saat di Bali atau Lombok. Secara keseluruhan, ungkap Made Aryasa dari Departemen Pemasaran Sea Safari Surabaya, memasarkan produk wisata tidaklah mudah. “Butuh sosialisasi yang kuat,” ujarnya seraya menambahkan bahwa orang Indonesia umumnya hanya kenal akrab dengan kapal pesiar seperti Star Cruise untuk wisata bahari. “Kendala bisnis ini, tidak kenal maka tak sayang,” tambah lelaki yang kini bertanggung jawab menggarap Jakarta.

Made sengaja diboyong ke Jakarta, karena Erliyanti benar-benar ingin menggarap pasar Ibu Kota untuk melengkapi basisnya di wilayah Indonesia Timur. Made hanyalah bagian dari tim pemasaran yang didatangkan dari Surabaya dan Bali. Bersama rekan lainnya, ia hanya ditugaskan Erliyanti memikirkan satu hal penting: bagaimana caranya meluaskan penetrasi pasar di tengah anjloknya dunia pariwisata.

Untuk sementara, tugas ini bisa diemban. Sejumlah jurus meluaskan pasar kini telah lahir. Pertama, mengikuti aneka pameran termasuk skala internasional. Kedua, di samping menurunkan harga beberapa paket, tarifnya juga ada yang dipatok dengan kurs rupiah. Ketiga, mengaktifkan pendekatan dengan sejumlah organisasi dan klub seperti klub senam, diving, kebugaran dan salon. Keempat, membuat program yang dekat dengan kalangan masyarakat Tionghoa yang masih memegang tradisi tertentu, seperti Mooncake Festival, semacam acara bulan purnama yang rutin dirayakan orang-orang Tionghoa. Kelima, agresif mendekati biro perjalanan.

Bagaimana hasil agresivitas mutakhir itu memang belum maksimal, karena masih tergolong baru. Bukan berarti tak menampakkan hasil sama sekali. Secara umum pun bisnis Erliyanti terus menggeliat. Bahkan untuk carter, kini ia tengah menyewakan SS III pada sebuah perusahaan tur dan travel asal Amerika Serikat, sementara SS V dicarter perusahaan tur dan travel asal Belanda. Menariknya, ia seperti belum mau berpuas diri. Kini, ia tengah menyiapkan satu kapal lagi — yang harganya Rp 3-4 miliar — untuk tahun 2004, dengan tetap berkonsep phinisi.

Ekspansi tersebut, timpal Mukiyat, selain terkait dengan peluang yang tetap terbuka, juga karena pasar belum terlalu sesak. “Di Jakarta tak ada pesaing,? ujarnya. Di Bali? ?Ada beberapa pemain, tapi hanya memiliki 1-3 kapal,? jawabnya. Rupanya, Mukiyat dan Erliyanti benar-benar tak ingin kecolongan start, sehingga tak henti berupaya meluaskan pasar sekalipun iklim pariwisata belum bersahabat. Rupanya juga, mereka tetap memegang erat prinsip ?asalkan mau, peluang kan tertangkap?.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved