Listed Articles

Mengelola Beban Psikologis Karyawan

Oleh Admin
Mengelola Beban Psikologis Karyawan

23 Mei 2002. Direktur Pengelola Bank Internasional Indonesia (BII) Sukatmo Padmosukarso masih ingat dengan jelas tanggal itu. Itulah saat ia dan Direksi BII lainnya dipanggil anggota DPR. Ketika itu, ada dua alternatif yang ditawarkan anggota Dewan terhadap nasib bank rintisan taipan Eka Tjipta Widjaja ini: dilikuidasi atau tambah modal melalui right issue.

Akhirnya, seperti digariskan sejarah, dengan berbagai pertimbangan, pemerintah memutuskan menambah modal. Selaku pemegang saham mayoritas, pemerintah — melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional — meminta Tim Pengelola yang baru melakukan konsolidasi ke dalam. “Agar segera tercipta suasana kondusif,? demikian pesan Ketua BPPN Syafruddin Temenggung kepada Tim Pengelola BII.

Sukatmo, yang diberi tanggung jawab menangani urusan SDM, mengaku langsung menangkap situasi yang bakal dihadapinya. Sekalipun hanya mengamati dari luar, ia sudah tahu bagaimana kondisi BII. Di antaranya, telah terjadi 6 kali pergantian manajemen. Lalu, seperti yang tercuat di koran, karyawan kerap berdemo menuntut adanya perbaikan.

Memang, menjadi rahasia umum, bank yang dari luar tampak megah ini di dalamnya menyimpan banyak masalah, termasuk non-keuangan (seputar SDM) yang meruap ke luar dengan bau tak sedap. Sebut saja isu perbedaan perlakuan antara karyawan etnis Cina dan pribumi. Gaji karyawan dalam jabatan yang sama, disebut-sebut bisa sangat berbeda hanya karena perbedaan etnis. Karyawan yang jauh dari kekuasaan (manajemen puncak) pun tak bisa cepat naik pangkat. Ditambah, gaji yang tak seimbang antara karyawan di kantor pusat dan daerah, serta diperparah dengan sistem remunerasi karyawan level bawah yang kabarnya sangat tidak adil — bahkan jauh di bawah standar upah minimum regional. Dampaknya, etos kerja karyawan pun sangat rendah. Mereka jadi tertutup, suka mangkir, pasif, dan gampang saling menyalahkan.

Gambaran situasi yang seperti itu dengan cepat dipahami Sukatmo. ?Situasinya sudah saya tangkap,? ujarnya. Untuk mencari akar persoalannya, pria yang sebelumnya bekerja di Bank Mandiri ini mencoba meninjau manajemen SDM. ?Saya kumpulkan para kepala divisi dan kepala bagian SDM. Lalu saya tanyakan, bagaimana caranya memperbaiki karyawan di sini,? paparnya.

Dari jawaban yang dilontarkan, ia menjadi tahu bahwa bank ini belum mempunyai visi SDM yang jelas. Ini bisa dimaklumi, lantaran sebelumnya bank ini dimiliki dan dikelola oleh suatu keluarga sehingga cara mengelola karyawan pun lebih banyak tergantung pada keputusan yang diambil keluarga. Tak heran, di masa lalu banyak karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil.

“Setelah kami telusuri, masalahnya karena BII belum memiliki blue print pengembangan SDM. Padahal, bank ini lahir pada 1959,” ujarnya prihatin. Setidak-tidaknya, ia mencatat, ada dua tantangan yang perlu dibenahi manajemen dalam waktu singkat. Pertama, masalah persepsi. Sejauh ini, budaya perusahaan telah dipersepsikan negatif oleh karyawan. Kedua, belum adanya sistem SDM yang terstruktur.

Suasana kerja yang tidak kondusif dibenarkan Ketua Serikat Pekerja (SP) BII Doni Bakri. Menurutnya, ini lantaran pandangan yang berbeda antara karyawan dan manajemen di masa lalu. “Waktu itu, manajemen tidak mau memahami kondisi karyawan yang sebenarnya. Padahal, sebagai karyawan yang telah bekerja lama di sini, kami sangat tahu kondisi BII,” ungkap Doni yang telah 13 tahun bekerja di bank ini. Banyak karyawan, ia melanjutkan, yang merasa ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bank tempatnya mencari nafkah. “Keinginan kami membantu memperbaiki kinerja BII, kuat,” Doni menambahkan.

Sayangnya, manajemen lama tak mau mendengar apalagi menerima kritik karyawan. Seperti Soviet pra-Gorbachev: situasinya sangat tertutup. Divisi SDM yang seharusnya bisa menangkap kebutuhan karyawan tak dapat disentuh sama sekali (untouchable). “Dulu, divisi ini sangat rahasia,” komentar Doni. Bayangkan, karyawan tertentu bisa naik pangkat tiga kali dalam setahun, tanpa diketahui karyawan lain. Kesempatan mengembangkan diri pun hanya diberikan kepada segelintir orang. Iklim keterbukaan yang diharapkan karyawan tak kunjung ditanggapi manajemen. Tak heran, terbentuk sikap saling mencurigai antarkaryawan. Padahal dengan adanya keterbukaan, Doni yakin, masalah seperti itu bisa diatasi bersama.

Melihat kondisi demikian, langkah awal yang ditempuh Sukatmo adalah merekrut kepala divisi dan wakil kepala divisi SDM dari luar BII yang betul-betul mengerti manajemen kekaryawanan. Setelah itu teratasi, ia mengundang para pakar managemen SDM — dalam hal ini para konsultan SDM yang memiliki reputasi internasional — seperti Watson Wyatt dan Hay Management untuk berdiskusi. “Saya banyak mengambil ilmunya,” ungkapnya jujur. “Saya kemukakan kepada mereka masalah yang dihadapi. Selanjutnya, meminta nasihat,” paparnya. Demi mencari masukan ini, manajemen tak segan menggelontorkan biaya Rp 1-2 miliar.

Ternyata para konsultan menangkap pesan yang sama: kuatnya persepsi karyawan mengenai perbedaan perlakuan. Cara mengatasinya hanya satu, “Dengan komunikasi yang bisa diterima oleh semua pihak,” ia menjelaskan. Di sini, komunikasi bukan hanya sekadar ungkapan kata-kata, tetapi dibarengi dengan tindakan. “Satu kata, satu perbuatan,” ia menegaskan.

Dalam proses membuka komunikasi dengan karyawan, ia menyadari rendahnya tingkat kepercayaan (trust) mereka terhadap manajemen. Mereka tak segan melontarkan kata-kata yang intinya tidak memercayai manajemen. “Ah, semua direksi sebelumnya juga bicara seperti Bapak. Bagaimana kami bisa percaya pada Bapak?” tutur Sukatmo mencontohkan. Kesalkah ia?

“Tidak. Saya tidak menyalahkan mereka berpendapat demikian,” katanya. Sebaliknya, ia berupaya keras membangun kembali kepercayaan karyawan yang sudah lama luntur. “Saya dengarkan keluhan mereka. Di samping itu, juga coba menangkap concern karyawan,” ujarnya. Ternyata, selain masalah persepsi, ada beberapa persoalan penting yang dikemukakan karyawan selama diskusi berlangsung. Berbagai masalah tersebut ia pelajari satu demi satu. Akan tetapi, cara penanganannya ternyata tak mudah. Kekecewaan yang menumpuk di hati karyawan membuat mereka bersikap apatis terhadap kehadiran manajemen baru. Akhirnya, kala itu, di hadapan pengurus SP yang berjumlah 20-30 orang beserta pimpinan cabang, Sukatmo berbicara dari hati ke hati.

Di depan mereka ia berkata, “Filosofi saya, selalu percaya pada semua orang. Kecuali, kalau akhirnya orang itu terbukti tidak bisa dipercaya. Tidak ada insentif bagi saya untuk membenci kalian. Kalau sudah memulai dengan buruk sangka, saya nggak bisa kerja. Semua saya mulai dengan baik sangka. Terserah, Anda mau percaya atau tidak. Tapi, ini yang akan saya lakukan. Selain itu, saya tidak mau dibandingkan dengan direksi sebelumnya. Saya ditempatkan di BII bukan atas permintaan saya.? Di depan mereka, ia pun bertekad memperbaiki kondisi BII agar tidak berlarut-larut.

Gebrakan awal yang dilakukan Sukatmo adalah merotasi sebagian besar karyawan. Ia mengamati, sebagian mereka menempati posisi-posisi penting dalam operasional bank, umpamanya sebagai kuasa kas. “Kalau seorang kuasa kas nggak kerja, kinerja cabangnya bisa rusak. Karyawan yang demikian saya pindahkan ke bagian lain, misalnya divisi asset management yang mengurusi restrukturisasi,” ungkapnya.

Ternyata, karyawan yang dipindahkan tak bisa menerima. Mereka marah dan menganggap Sukatmo membuka front permusuhan. Di antara mereka bahkan ada yang melontarkan, “Saya seumur-umur berada di bagian kuasa kas.?

Kendati keputusannya banyak diprotes karyawan, Sukatmo pantang mundur. Selama dikomunikasikan dengan baik dan sopan, keputusan yang tak mengenakkan pun akhirnya bisa dimengerti karyawan. Dalam hal ini, saluran komunikasi benar-benar diaktifkan. Tidak hanya melalui pertemuan bipartit antara manajemen dan pengurus SP, tetapi juga melalui media internal. Doni pun mengakui, manajemen yang sekarang mau belajar dari kesalahan di masa lalu dan bersedia menjadi pendengar yang baik.

Gebrakan kedua, untuk menetralisasi isu seputar keberpihakan manajemen pada etnis tertentu, lebih dulu Sukatmo melakukan reorganisasi. Agustus 2002, ia mengangkat sejumlah Manajer Senior yang bukan berasal dari etnis Cina. Penyeimbangan juga dilakukan dengan menciptakan banyak posisi.

Menurutnya, ini bukan langkah asal-asalan. “Posisi-posisi itu memang benar-benar diperlukan,” ujarnya tandas. Sebagai contoh, kantor wilayah yang sebelumnya hanya berjumlah tiga, dikembangkan menjadi 10. Jabatan-jabatan penting pun mulai diisi oleh karyawan pribumi.

Di luar itu, manajemen dan pengurus SP juga membentuk tim untuk membahas Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Tim yang terdiri atas 13 orang perwakilan manajemen dan 13 orang lainnya dari pengurus SP itu secara intens dari Agustus hingga November 2002 membahas butir-butir kesepakatan, yang selanjutnya menjadi panduan bagi karyawan dan manajemen dalam menjalankan hubungan kerja sehari-hari. Beberapa hal yang dinilai melemahkan posisi karyawan pada PKB sebelumnya dibahas secara mendetail sekaligus diupayakan diperbaiki.

Perundingan ini, menurut Sukatmo, berjalan alot. Awalnya, karyawan bersikeras pada tuntutannya. Di sisi lain, manajemen memiliki keterbatasan untuk memenuhi tuntutan itu. Di sini, lagi-lagi komunikasi dan keterbukaan berperan penting dalam mencapai solusi win-win. Akhirnya, dicapai beberapa kesepakatan yang antara lain berisi: perbaikan remunerasi harus dikaitkan dengan performa individu.

Dalam wacana yang lebih luas, performa individu sangat dipengaruhi kinerja bank secara keseluruhan. Di sinilah masalah krusial tampak begitu mencolok: kondisi keuangan BII buruk sekali. “Akumulasi kerugian yang dibukukan perseroan hingga pertengahan 2002 mencapai Rp 16 triliun,” ungkapnya. Dari situ, Sukatmo menggugah karyawan untuk bekerja sebaik-baiknya agar dapat memperbaiki kinerja keuangan perusahaan. Dengan kata lain, ia tidak menjanjikan kenaikan gaji di tahun itu. Sudah pasti, karyawan sulit menerimanya. Terlebih, di masa-masa perundingan berlangsung, karyawan belum sepenuhnya percaya pada itikad baik manajemen.

Sukatmo tak menutup mata, dibanding bank papan atas lainnya, gaji karyawan BII boleh dikata yang terendah. Akan tetapi, dijelaskannya, dengan posisi perusahaan yang merugi pada saat itu, manajemen mustahil mengeluarkan kebijakan kenaikan gaji. “Bank ini hidupnya saja dari obligasi pemerintah kok,” katanya. Syukur, karyawan dapat memahaminya. “Kalau manajemen bersikap terbuka dan apa adanya, kami pun akan percaya,” Doni menimpali.

Melalui pertemuan bipartit yang diselenggarakan tiap bulan, Sukatmo tak henti-hentinya membangun kepercayaan karyawan dan mengajak mereka terus memperbaiki kondisi perusahaan. Hasilnya?

Tanpa dinyana, situasi berbalik. September 2002, perusahaan mampu membukukan laba bersih Rp 31 miliar. Padahal, pada Juni 2002, bank ini masih mencatat kerugian Rp 251 miliar. Dana pihak ketiga pun meningkat dari Rp 24,98 triliun (Juni 2002) menjadi Rp 26,16 triliun (September 2002).

Melihat gelagat ini, manajemen BII mengambil tindakan penting untuk memunculkan trust. Begitu laba diperoleh, kenaikan gaji pun serempak dilakukan per Oktober 2002. Namun, “Baru sebatas cost of living adjustment dengan kenaikan sebesar 15%,” tutur Sukatmo.

Di akhir 2002, performa BII makin baik. Bank ini berhasil membukukan laba bersih Rp 133 miliar. Memang, menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar pendapatan BII — juga bank-bank rekap lainnya — berasal dari obligasi pemerintah. Namun paling tidak, bank ini sudah dapat mendongkrak kembali citranya sehingga dana pihak ketiga pun naik menjadi Rp 29,22 triliun.

Selanjutnya, langkah demi langkah restrukturisasi SDM dijalankan. Dimulai dengan memperbaiki sistem manajemen performa di akhir 2002. Sebenarnya, sistem ini sudah ada sejak lama. Namun, penerapannya tidak sungguh-sungguh dilakukan untuk menilai performa seseorang. Sekarang, tiap karyawan di-set up untuk mencapai target tertentu, sesuai pekerjaannya di masing-masing unit. Untuk membenahi sistem ini, Sukatmo dibantu Iradat Consultant. “Nantinya, karyawan dinilai berdasarkan kontribusi pekerjaannya,” ia menjelaskan. Demikian pula kenaikan gaji, akan dikaitkan dengan pencapaian masing-masing karyawan dalam setahun.

Tahun ini boleh dikatakan BII sudah menerapkan sistem ini secara sungguh-sungguh. Kenaikan gaji tahun 2003, menurutnya, dikaitkan dengan performa masing-masing karyawan pada 2002. Karena itu, persentase kenaikan gaji karyawan tahun ini pun tidak sama. “Ada yang nggak naik, ada yang naik 10%, 15% dan seterusnya,” ujar Sukatmo. Dengan begitu, karyawan jadi mengerti, kenaikan gaji bukan lantaran kedekatan dengan pimpinan atau alasan lain. Diharapkan, tingkat subjektivitasnya pun dapat ditekan.

Gaji karyawan di beberapa posisi yang sebelumnya di bawah standar juga dinaikkan sesuai grade-nya. Umpamanya, untuk posisi teller dengan grade tertentu, besaran gajinya sekian sampai sekian. Karyawan yang gajinya ketinggalan jauh didongkrak ke dalam kisaran angka yang telah ditetapkan perusahaan.

Di sini, ada temuan menarik. Ternyata, dari hampir 8.000 karyawan, 2.700 di antaranya memiliki gaji di bawah standar. Di lain pihak, karyawan yang gajinya telanjur ketinggian tak mungkin diturunkan. Solusinya, mereka diminta menunggu alias untuk sementara waktu gajinya tidak dinaikkan. Penyesuaian yang didasarkan performa karyawan tahun sebelumnya ini dilakukan pada April 2003.

Di samping itu, Sukatmo juga berinisiatif melakukan migrasi dari sistem kepangkatan menjadi job grading. Dulu, kalau mau naik pangkat, karyawan harus pindah ke kantor pusat. Sementara itu, karyawan di daerah sangat sulit naik pangkat. Padahal, gaji yang diterima karyawan sudah jelas disesuaikan dengan pangkat masing-masing. Kelemahan lain, antara pekerjaan dan kontribusi karyawan terhadap gaji yang diperoleh, terlihat sangat njomplang.

Untuk mengatasi masalah tersebut, sistem kepangkatan diganti job grading. Sehingga, karyawan memperoleh gaji sesuai jabatannya. Dalam menyusun sistem baru ini, selain dibantu Watson Wyatt, Sukatmo tak lupa melibatkan SP. Dengan diberlakukannya sistem job grading per Oktober lalu, ia menunjukkan ke karyawan bahwa manajemen sungguh-sungguh ingin memperbaiki kondisi perusahaan. Di saat bersamaan, tahun ini manajemen pun melakukan penyesuaian gaji yang kedua.

Diakui Sukatmo, upaya manajemen meningkatkan kesejahteraan karyawan belum optimal. “Kalau semuanya dimasukkan ke dalam range yang ditetapkan, bujetnya nggak cukup,” ungkapnya prihatin. Karena itu, upaya pembenahan masih terus berlanjut. “Untuk memasukkan semua karyawan ke dalam range-nya, paling tidak diperlukan waktu tiga tahun atau tiga kali penyesuaian lagi,” tambahnya.

Tahap demi tahap perubahan mulai dirasakan karyawan baik secara langsung maupun tidak. Selain perbaikan gaji, Doni merasakan, eksklusivitas untuk golongan (etnis) tertentu tak seperti dulu lagi. Dengan kata lain, makin dieliminasi. Juga, divisi SDM kini dapat disentuh. “Secara umum, saat ini sudah ada perbaikan. Karyawan ditempatkan dan dinilai sesuai kemampuannya. Image BII pun kini mulai terbangun kembali,” paparnya.

Dampak positif lainnya, karyawan kian betah bekerja di bank yang per Juni 2003 memiliki aset Rp 34,5 triliun ini. Sukatmo mengungkapkan, hingga November 2002 tingkat turnover karyawan tinggi sekali. “Tiap bulan ada 40-50 karyawan yang mengundurkan diri dengan alasan tidak yakin terhadap masa depan bank ini,” tuturnya. Kini, turnover karyawan dapat ditekan hingga 1% per tahun.

Soal kepuasan, diakui Doni, sangat relatif. Artinya, tak menutup kemungkinan masih banyak karyawan yang belum terpuaskan oleh perubahan yang terjadi saat ini. Namun paling tidak, kepercayaan antarkaryawan kini mulai pulih. Sekarang semuanya tergantung bagaimana karyawan memanfaatkan keterbukaan dan kesempatan yang dibuka seluas-luasnya untuk mereka. Jika peluang ini tak diambil, bukan mustahil kondisinya akan berbalik seperti dulu.

Kendati telah banyak berubah, sejatinya persoalan di BII belum sepenuhnya usai. Ada persoalan lain?

Keputusan pemerintah menjual bank ini ke Konsorsium Sorak dari Grup Temasek (Singapura) yang hampir final rupanya kini menjadi salah satu agenda yang menimbulkan kekhawatiran karyawan. “Bisa saja investor asing yang membeli BII memiliki kebijakan yang berbeda dengan upaya perbaikan yang tengah berlangsung saat ini,” ungkap Sekjen SP BII Jani Agus Susanto. Ia menilai, BII sedang menjalani proses kebangkitan. Wajar, ia berharap tongkat estafet itu dapat dijalankan dengan baik. “Jika tidak, kami akan mulai dari nol lagi,” ujarnya tanpa menutupi rasa kekhawatirannya.

Sudah pasti, tak satu pun karyawan BII yang menginginkan kemunduran. Kedatangan investor baru selayaknya dapat membantu bank ini mencapai visinya: menjadi bank lokal terbaik yang diakui memiliki kualitas, pelayanan dan inovasi produk berstandar internasional. Nilai-nilai perusahaan yang tengah dikembangkan saat ini — transparansi, integritas, profesionalisme, cerdas serta mumpuni — di masa-masa mendatang diharapkan Sukatmo bukan hanya slogan manis yang tertempel di dinding perusahaan.

Untuk mencapai nilai-nilai perusahaan sebagaimana yang diharapkan, menurut pengamat SDM Arvan Pradiansyah, perlu dibangun karakter SDM. Di dalam bukunya You Are A Leader!, ia mengatakan bahwa karakter adalah rangkaian kebiasaan. “Sow a habbit reap a character,” demikian kata pepatah. Kebiasaan itu sendiri seperti benang yang ditenun setiap hari sehingga menjadi sulit dihentikan. Mengubah kebiasaan dan membangun karakter membutuhkan proses dan komitmen yang luar biasa. Orang berkarakter senantiasa digerakkan oleh nilai-nilai (value–driven) kemanusiaan seperti integritas, kerendahan hati, kesetiaan, pengendalian diri, keberanian, kesabaran, kerajinan dan kesederhanaan.

Setelah porak-poranda dihantam badai, boleh dibilang karyawan BII kini tengah membangun karakter. Jika mereka mampu membangunnya, nilai-nilai perusahaan dengan sendirinya akan terwujud dalam perilaku sehari-hari dan tercermin pada performa perusahaan. Dan kalau sudah begini, siapa yang tak akan bersorak paling kencang selain Konsorsium Sorak?

Tanpa melakukan hal-hal radikal, bisa dipastikan langkah Konsorsium ini di BII menjadi lebih ringan ketimbang ketika Temasek masuk Indosat, misalnya. Namun, belajar dari pengalaman Sukatmo beserta anggota Tim Pengelola BII lainnya, bukan hal keliru jika nanti Sorak juga mengaktifkan dialog manajemen-karyawan yang sudah terjalin. Ini semua agar yang telah terbangun dengan susah payah tidak kembali berantakan.

Reportase: Farida Nawang Nurini.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved