Listed Articles

Mengkritisi Hari Pelanggan Nasional

Oleh Admin
Mengkritisi Hari Pelanggan Nasional

Bagaimana dampaknya? Coba ditanyakan ke konsumen, saya yakin, tanggal berapa HPN belum tentu mereka tahu, apalagi merasakan manfaatnya. Yang pasti dampaknya adalah biaya. Pertanyaan yang paling mendasar: seberapa efektif kampanye tersebut? Sebab bila tidak efektif, yang akan terjadi kenaikan biaya produksi. Bagi BUMN yang masih monopoli, berarti menaikkan harga yang akhirnya harus ditanggung konsumen tanpa tambahan manfaat sebagai imbalan. Bagi BUMN yang sudah bersaing bebas, penambahan biaya menyebabkan harga jual naik, yang akhirnya mengurangi daya saing. Tentu saja, akan semakin sulit bersaing dengan perusahaan swasta yang bisa bergerak lebih efisien, tanpa dibebani kewajiban mendanai kampanye seperti itu.

Selama ini ada kesan di masyarakat bahwa BUMN kita masih terlena dengan status lama, sebagai perusahaan milik pemerintah yang mendapat berbagai fasilitas, bahkan sampai monopoli, yang menyebabkan mereka merasa tidak perlu lagi memberi pelayanan terbaik ke konsumen. Untuk mengubah paradigma itu diperlukan shock teraphy yang sekaligus sinyal ke konsumen bahwa BUMN telah berubah. Secara mendasar, patut kita akui bahwa ide kampanye HPN, bisa menjadi terobosan yang baik. Namun dalam pelaksanaannya, beberapa hal perlu dikritisi untuk menjadi bahan evaluasi dan masukan.

Melayani pelanggan adalah prinsip yang sangat mendasar dalam bisnis. Semua paham bahwa prinsip itu harus menjadi budaya. Untuk membentuknya tidak cukup dalam 1-2 tahun, apalagi hanya satu hari. Kampanye pelayanan pelanggan sehari, hanya akan menjadi pesta, yang mungkin tidak berdampak apa-apa kecuali biaya dan hura-hura. Demikian pula, meyakinkan konsumen tidak bisa hanya dalam satu hari. Dengan satu hari kita berbaik-baik kemudian mereka yakin betul bahwa kita telah berubah, sangat sulit membayangkan keberhasilannya. Bahkan banyak yang bertanya-tanya, kalau hari ini petugas begitu baik melayani, bagaimana besok setelah bukan HPN lagi?

Jadi, kalau ingin menjadikan pelayanan pelanggan betul-betul membudaya jelas satu hari tidak cukup. Kalau pun tetap mau dicanangkan oleh pemerintah, mungkin lebih realistis kalau dijadikan tahun pelanggan. Dengan sepanjang tahun terus memperbaiki pola pelayanan pelanggan, maka diharapkan hasilnya dapat terlihat nyata, kemudian menjadi bibit, membudaya dalam perusahaan, dan konsumen pun merasakan manfaat nyata.

Tema kampanye yang dikemukakan dalam HPN umumnya bersifat slogan dan janji yang kurang membumi, seperti: “Kami bekerja keras untuk memuaskan pelanggan”, “Pelanggan adalah mitra”, atau “Pelanggan adalah atasan kami”, dan sebagainya. Padahal, yang dibutuhkan adalah hasil atau janji nyata. Misalnya dicanangkan: “Tidak akan ada listrik mati tanpa pemberitahuan minimal sehari sebelumnya. Bila terjadi kami bersedia membayar denda”, atau “Antre di bank kami maksimal lima menit?, dan seterusnya. Artinya, yang disampaikan bukan sekadar kampanye, tetapi hasil nyata yang bisa dibuktikan kebenarannya. Masyarakat sudah jenuh dengan janji, apalagi sebentar lagi dimulai kampanye politik yang juga dipenuhi janji.

Senyum menjadi ikon HPN kali ini. Perlu diingat, senyum tidak selalu mewakili kepuasan pelanggan. Yang hakiki harus dikejar adalah kepuasan pelanggan, yang selanjutnya bila terpuaskan dalam jangka panjang akan menjadi pelanggan loyal, dan bahkan merekomendasi ke pelanggan lain. Pelanggan yang mengharapkan harga murah atau kualitas tinggi, kalau sekadar dilayani dengan ramah dan senyum tentu tidak cukup. Penonton Srimulat pun kalau hanya tersenyum, pertanda tidak puas. Yang seharusnya jadi ikon adalah kepuasan menuju loyalitas pelanggan.

Loyal pada perusahaan dan produknya bukan pada personal pemimpinnya. Kampanye HPN belum lama yang banyak menampilkan orang — pemerintah, pemimpin perusahaan ataupun pencetus ide, yang fotonya dipajang dalam iklan satu halaman — bagi pelanggan, sama sekali tidak berarti apa-apa. Sebab, mereka puas oleh produk dan pelayanan, yang selanjutnya menjadi loyalis. Manajer ataupun direktur adalah pelaku di balik layar yang tidak perlu terlalu ditampilkan, selain mereka pun tidak akan abadi di sana.

Pelanggan tahu persis bahwa pelayanan adalah hasil kerja tim, bukan perorangan. Selain itu, dengan memasang foto seperti kampanye sekarang, kesan gaya Orde Baru — yang menampilkan penguasa sebagai perorangan didampingi bawahannya — kental sekali terasa. Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, para pemimpin perusahaan itu sukarela tampil di sana ataukah terpaksa? Apa yang akan terjadi pada mereka, kalau menolak ikut terpampang di situ? Selanjutnya, semakin kabur arti kampanye: untuk tujuan yang murni betul-betul ingin menomorsatukan pelanggan, ataukah bermaksud mengultuskan seseorang.

Dalam era perbaikan kondisi ekonomi seperti saat ini, ada baiknya kalau yang didahulukan adalah kerja keras secara lebih profesional yang berhasil nyata. Hindari penghamburan biaya yang hanya terkesan seremonial dan cenderung mengultuskan individu. Pelayanan pelanggan adalah hal yang sangat alami. Dalam dunia usaha, mekanisme pasarlah yang menentukan keberhasilannya. Bila perusahaan betul-betul sudah menunjukkan prestasi nyata dalam praktik bisnis dan memberikan kepuasan pelanggan, barulah layak disebarluaskan ke masyarakat luas sebagai kebanggaan sekaligus promosi.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved