Listed Articles

Meraup Miliaran Rupiah dari Mahkota Dewa

Oleh Admin
Meraup Miliaran Rupiah dari Mahkota Dewa

“Sungguh, saya amat bersyukur, karena hanya dalam waktu seminggu gula darah dan trigliserida saya benar-benar turun. Semua itu berkat Tuhan dan kedisiplinan saya mengatur pola makan, berolah raga, dan minum ramuan mahkota dewa secara teratur.” (Butet Kartaredjasa, seniman dan penggiat seni)

“Ternyata mahkota dewa bisa diterima tubuh Hai Ming. Bahkan, setelah dipakai beberapa lama, kondisi tubuh Hai Ming mulai membaik. Rasa gatal-gatalnya berkurang, demikian juga dengan pengelupasan kulitnya. Setelah satu tahun memakai mahkota dewa, menurut keluarga di Hong Kong, kondisi tubuh Hai Ming 90% sudah sembuh.” (Cerita Bapak Andri tentang Hai Ming, penderita psoriasis)

Mahkota dewa. Dua kata itu, paling tidak dua tahun belakangan, melesat bak meteor dan mengguncangkan dunia medis di negeri ini. Ratusan testimoni mengalir dari berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru kota atas khasiat tanaman perdu yang mempunyai nama latin Phaleria macrocarpa itu. Dari ratusan kesaksian, mahkota dewa terbukti mampu menyembuhkan berbagai penyakit, mulai dari migrain, tumor, kanker, diabetes melitus, stroke, ginjal, leukemia, psoriasis, dan sederet penyakit menakutkan lainnya.

Adalah Ning Harmanto, sosok di balik popularitas mahkota dewa. Ning bahkan kerap disapa Ratu Mahkota Dewa atau Ning Mahkota Dewa. Memang, menyebut Ning dan mahkota dewa ibarat menyebut satu kata. “Rasanya saya dan mahkota dewa seperti menyatu,” ungkap Ning suatu siang yang terik di kediamannya yang bernuansa warna ungu. Warna senada juga membalut tubuhnya. Celana panjang ungu tua dipadu dengan blaser ungu muda dihiasi selendang ungu yang dililitkan ke leher. Aksesori perhiasannya pun bermata berlian warna ungu termasuk kutek di kuku jemarinya. “Ungu warna favorit saya,” ujar Ning sambil tersenyum ramah, dan mempersilakan SWA meminum hidangan teh Mashima racikannya.

Dari berbagai literatur, mahkota dewa memang terbukti mengandung antioksidan tinggi. Paling tidak, seperti dituturkan Ning, Dr. Regina Sumastuti, farmakolog dari Universitas Gadjah Mada, dan Dra. Vivi Lisdawati Apt. Msi. dari Akafarma, sudah membuktikan lewat serangkaian penelitian tentang khasiat yang terkandung dalam mahkota dewa, terutama buahnya yang berwarna merah marun itu.

Bahkan, dr. Johannes K. Danuwinata MHSc sudah beberapa tahun ini memakai terapi ramuan herbal mahkota dewa racikan Ning untuk beberapa pasiennya. “Saya mengenal mahkota dewa dari buku yang ditulis Bu Ning,” kata dokter yang membuka klinik dokter umum di Mlaten Trenggulun dan Sugiyopranoto, Ambarawa ini. “Buat penderita diabetes, tumor dan asam urat, hasilnya cukup memuaskan,” tutur Johannes yang enggan menyebutkan omset mahkota dewanya. “Lumayanlah,” katanya via telepon.

Sejatinya, sejak zaman baheula, secara turun-temurun tanaman perdu ini dikenal sebagai tanaman obat yang mujarab. Hanya saja, banyak orang tidak tahu tanaman yang banyak tumbuh subur di daerah berketinggian 1-1.200 m dari permukaan laut itu, apalagi tergelitik untuk menjadikan sebagai ramuan herbal food supplement. Diakui Ning, keputusannya menjadikan mahkota dewa sebagai produk massal terilhami dari cerita sang adik yang tinggal di Yogyakarta.

Widowati Wuryantari menceritakan anaknya sembuh dari penyakit radang pankreas hanya dua minggu setelah mengonsumsi rebusan mahkota dewa. “Saya penasaran, saya lalu membawa satu kantong plastik mahkota dewa ke Jakarta,” kenang Ning. Untuk meyakinkan khasiat buah mahkota dewa, Ning mengujicobakannya kepada dirinya sendiri, keluarga, kerabat dan kenalannya. Termasuk, kepada ibunda tercinta yang ketika itu mengalami pendarahan cukup parah dan diopname di rumah sakit. “Setelah seminggu beliau minum rebusan mahkota dewa, kondisinya membaik dan sehat,” Ning bercerita.

Tak puas dengan itu, Ning melahap berbagai literatur untuk mengetahui seluk-beluk mahkota dewa. Dari ayahnya, R. Stephanus Danupradonggo, mantri hewan dan pengobat tradisional, Ning juga semakin banyak mengetahui khasiat mahkota dewa. Naluri Ning mengendus ada peluang bisnis yang bisa digelindingkan dari khasiat mahkota dewa. Apalagi, belakangan tren pengobatan back to nature bergaung makin nyaring.

Selama ini belum ada yang mengemas mahkota dewa menjadi ramuan obat. Kejelian Ning ?menyulap? tanaman tersebut menjadi ramuan herbal supplement food ternyata mengalirkan uang ke koceknya. Semula Ning meraciknya secara tradisional dan menjualnya door to door. Hanya dalam tiga tahun, volume penjualannya bisa mencapai 1 ton/bulan. Lewat ramuan herbal mahkota dewa dan tanaman obat lainnya, Ning membukukan omset lebih dari Rp 500 juta/bulan atau sekitar Rp 6 miliar/tahun.

Tentu saja, keberhasilan Ning diraih dengan kerja keras dan ketekunan. Seperti kebanyakan pengusaha lainnya, Ning memulai usahanya dari nol. Bahkan, ketika itu diakuinya tak terbersit untuk menggelindingkan usaha. “Hanya karena senang bercocok tanam,” ucap pemilik nama lengkap Mikhael Wuryaning Setyawati, yang sejak kecil memang punya hobi berkebun.

Sebagai ibu rumah tangga, Ning yang tinggal di kawasan Rawa Badak, Jakarta Utara, terbilang aktif di lingkungannya. Bukan sekadar guyub dalam kegiatan arisan ibu-ibu. Di tengah kesibukannya sebagai perias pengantin dan master ceremony bahasa Jawa, ia bersama beberapa ibu-ibu arisan membentuk wanita kelompok tani yang diberi nama Kelompok Tani Bunga Lili (KTBL). Ketika itu badai krismon mulai menghajar perekonomian. “Ketimbang kepikiran harga cabe, sayur, dan bahan pangan yang terus membubung, ya mendingan menekuni hobi,” tutur kelahiran Yogyakarta, 3 Mei 1957 ini.

Tentu, tak seperti petani di desa yang punya ladang dan kebun. Lewat KTBL, Ning mencoba memanfaatkan halaman rumah yang tidak seberapa luas untuk bercocok tanam sayuran dan segala macam bumbu dapur. Keterbatasan lahan tak menghalangi Ning menyemai apotek hidup. Ning lantas menggunakan sistem vertikultur dalam bercocok tanam. Saking seriusnya Ning mengelola KTBL, ia sempat mendapat bimbingan dari Suku Dinas Pertanian Jak-Ut. Bahkan, ajang Agro Expo 1999 mengganjar KTBL sebagai juara pertama lomba pekarangan produktif se-DKI Jakarta. “Sejak itu mulai tercetus keinginan untuk semakin mengomersialkan kelompok tani ini,” tutur Ning, yang bersama KTBL mulai bergiat mengolah berbagai tanaman obat menjadi sirop atau manisan yang dijual ke lingkungan tempat tinggalnya. Ning juga lantas memperkenalkan ramuan tanaman mahkota dewa.

Ternyata, banyak kerabat dan tetangganya yang mengaku merasakan khasiatnya setelah minum ramuan mahkota dewa racikan Ning. Dalam perjalanan waktu, ternyata teman-teman Ning yang tergabung dalam KTBL ?berguguran?. Mereka rupanya tak memiliki semangat sekuat Ning. Yang tersisa tinggal beberapa orang. Toh, kondisi demikian tak menyurutkan langkah Ning. Ia merasa yakin ramuan tanaman obat, terutama mahkota dewa, bisa digelindingkan sebagai usaha yang mampu menghasilkan uang. “Asal tahu meraciknya, mahkota dewa adalah tanaman berguna,” ia berujar.

Yang dilakukan Ning kemudian memadukan mahkota dewa dengan tanaman lain, seperti sambiloto, temu mangga, tapak liman, temulawak, mengkudu, bangle, sidaguri, umbi daun dewa dan banyak tanaman obat lainnya. “Tergantung penyakitnya apa,” tambah ibu dari Y. Haryo Bimo Utomo, Cornelius Tri Haryo Wibisono dan Monica Rani Puspitasari ini. Dari getok tular, khasiat ramuan mahkota dewa lantas menyebar ke berbagai pelosok.

Untuk menampung respons pasar, pada 2002 Ning membangun klinik tradisional di rumahnya. Dengan telaten dan kesabaran penuh, ia melayani keluhan pasien yang datang berobat. Ternyata, hari demi hari, jumlah pasien yang datang semakin banyak, dan datang dari berbagai kalangan ataupun penjuru negeri. Sampai saat ini, menurut data Ning, sudah sekitar 7 ribu pasien berobat ke kliniknya dan sebagian besar sembuh total.

Untuk konsultasi itu, Ning sama sekali tak mengutip biaya. Pasien hanya membayar produk herbal yang dianjurkan Ning untuk dikonsumsi. Pada tahun itu juga Ning meluncurkan website www.mahkotadewa.com. Popularitas Ning dan mahkota dewa bahkan sampai ke negeri jiran Malaysia dan Singapura. Padahal, Ning sama sekali tak melakukan kegiatan promosi, dengan beriklan misalnya. Yang dilakukan Ning adalah menulis berbagai buku tentang mahkota dewa, antara lain Pertanian dan Mahkota Dewa (dua buku) yang sudah mencapai cetakan ke-11, Mahkota Dewa Obat Pusaka Para Dewa, Menaklukkan Penyakit Bersama Mahkota Dewa (April 2003 terbit dan sekarang sudah 6 kali cetak ulang) yang memaparkan pengakuan para pasien yang telah sembuh dari penyakitnya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk pangsa pasar mancanegara. Ning juga menulis Mahkota Dewa, Panglima Penakluk Kanker.

Inilah sejatinya marketing public relations yang jitu. Buku-bukunya laris diserbu pasar, dan sebuah trik promosi yang brilian karena banyak memaparkan kesaksian para penderita yang sembuh setelah mengonsumsi mahkota dewa. “Dalam waktu dekat, saya juga akan meluncurkan buku baru, masih tentang mahkota dewa,” kata Ning yang juga laris sebagai pembicara seminar tentang pengobatan alternatif. Ning mengaku selama ini ke mana-mana ia selalu mengampanyekan mahkota dewa. “Setiap ketemu orang baru, pasti saya memberikan informasi tentang mahkota dewa,” ujar wanita energik ini.

Agustus 2003 boleh dibilang titik awal perjalanan Ning sebagai pengusaha. Ketika itulah ia secara resmi mengibarkan PT Mahkota Dewa Indonesia (MDI). Bermodal tabungannya, ia mulai menapaki bisnis ramuan herbal dengan mempekerjakan sekitar 10 pegawai. Kliniknya mulai dilengkapi peralatan medis sederhana, dan seorang dokter yang difungsikan untuk melakukan analisis medis. Namun, konsultasi ini tetap diberikan secara cuma-cuma kepada para pasien. “Ini bagian dari pelayanan. Dokter itu saya yang menggaji,” ungkap lulusan ABA Jurusan Bahasa Inggris ini.

Seiring pertumbuhan bisnisnya, Ning lantas membangun home industry di dekat rumahnya. Investasi yang ditanam mencapai Rp 1,5 miliar. Sebagian dana itu diakui Ning berasal dari tabungan dan keuntungan dari bisnisnya selama ini, serta pinjaman dari Bank NISP. Di atas tanah seluas 327 m2, berlantai dua, MDI melakukan kegiatan operasionalnya, mulai dari peracikan sampai administrasi. Kini, karyawannya berjumlah 60 orang.

Ning juga membuka gerai (outlet) di Goro Kelapa Gading dan ITC Cempaka Mas. Menurutnya, saat ini ia bersama Badan Tenaga Atom Nasional sedang mengupayakan penggunaan proses iradiasi dengan sinar gama agar kualitas racikan ramuan herbal bisa tahan ngengat dan tahan lama. “Racikan berupa herbal lebih rentan rusak dibandingkan dengan proses ekstrak. Tapi kelebihannya, herbal lebih terjaga khasiatnya,” tutur Ning.

Untuk memasarkan produk herbalnya, Ning juga menggandeng para mitra bisnis. “Sebagian besar mereka ini bekas pasien saya,” ungkapnya bersemangat. Sampai sekarang, sekitar 100 mitra bisnis Ning tersebar di seantero Nusantara, mulai dari Jabotabek, Bandung, Semarang, Surakarta, Jepara, Gresik, Pasuruan, Surabaya, Denpasar, Bontang, Balikpapan, Tanjung Karang, Kuala Tanjung, Batam dan Palembang. Ning mengupayakan gerai-gerai mitranya itu bukan sekadar menjual produk herbal, tapi juga mendorong mereka memahami seluk-beluk penyakit dan ramuan obatnya.

Di setiap gerainya, Ning mengupayakan ada klinik tradisional sebagai tempat konsultasi. Ia selalu menyiapkan waktu kapan saja menjawab pertanyaan soal racikan ramuan untuk penyakit pelanggan mitra penjual. Secara reguler, mereka juga diberi update pengetahuan dan produk. “Saya selalu berpesan agar mengontak saya atau tenaga konsultan saya jika ada persoalan,” tuturnya. Untuk para mitra bisnisnya ini Ning mematok pembayaran di muka Rp 4,1 juta untuk pembelian paket produk.

Pasar luar negeri sudah dirambah Ning sejak 2002. Gerai pertama dibuka di Malaysia dan kemudian menyusul Singapura. Menurut Ning, pembukaan gerai di kedua negara tadi didorong permintaan pasar. “Ini merupakan salah satu wujud nyata usaha saya agar obat tradisional Indonesia, khususnya mahkota dewa, dapat menembus pasar dunia,” Ning menjelaskan. Sejatinya, produk MDI secara tak resmi sudah masuk Taiwan, Australia, Amerika dan Jeddah. “Lewat perorangan, produk ini diekspor ke berbagai negara. Ke depan, saya akan berusaha menumbuhkan peluang ekspor,? ungkap Ning.

Untuk keperluan ekspor ia mengaku tengah menjajaki kerja sama dengan Indofarma. Produk herbal mahkota dewa keluaran MDI dikemas menjadi teh racik, instan (berupa minuman kesehatan), kapsul, minyak, produk perawatan dan kecantikan (bedak, lulur, ramuan rempah untuk mandi dan sampo), produk minuman dan makanan sehari-hari (teh celup Mashiwa, kecap Made, dan madu).

Saat ini, total sekitar 60-an item produk herbal dikeluarkan MDI. Paling tidak, setiap bulan, 10 ribu toples teh racik, 5 ribu toples minuman kesehatan, 700 ribu kapsul, dan 4 ribu botol minyak diproduksi MDI. Semua produk MDI, menurut Ning, telah mendapatkan sertifikasi TR dari Dirjen POM. Untuk memenuhi permintaan ramuan herbal tersebut, Ning mendapat pasokan bahan baku dari Yogyakarta, Purworejo, Kulonprogo, Kebumen, hingga Sukabumi dan Bogor.

Setiap bulan setidaknya dibutuhkan 10 ton tanaman mahkota dewa yang setelah diolah tinggal 1 ton. Pengolahannya sendiri terbilang masih tradisional. Kisaran harga yang dipatok Ning untuk produknya Rp10 ribu hingga ratusan ribu (untuk paket). Henki Purnama, Manajer Pemasaran MDI mengungkapkan, dalam setahun belakangan ini, bisnis yang dikelola Ning bisa dibilang bertumbuh berdasarkan deret ukur, bukan deret hitung. “Peningkatannya dari 2002 sampai sekarang hampir 100 kali lipat,” ujarnya.

Salah satu faktor pendukungnya, lanjut Henki, karena semakin banyak mitra usaha MDI. Tahun 2002, ada sekitar 40 mitra usaha dan sekarang sudah mencapai 100 mitra, dan masih akan bertambah 40 mitra penjual baru lagi. “Kalau tidak kami seleksi betul, bakal lebih repot lagi kami memenuhi pasokan permintaan,” tutur Hengki yang rela melepas kariernya di Astra Graphia. Seleksi terhadap calon mitra penjual sengaja dilakukan, terlebih karena ramuan herbal mahkota dewa bukan produk konsumsi biasa melainkan obat medis alternatif.

“Selain memperhatikan penetrasi dan penyebaran pasar, kami berupaya mendorong mitra penjualnya bukan sekadar jualan, tapi setidaknya mereka paham soal penyakit dan ramuannya,” tutur Henki. Melihat besaran bisnis yang melonjak drastis, ada kesulitan tersendiri. “Kami sering kewalahan melayani permintaan,” katanya. Sudah begitu, sang bos, Ning Harmanto, seperti tak pernah kehabisan ide mengeluarkan ramuan baru. “Saya sampai bilang, ?Bu Ning stop dulu deh?, karena kami sendiri kewalahan mengatasi permintaan,” papar Henki.

Jumlah 60-an jenis produk ramuan yang sudah dimiliki sedang dimaksimalkan dulu ketersediaan pasokannya. “Hampir tidak pernah ada stok sekarang ini,” ujar Henki. Awalnya, pasokan cuma untuk melayani pelanggan klinik. Ketika permintaan pasar melonjak seiring tumbuhnya mitra penjual, laju sisi pemasaran terpaksa direm. “Kami ingin lebih mendekatkan diri pada layanan pelanggan,” tutur Henki bersemangat.

Oleh manajemen, Ning sekarang dicoba lebih diarahkan ke image, bukan sebagai pengobat lagi. “Ibu Ning sudah sangat sibuk. Tiap hari harus menjawab 70-80 panggilan handphone dan pertanyaan SMS,” lanjutnya. Tak ayal manajemen mencoba membuat lapisan kader di bawah Ning yang mempunyai kemampuan sama dengan dia ihwal pengetahuan tentang ramuan.

Saat ini, menurut Henki, sudah ada 20 kader yang dinaikkan statusnya dari level yunior ke senior, sementara konsultan senior ada 13 orang. Mereka sebagian besar bekas pasien, sebagian lagi adalah teman yang dari awal di KTBL. “Mereka ini yang sekarang ada di klinik dan keliling ke mitra penjual,” tuturnya. Para mitra usaha ini juga bisa datang bertanya kepada 7 orang dokter yang ditunjuk dan membantu praktik di klinik. “Dokter ini first level support, bagian marketing secondary support-nya. Kalau setiap pelanggan lari ke Bu Ning bisa setengah mati kerepotan,” ujarnya sambil tersenyum.

Gaya manajemen yang diterapkan Ning di MDI, diakui Henki, adalah pengelolaan perusahaan layaknya sebuah keluarga dengan pola kerja seperti koloni sarang tawon. Ning sendiri sebagai ratu, sedangkan bagian pabrik sebagai pekerja, serta manajemen/pemasaran adalah tawon prajuritnya. “Semua setara di sini sehingga suasana kerjanya menyenangkan. Ya seperti keluargalah, kalau salah ya dimarahin juga, hanya pendekatannya seperti ibu dan anak,” papar Henki.

Manajemen yang dijalankan MDI, tambah Henki, tidak melihat latar belakang pendidikan karyawannya tapi kepribadian. Setiap tiga bulan dilakukan evaluasi performa dan kinerja termasuk perkembangan bisnis, layanan pelanggan, mitra petani, mitra usaha, produksi, serta rencana ke depan. Untuk makin mengokohkan usahanya, Ning bahkan meminta sang suami, Ir. Harmanto, untuk ikut terlibat secara total di MDI. “Saya bilang, pilih Astra atau istri,” ujar Ning. Rupanya rayuan Ning ampuh. Sejak November tahun lalu, suaminya rela meninggalkan posisi Manajer Senior di Astra Graphia.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved