Listed Articles

Pentingnya Kesamaan Visi

Oleh Admin
Pentingnya Kesamaan Visi

There is no free lunch. Tampaknya peribahasa ini cocok dialamatkan ke PT United Chemicals (UC). Niat perusahaan importir dan distributor bahan kimia terkemuka di Indonesia ini memperbaiki kinerja dan proses bisnisnya dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI) ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Ongkos termahal yang harus dibayarnya adalah keberatan sebagian manajemen dan karyawan terhadap penerapan sistem kerja berbasis TI. “Tapi, tak ada kata menyerah untuk sebuah perbaikan,” ujar Herman Moeliana, Presdir sekaligus pemilik perusahaan ini, tegas.

Sebenarnya, wajar jika Herman menginginkan adanya perubahan. Menurutnya, setelah 30 tahun lebih UC berkiprah sebagai distributor dan importir bahan kimia, kebutuhan akan adanya proses otomatisasi dalam suatu sistem yang terintegrasi makin dirasakan dalam beberapa tahun belakangan. “Motif utamanya, kami ingin bekerja lebih efisien dan efektif di era yang makin kompetitif,” katanya. Maklum, selama puluhan tahun sebelumnya perusahaannya boleh dibilang lebih banyak mengandalkan cara kerja yang relatif konvensional dan berbau manual. Memang, komputer (PC) sudah digunakan, tapi lebih sebatas pencatatan, yang belum terintegrasi satu sama lain.

Diakuinya, tanpa mengandalkan dukungan TI sekalipun, sebenarnya perusahaannya bisa tetap hidup. Buktinya, UC masih tetap mampu bertahan dalam usia yang cukup tua dan berhasil menjadi satu-satunya perusahaan distributor bahan kimia yang memiliki 50 mitra asing di seantero dunia. Namun, ia merasa, sekadar hidup saja tak memadai, tanpa kesinambungan dan pertumbuhan. “Kami ingin adanya growth, namun ada keterbatasan resources,” tegasnya. Untuk itulah, perusahaan mesti melakukan perencanaan dan pengelolaan sumber daya secara optimal. Perangkat yang dibutuhkan adalah aplikasi korporat enterprise resources planning (ERP).

Keseriusan manajemen puncak UC mengimplementasikan ERP ini lantas direalisasi dengan mengundang beberapa vendor/konsultan untuk presentasi di awal 2001. Setelah melalui proses pencarian yang panjang, setidak-tidaknya memakan waktu kurang-lebih setengah tahun, perusahaan akhirnya memilih solusi ERP dari salah satu vendor.

Menurut Boejoeng T. Lukito, Direktur UC, pertimbangan dalam memilih solusi adalah, aplikasi yang akan dipakai harus paling realiable dan sesuai dengan praktik bisnis di Indonesia. Pertimbangan lainnya, dari sisi sang vendor sebagai implementor, tenaga ahlinya banyak yang berasal dari tenaga lokal. “Kami tidak melihat berdasarkan cost semata, kami melihat value. Sejauh mana servis dan software yang ditawarkan itu bernilai buat kami,” ujar Boejoeng.

UC memang tidak main-main. Tak kurang dari Rp 2 miliar lebih dikeluarkan untuk mengimplementasikan sistem barunya tersebut. Dana sebesar itu diperuntukkan buat pengembangan jaringan komunikasi, serta pengadaan sejumlah server dan PC (yang kini jumlahnya bertambah dua kali lipat menjadi 40-an PC). Boejoeng mengakui, penambahan PC itu belum sampai pada level yang ideal, satu orang satu PC. Maklum, jumlah karyawan UC mencapai lebih dari 300 orang.

Hanya saja, ketika sistem baru akan diimplementasikan, kendala mulai muncul. Sebagian manajemen dan karyawan yang awalnya mengaku setuju dengan pergantian sistem, belakangan justru mempertanyakan urgensinya. Mereka beranggapan bahwa sistem baru yang akan diadopsi perusahaan tersebut akan menambah kompleksitas dan akan bernasib sama dengan beberapa aplikasi sebelumnya yang gagal diimplementasikan. Seolah-olah tak peduli dengan dana yang telanjur dikeluarkan perusahaan, mereka pun meminta proyek implementasi ERP ini segera dihentikan saja.

Namun, manajemen puncak UC tetap bersikukuh meneruskan rencana yang sudah setengah jalan tersebut. Menurut Boejoeng, kendati mahal, sistem ini bisa dijadikan fondasi untuk bisa memiliki sistem TI yang lebih canggih dan bisa memenuhi kebutuhan perusahaan yang terus berkembang di kemudian hari. Bagaimanapun, menurutnya, jika tetap mengandalkan sistem lama, perusahaan akan menemui berbagai hambatan ketika laju usahanya meningkat. Karena itu, Boejoeng memperkirakan, sebagian karyawan itu mungkin belum bisa memahami pertimbangan seperti ini.

Seiring dengan rencana implementasi yang akan segera digulirkan, berbagai pendekatan dan sosialisasi akhirnya dilakukan manajemen terhadap beberapa karyawan yang merasa keberatan. Pertemuan yang melibatkan manajemen, karyawan dan konsultan dari vendor terpilih kerap digelar.

Setelah lebih dari puluhan kali pertemuan, sebagian karyawan tadi baru bisa memahami semangat manajemen. Meskipun tak bisa disangkal, masih ada karyawan yang bersikukuh dengan penolakannya. “Mereka masih trauma dengan dengan kejadian-kejadian sebelumnya,” ujar Boejoeng menduga. Yang terungkap, separuh karyawan yang rata-rata memiliki masa kerja di atas 15 tahun tersebut merasa kesulitan serta enggan mengikuti standar dan prosedur baru yang mengharuskan perubahan kebiasaan dalam hal operasional kerja sehari-hari. “Mereka masih terpaku dengan paradigma dan cara lama,” ujar Herman. Yang menarik, di balik penolakan itu, rupanya juga ada berbagai macam ketakutan di kalangan pegawai jika TI diimplementasikan, seperti ketakutan pemutusan hubungan kerja dan posisinya terancam.

Namun, manajemen puncak UC melanjutkan rencananya. Setelah melalui tahapan observasi dan evaluasi, proses implementasi tetap dilanjutkan. Beberapa modul utama seperti modul distribusi dan finance diprioritaskan untuk diimplementasikan. Kedua modul itu sengaja didahulukan karena dianggap sangat terkait erat dengan proses bisnis perusahaan.

Bermodal semangat manajemen dan sebagian karyawan saja rupanya tidak cukup. Buktinya, kendati proses implementasi bisa dilakukan, hasilnya tidak bisa berjalan optimal seperti yang diharapkan. Bagaimana tidak. Selain implementasinya sendiri harus memakan waktu lebih dari dua tahun, proses pemanfaatannya pun masih jauh dari efektif. Contoh sederhananya bisa dilihat pada perhitungan data di bagian keuangan. Walaupun hasil perhitungan data yang dimasukkan ke dalam sistem bisa cepat didapat, para user-nya seolah tidak percaya begitu saja.

Lucunya lagi, mereka harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap data yang dimasukkan sebelumnya seperti layaknya masih menggunakan pola manual. Padahal dengan pola manual, tingkat kesalahan yang terjadi justru lebih tinggi. “Ini memang aneh sekaligus dilematis, di saat perusahaan memfasilitasi karyawan dengan sistem yang lebih bagus, mereka justru bertahan dengan sistem manual,” ujar Boejoeng.

Gambaran serupa juga bisa ditemui di beberapa divisi usaha/bagian lainnya, seperti bagian purchasing dan pergudangan yang sebenarnya sudah bisa terintegrasi. Melalui sistem jaringan yang mulai terintegrasi antara kantor pusat, gudang dan kantor perwakilan, masing-masing divisi sebenarnya bisa mengakses datanya secara real time. Bahkan, ketersediaan stok barang di gudang sekalipun bisa terpantau. Namun sayangnya, sebagian karyawan masih enggan memanfaatkan fasilitas itu. Buktinya, data yang dikirim dari gudang ke kantor cabang/pusat masih menggunakan pola manual dalam bentuk hard copy (disket dan kertas).

Berbeda dari sebagian karyawan yang masih enggan mengikuti perubahan, Holiana, Kepala Bagian Distribusi UC, yang memiliki masa kerja 23 tahun, lebih memilih mengikuti cara kerja sistem baru. Dia bahkan merasa terbantu dengan diterapkannya ERP di perusahaannya. “Anak buah saya pun bisa bekerja lebih cepat,” ujarnya.

Saat ini, menurut penilaian Holiana, TI bisa memberikan beberapa manfaat, khususnya dalam hal efisiensi dan efektivitas kerja. Berbeda dari beberapa bagian lain, proses transaksi di bagiannya bisa berlangsung secara sistematis, tidak lagi menggunakan proses manual dengan mengandalkan pencatatan lewat kertas yang kemudian dimasukkan ke dalam database perusahaan.

Holiana menuturkan, sebelumnya inventarisasi, analisis data ataupun pengecekan barang harus dilakukan secara manual, dicatat satu per satu, saat ini sudah tidak begitu. “Saya cukup mengeceknya lewat komputer di meja saya,” katanya bangga. “Tinggal klik data yang dituju, semua data yang diinginkannya bisa didapat dengan cepat,” tambahnya.

Holiana mengakui, sebenarnya ia tidak lantas begitu saja mengikuti cara kerja sistem baru di perusahaannya. Kebiasaanya selama bertahun-tahun dengan ritme kerja manual membuatnya kesulitan ketika perusahaan memperkenalkan sistem operasional yang baru. Maklum, sebagian besar karyawan, termasuk dirinya, diakuinya rada gagap teknologi.

Akan tetapi, Holiana mengatakan, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah sama-sama mengikuti berbagai pelatihan dengan para bawahannya -? dipandu oleh tenaga konsultan dari vendor, lambat laun ia bisa mengoperasikan sistem TI yang terintegrasi dalam jaringan. “Untungnya, para anak buah saya bisa cepat menerima instruksi dan mau melakukan perubahan,” katanya. Sayangnya, ia sendiri enggan mengomentari beberapa karyawan lain yang belum mau berubah.

Menurut Boejoeng, apa yang terjadi di UC saat ini merupakan sesuatu yang biasa untuk ukuran perusahaan yang baru mengimplementasikan sistem baru berbasis TI. Dikatakannya, untuk melihat efektivitas suatu sistem, paling tidak membutuhkan waktu 2-3 tahun. “Jangka waktu tersebut dipakai untuk ajang proses pembelajaran dan sosialisasi. Kami optimistis pada akhirnya itu pasti akan membawa perbaikan,” tambahnya. Ia hanya mengingatkan jajaran manajemen agar mau bersabar mengarahkan seluruh karyawan untuk secara bertahap mau mengikuti pola kerja baru.

Herman mengakui bahwa pemanfaatan TI di perusahaannya masih jauh dari harapan. Namun, ia juga menaruh harapan besar, bila seluruh karyawan bisa memahami arti penting pemanfaatan TI, lambat laun efektivitasnya mulai bisa terlihat. “Ini soal waktu saja,” ujarnya optimistis.

Optimisme yang sama diungkapkan Thomas Dwisusmantoro, tenaga konsultannya. Menurut Thomas, secara prinsip seluruh karyawan UC sebenarnya memahami pentingnya TI. Hanya saja, manajemen masih perlu melakukan sosialisasi yang bersinambung lewat berbagai pendekatan. Maklum, ini sangat terkait erat dengan beberapa faktor. Pertama, banyak karyawan yang rata-rata berusia sepuh, sehingga perlu adanya pendekatan yang berbeda. Kedua, adanya trauma dengan sistem sebelumnya yang gagal diimplementasikan. UC memang setidak-tidaknya pernah tiga kali mengimplementasikan sistem berbasis TI, tapi selalu berujung pada kegagalan.

Bagi Thomas, apa yang dialami UC saat ini dianggapnya sebagai sesuatu yang wajar. “Kenyataan seperti ini sudah umum terjadi di kebanyakan perusahaan keluarga di Indonesia,” ungkapnya. Dia pun berkeyakinan, dalam setahun ke depan seluruh user bisa mengikuti cara kerja sistem yang ada. Sebagai konsultan, ia bersama timnya akan segera melakukan audit menyeluruh terhadap pemakaian sistem ERP tadi di perusahaan ini. “Dari situ kami akan bisa mengetahui informasi situasi yang lebih

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved