Kinerja pemasaran batu baterai Eveready di Indonesia tak akan seburuk saat ini andai manajemen Union Carbide (UC), pemasar Eveready, tak salah pilih strategi. Pertengahan 1980-an Tanri Abeng yang saat itu menjadi Direktur Pemasaran UC Singapura, menyarankan agar UC jangan terburu-buru mengejar profit di Indonesia. “Lebih baik invest untuk perluasan produksi dan pemasaran demi mengejar market share dulu,? saran Tanri melihat kinerja Eveready di Indonesia yang sudah bagus, tapi belum aman.

Apa lacur, usulan tersebut ditolak orang nomor satu UC Asia Pasifik, atasan Tanri. Alasannya, bila strategi mengejar pangsa pasar diimplementasikan, bottom line profit perusahaan berkurang. Apalagi, Sang CEO hampir memasuki masa pensiun, sehingga khawatir hal itu akan mengurangi rapor profitabilitas selama kepemimpinannya. Adapun Tanri setahun kemudian keluar dari UC karena perbedaan prinsip itu.

Kekhawatiran Tanri memang benar terjadi. Kinerja Eveready perlahan-lahan tergerus pesaing, terutama oleh ABC yang serius dalam investasi produksi dan membangun merek. Hingga sekarang, pangsa pasar Eveready begitu marginal, sedangkan ABC mampu melejit ke papan atas.

Kisah Eveready sebenarnya hanya satu contoh kasus dilema yang sering terjadi pada produk baru, yakni mengembangkan pangsa pasar ataukah mencari profit lebih dulu. “Yang pasti, sulit meraih profit dan market share bagus secara bersamaan dalam waktu cepat,? kata Djoenaidi Handojo, Direktur PT Berca Cakra Teknologi — pemasar Relion, merek PC baru milik Grup Berca. Pasalnya, bila berorientasi mengejar pangsa pasar, otomatis biaya yang dibutuhkan sangat besar. Selain harus membangun merek, juga mesti mengedukasi konsumen dan membangun jaringan distribusi yang lebih luas. ?Otomotis langkah ini butuh anggaran biaya lebih besar,? Harjanto, CEO PT Unimitra Karisma, pemasar sepatu Piero, menambahkan.

Menghadapi pilihan itu, konsultan pemasaran Yadi Budisetiawan berpendapat, sebenarnya pilihan-pilihan itu sama baiknya, asal dilakukan secara tepat. “Yang penting, konteksnya benar dan dibarengi dengan elemen-elemen pemasaran lain yang tepat,? tegas Yadi. Contoh produk yang memprioritaskan pangsa pasar setelah produknya diterima pasar, antara lain Irex, Adem Sari, Sari Puspa, Extra Joss, permen Dynamite dan Alus, Ovale, Piero, Relion serta Nutrisari. “Secara pasti, saya katakan Piero menggunakan pendekatan market share,? sahut Harjanto yang selain memproduksi Piero juga punya dua pabrik Nike. Hal senada juga dikemukakan pengelola URC dan Relion.

Relion, misalnya, sedari awal sengaja tidak dikembangkan dengan semata-mata pendekatan profit. “Bagi kami, keuntungan bukan segalanya,” kata Djoenaidi. Kalau sekadar cari untung, ia menambahkan, cukup dengan menjadi distributor Hewlett-Packard sudah memadai. Namun, Berca ingin punya merek kuat sendiri. “Kami ingin punya bisnis yang tahan lama dan bagus.?

Toh, pertimbangan para pemasar, profit akan mengikuti besarnya volume pasar dan nilai penjualan. “Selama menangani Piero dan Starmon, profit otomatis datang bila revenue meningkat, dibarengi efisiensi produksi dan pemasaran,? papar Harjanto, Ketua Umum AsosiasiPersepatuan Indonesia, yang mengakui bahwa ia sebelumnya harus mendorong pemasaran.

Konsekuensi pengembangan pangsa pasar, seperti diurai di atas, perlu dukungan sumber dana kuat untuk membiayai investasi, baik di lini produksi (riset dan pengembangan), distribusi (membangun jaringan) dan promosi (membangun merek). Iklan, umpamanya, paling tidak membutuhkan anggaran minimal Rp 1 miliar. Biaya pemasangan iklan di layar kaca, misalnya, kini per detik di prime time Rp 12-14 juta. Belum anggaran untuk produksi iklan di televisi, media cetak, dan media promosi lain. Universal Robina Corp (URC), pemasar permen Dynamite, Alus dan sejumlah merek cokelat, misalnya, tahun lalu menginvestasikan tak kurang dari US$ 15 juta baik untuk investasi produksi maupun membangun merek.

Manajemen Berca menggelontorkan Rp 3 miliar untuk promosi Relion. Irex dari BT Bintang Toedjoeh sejak awal sangat royal, bahkan melakukan blocking time di stasiun TV swasta. Demikian pula, Piero, selama 2000-02 tak kurang menghabiskan Rp 40 miliar hanya buat membangun merek.

Berbagai upaya pengembangan pangsa pasar yang didukung banyak sumber dana, terbukti menguntungkan. URC yang baru diluncurkan Juni 2002, misalnya, seperti dikatakan Nurdin Mashud, Deputi Manajer Country PT URC, telah memberikan keuntungan. Menurut AC Nielsen, Dynamite menduduki peringkat ke-3 pasar permen. “Omset kami sekitar Rp 20 miliar sebulan,? ujar Nurdin, mantan eksekutif Japfa Comfeed. Piero juga sama. “Kenyataannya, baru dua tahun Piero mulai balik modal,? ujar Harjanto sembari menjelaskan, omset Piero setahun terakhir di atas Rp 100 miliar.

Secara umum, menurut Yadi, kebanyakan produk yang sukses di pasar, seperti Sari Puspa, Adem Sari dan Vegeta, menerapkan prinsip berikut. Pada tiga bulan pertama, memperbesar dana iklan hingga 2-3 kali lipat penjualan. ?Jadi, memang total lost,” katanya. Lalu, 6 bulan pertama, iklan untuk membangun merek hanya 75% dari penjualan. Kemudian satu tahun pertama, menjadi sepertiga penjualan. Dalam hal ini, tak ada salahnya menggunakan pembanding bahwa rata-rata perusahaan di Indonesia punya gross margin 15%-25%. Dari angka ini, sekitar 33% biasanya dihabiskan untuk iklan, sementara produk-produk pemimpin pasar biasanya belanja iklannya 5%-10% dari nilai penjualan.

Orientasi mengejar pangsa pasar memang harus realistis, terutama dengan melihat kompetisi di pasar. Pada pasar yang tidak ada pemain dominannya, mengharapkan bisa menjadi pemain ketiga terbesar dalam 1-2 tahun masih masuk akal. Namun, di pasar yang ada merek dominannya — pangsa lebih dari 60%, misalnya Indomie — itu jelas sulit. “Bila market leader punya pangsa 40%-45%, dan pemain baru dapat 3%-5% di tahun pertama, itu sudah sukses,? ujar Yadi.

Masih banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan produk baru. Irex, menurut sumber SWA, ternyata sampai sekarang belum meraih pangsa pasar secara signifikan. Meski Manajer Produk PT Bintang Toedjoeh Chandra Gunawan mengemukakan bahwa Irex sudah bisa membiayai diri sendiri sejak tahun ketiga, sumber SWA menyebutkan, kinerja penjualan Irex masih jauh dari harapan.

Citra merek Irex memang meroket, tapi kabarnya belum terbukti sukses dari sisi penjualan. Sampai kini belum bisa mengembalikan investasi. Buntutnya, acara Kencan Bareng Irex di Indosiar yang sudah berlangsung lebih dari 50 episode dihentikan. “Sudah tak bisa meng-generate penjualan,? kata sumber itu. Chandra merasa tidak berwenang mengatakan kerugian-keuntungan Irex saat ini. “Saya tidak mau ngomong banyak,” ujarnya. Namun ia menjelaskan, tahun pertama dan kedua, pengeluaran Irex lebih berat dibanding penjualan. Menjelang bulan puasa tahun lalu sampai Tahun Baru 2003, penjualan agak turun. Setelah mengganti iklan dan strategi lainnya, menurut Chandra, “Penjualan naik kembali.?

Pemain dengan dana tanggung nampaknya lebih aman bermain dengan pendekatan yang berorientasi keuntungan. Idealnya, produk-produk baru kelas ini tidak perlu membangun merek atau berpromosi secara jorjoran. Akan lebih baik mendekati konsumen lewat saluran distribusi yang sifatnya langsung. Entah menggarap distribusi dari pinggiran (flinking strategy) atau melalui ceruk-ceruk dan komunitas khusus.

Pilihan strategi profitabilitas ini banyak diimplementasi pemain-pemain di bisnis garmen, konveksi, fashion dan produk-produk industrial. Dalam pandangan Yadi, perusahaan bisa mengambil strategi profitabilitas dulu jika mampu melayani konsumen yang peka terhadap kualitas dan nilai tambah, bukan peka harga. Ini seperti dilakukan Nokia. Meski harga lebih mahal dari kompetitor, karena mempunyai nilai tambah, Nokia masih diburu konsumen. Juga, merek-merek premium seperti Equil.

“Bisa juga untuk produk high destination seperti TV plasma dan layar datar,? lanjut Yadi. Singkatnya, pendekatan ini dimungkinkan bila memang punya produk yang superior dan bercitra eksklusif. Atau, bisa juga dilakukan pemain yang di pasar bermain sendirian, belum ada pesaing. Dalam pengamatannya, Tolak Angin yang menyasar menengah-atas, oleh Sido Muncul juga dikembangkan dengan pendekatan profit.

Pertumbuhan produk yang dikembangkan dengan pendekatan profit biasanya pelan. Ini konsekuensi dari konservatifnya manajemen produk tersebut. Mereka enggan investasi besar di awal dan ingin cepat mendapat untung. Mereka umumnya mau berpromosi dengan mengambil sedikit persentase dari keuntungan operasional. Cara ini biasanya dilakukan pemain kecil yang menggarap pasar lokal, seperti produk kecap dan minuman. Prinsip mereka, meski pasarnya kecil, yang penting bisnis tetap jalan dan dapat untung.

Reportase: Farida Nawang NuriniRiset: Vika Octavia & Siti Sumariyati.