Listed Articles

Ramai-ramai Boyongan ke Linux

Oleh Admin
Ramai-ramai Boyongan ke Linux

“Kami tak mempekerjakan Windows. Artikel ini dibuat di atas Linux RedHat 8.0.” Kalimat bernada tendensius ini tertulis di halaman muka Koran Tempo 29 Juli 2003. Adakah PT Tempo Intimedia Tbk. sedang berperang melawan Microsoft?

Menurut pihak manajemen Tempo, pernyataan tersebut hanya mempertegas bahwa sejak pertengahan tahun ini Tempo melakukan migrasi sistem operasi dari Windows ke Linux. Momennya memang dipilih bertepatan dengan diberlakukannya secara resmi Undang-Undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) No. 19/2002. “Sebenarnya, sejak 2001 kami telah menggunakan Linux, tapi baru sebatas pada server dan sistem intranet redaksi saja,” ungkap Handy Dharmawan, Manajer Teknologi Informasi Tempo.

Sesungguhnya, UU HAKI tidak cuma mengatur soal hak penggunaan software, tapi juga beragam karya intelektual lain seperti karya tulis, musik, lukis dan film. Namun, kalau kemudian orang lebih mengasosiasikan UU HAKI sebagai UU yang mengatur hak penggunaan software, harap maklum saja. Pasalnya, secara teknis software merupakan produk yang paling gampang digandakan (secara ilegal), dan kemudian bisa digunakan secara massal. Padahal, menurut klaim para vendor software, biaya investasi untuk pengembangannya amat mahal. Apalagi, menurut data Business Software Alliances (BSA), Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia untuk angka pembajakan software. BSA juga menyebutkan, tahun 2002, penggunaan software ilegal di Indonesia tahun lalu diperkirakan mencapai 90%, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 88%.

Bisa dipahami bila kemudian PT Microsoft Indonesia terkesan amat responsif memanfaatkan momentum pemberlakuan UU HAKI. Maklum, software produk Microsoft merupakan yang paling banyak dipakai di pasar. Salah satu langkah Microsoft adalah mengirimkan “surat cinta” berisi pemberitahuan tentang penerapan UU HAKI dan permintaan untuk mendaftarkan aplikasi-aplikasi yang digunakan oleh perusahaan.

Kabarnya, banyak perusahaan yang ketakutan. Apalagi, beredar rumor bahwa para vendor software seperti Microsoft akan melakukan sweeping beserta aparat kepolisian. Memang, salah satu pasal UU HAKI menegaskan ketentuan pidana “bagi siapa saja yang sengaja dan tanpa hak memperbanyak, menggunakan untuk kepentingan komersial suatu program komputer”. Sanksinya, masih kata pasal itu, berupa kurungan penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Pihak Microsoft memang membantah akan melakukan sweeping. Namun, nyatanya belakangan makin banyak perusahaan yang memutuskan mengganti berbagai software-nya dengan perangkat lunak open source. Ada perusahaan yang mengambil langkah ini secara reaktif melihat perkembangan mutakhir, tapi ada juga yang sudah mengantisipasinya jauh-jauh hari atau lantaran ingin menghemat biaya sistem teknologi informasi (TI)-nya.

Selain Tempo, sejumlah perusahaan lain tercatat melakukan migrasi sistem ke open source, seperti PT Sukanda Djaya, PT Surveyor Indonesia, PT Sinar Sosro dan Detikcom. Beberapa perusahaan lain bahkan telah bermigrasi ke open source tahun lalu.

I Made Wiryana, pengamat TI yang juga pengajar Universitas Gunadarma, sejak beberapa tahun lalu telah memprediksi — dalam beberapa tulisannya — kondisi seperti ini bakal terjadi. Menurut Made, perusahaan di Indonesia belum siap mencapai tingkat skala ekonomi yang mampu membeli software berlisensi. “Sayangnya, dulu tak banyak orang yang percaya,” katanya mengeluhkan. Ditambahkannya, selama ini perusahaan masih memandang software tidak ada harganya, sehingga banyak orang yang terbiasa melakukan penggandaan ilegal.

Kini, dengan diberlakukannya UU HAKI secara ketat oleh pemerintah, mau tidak mau perusahaan dihadapkan pada pilihan tetap menggunakan software buatan para vendor tapi mesti berlisensi, atau bermigrasi ke open source. Sebenarnya, masih ada pilihan lain, yaitu menggunakan beberapa komponen software berlisensi dan beberapa perangkat lunak open source.

Tingginya biaya lisensi merupakan salah satu alasan utama perusahaan bermigrasi ke sistem open source, yakni GNU/Linux (biasa hanya disebut Linux). Handy menyebutkan, mulanya alasan Tempo menggunakan Linux pada server dan intranetnya lebih karena faktor keamanan dan kestabilan yang dinilai lebih baik. Namun, menurutnya, pemberlakukan UU HAKI makin mendorong Tempo segera bermigrasi ke sistem operasi yang pada tahapan awalnya dikembangkan oleh Linus Torvalds ini. “Biaya lisensi jelas sangat mahal,” ujar Handy, sambil mengungkapkan bahwa Tempo memiliki lebih dari 300 workstation. “Terlalu mahal jika harus menggunakan software berlisensi seluruhnya,” tambahnya.

Dari hasil penghitungannya, Handy memperkirakan dibutuhkan biaya Rp 4-5 juta per pengguna jika mereka tetap menggunakan software keluaran Microsoft. Biaya lisensi per satu komputer saja, untuk sistem operasi desktop Windows 98 sekitar US$ 80 dan untuk aplikasi MS Office 2000 Pro sekitar US$ 450. Artinya, biaya tersebut lebih besar ketimbang beralih ke Linux yang diperkirakan hanya memakan biaya Rp 1-2 juta per pengguna — termasuk biaya pelatihan dan upgrade spesifikasi komputer.

Lain Tempo, lain pula PT Surveyor Indonesia (SI). Pertengahan tahun lalu, perusahaan jasa inspeksi dan survei ini mendapatkan surat dari PT Microsoft Indonesia yang menyatakan bahwa mereka akan berkunjung ke kantor pusat SI di Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Permintaan itu tidak dapat ditolak pihak SI, karena kenyataannya SI merupakan pelanggan Microsoft. Beberapa server dan workstation perusahaan ini menggunakan software keluaran Microsoft.

Ternyata, dalam kunjungan tersebut pihak Microsoft Indonesia tak sekadar beranjangsana, tapi juga mengaudit software yang dipakai di sana. Hasilnya, 70% komputer SI menggunakan sistem operasi dan aplikasi Microsoft yang tidak dilengkapi lisensi.

Merasa agak terpojok, “Kami mulai melakukan hitung-hitungan,” ujar Tri Haryanto, Manajer Sistem TI SI. Dijelaskannya, jika mereka tetap bertahan menggunakan produk Microsoft, biaya yang dikeluarkan untuk membeli lisensi mencapai US$ 467 ribu atau sekitar Rp 4 miliar. Menurut Tri, kendati pihak Microsoft menawarkan skema membayar secara cicilan, tetap saja angka tersebut tidak sesuai dengan kemampuan SI. “Masih terlalu mahal, harus ada solusi alternatif,” ujarnya menegaskan.

Linux yang menawarkan software dengan open source code kemudian menjadi pilihan. Tri menyebutkan, dengan penggunaan Linux, SI pun dapat menghemat US$ 242 ribu. “Penghematannya mencapai 51%,” ungkapnya. Angka itu pun sudah memperhitungkan biaya konsultan dan pelatihan untuk pengguna.

Yang agak berbeda, pengalaman PT Sukanda Djaya (SD). Anak perusahaan Grup Diamond yang memfokuskan bisnisnya di bidang cold storage dan distribusi ini sejak lama memanfaatkan software dari Microsoft. “Dalam perjalanannya, sistem tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi yang tidak mengenakkan,” ujar Teddy Wijaya, Manajer TI Korporat SD. Karena itu, sejak September 2002 SD memutuskan bermigrasi ke Linux.

Tingginya biaya lisensi dan pengadaan hardware — karena software yang digunakan membutuhkan hardware dengan spesifikasi tinggi — merupakan alasan SD bermigrasi. Selain itu, Teddy juga menyebutkan, sistem yang mereka gunakan selama ini juga sangat rentan terhadap virus dan serangan hacker.

Sebagai sistem operasi, Linux memang memiliki sifat yang tidak dimiliki oleh sistem operasi lain. Setidaknya ada tiga keunggulan Linux dibanding sistem lain. Pertama, bersifat bebas. Ini salah satu daya tarik Linux, karena source code bersifat terbuka, sehingga tidak ada biaya lisensi yang dibebankan pada pengguna. Selain itu, pengguna juga dapat mengontrol lebih jauh aplikasi yang digunakannya, dan dapat mengembangkannya sesuai kebutuhan.

Kedua, pertimbangan keamanan. Dengan tersedianya akses terhadap source code, pengguna Linux dapat cepat mengetahui adanya kelemahan pada keamanan sistem, untuk kemudian melaporkan pada pengembang atau bahkan memperbaiki sendiri.

Ketiga, bebas virus. Baik Handy, Tri maupun Teddy sepakat, ketahanan Linux terhadap virus jauh lebih baik ketimbang sistem operasi lain. Mereka juga mengaku belum pernah menjumpai virus yang mengganggu sistem mereka yang berbasis Linux.

Kendati demikian, Peter Ong, pemerhati industri TI, mewanti-wanti agar perusahaan tidak hanya sekadar terbawa euforia bermigrasi ke Linux. “Perencanaannya harus hati-hati. Kalau tidak, TCO (total cost of ownership)-nya malah lebih besar,” ujar Peter. Menurut dia, setidaknya ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan bermigrasi, yakni menentukan aplikasi-aplikasi yang sedang dan akan dipakai, mengetahui kebutuhan sebenarnya para pengguna, dan memperhitungkan ongkos migrasi serta return on migration investment.

Peter juga mengingatkan, korporasi kecil perlu juga memikirkan faktor ketergantungan bantuan teknis dari Linux, karena masih dalam tahap pertumbuhan, terutama di Indonesia. Ia juga menyebutkan, perusahaan harus memperhitungkan harga lisensi dari aplikasi-aplikasi korporat — seperti ERP, SCM dan CRM — dalam versi Linux, yang belum tentu lebih murah. Selama ini, Linux dikenal cukup sukses pada tingkatan server di korporasi, bukan pada desktop.

Made mengamini pendapat Peter. Menurutnya, proses migrasi tidak bisa dilakukan karena alasan kepepet dan terburu-buru, karena hasilnya akan mengecewakan. “Tahapan-tahapan dalam proses migrasi harus dijalani dengan benar,” ujarnya. Disebutkannya, selama ini pelatihan terhadap end user sering tidak terlalu diperhatikan. Padahal, ini merupakan hal yang sangat menentukan dalam proses migrasi sistem operasi. “Yang akan menggunakan sistem adalah end user, bukan hanya programer,” ujarnya. Alasannya, banyak dari mereka yang sudah bertahun-tahun menggunakan sistem dan aplikasi mainstream seperti Windows dan MS Office. “Jadi, untuk pindah ke Linux, tidak semudah membalikkan tangan,” ujarnya.

Langkah bertahap seperti ini dijalani Tempo. Untuk sosialisasi awal, dijelaskan Handy, Tempo menggunakan aplikasi OpenOffice for Windows terlebih dulu. Tujuannya, agar pengguna membiasakan diri memakai aplikasi open source, sebelum nantinya menggunakan Linux secara total.

Selain itu, untuk mengetahui kebutuhan para end user, dalam tahap uji coba ini Bagian TI telah menginstal sistem operasi RedHat 8.0 (dari distro RedHat), pada beberapa komputer pengguna. Dengan cara ini, diharapkan mereka dapat memperoleh masukan dari end user mengenai apa yang mereka butuhkan. “Dalam tiga bulan diharapkan kami sudah mendapatkan setting yang baku,” ujarnya.

Demikian juga SI. Saat ini mereka baru menyelesaikan tahap pilot project dan sosialisasi. Beberapa bagian sudah menjalani proses migrasi, seperti untuk keperluan pengawasan keamanan menggunakan RedHat 6.2 dan proxy server menggunakan Mandrake 8.1 (dari distro Mandrake). ?Proses migrasinya dijalankan bertahap,? kata Tri.

Nantinya, tidak semua sistem di SI dimigrasikan ke Linux. “Ada beberapa aplikasi yang tetap dipertahankan,” ujar Tri. Antara lain, aplikasi keuangan yang menelan biaya besar.

Setali tiga uang dengan Tempo. Handy menyebutkan, Linux hanya akan mengambil sekitar 70% dari berbagai software yang digunakan di Tempo, sedangkan sisanya masih tetap menggunakan produk Microsoft, seperti Visual Basic yang tidak bisa jalan di atas Linux.

Namun demikian, bukan berarti migrasi ke Linux bisa mulus-mulus saja, tanpa konsekuensi apa pun. Diakui Handy, dalam tahap sosialisasi penggunaan Open Office — salah satu office aplication berbasis Linux — banyak user yang mengeluh karena pekerjaan mereka menjadi terhambat. “Nah, jangan sampai proses migrasi ini mengganggu kinerja karyawan,” ujarnya.

Konsekuensi lain, seperti ditambahkan Made, dengan bermigrasi, berarti perusahaan juga terpaksa harus membuang investasi yang pernah dilakukan ketika membeli sistem operasi lama dan aplikasinya. Termasuk bila perusahaan pernah mengembangkan aplikasi khusus yang dijalankan di sistem operasi tersebut. “Investasi bisa berganda dan perhitungan ROI pun menjadi lebih sulit,” ungkap Made yang tengah mengambil program doktor di Universitas Bielefeld, Jerman.

Made juga menyebutkan kendala lain, yakni Linux sering mengalami kesulitan mengenali suatu hardware baru akibat informasi tentangnya tidak tersedia. “Harus diakui, support terhadap Linux hingga saat ini masih belum terlalu besar,” katanya.

Tahapan Migrasi ke Linux

1. Inventarisasi

2. Persiapan

3. Implementasi

Reportase: Dedi Humaedi.Riset: Siti Sumariyati.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved