Listed Articles

Sampai Kapan TV-TV Lokal Tekor Terus?

Oleh Admin
Sampai Kapan TV-TV Lokal Tekor Terus?

Diancuk, matek koen!” (“Sialan, mati kamu!”). Sssst, jangan kaget. Bukan bermaksud mengumpat Anda, pembaca. Ungkapan misuh khas arek Suroboyo itu dilontarkan seorang pemain dalam tayangan film barat yang disulihsuarakan ke dalam bahasa Suroboyoan. Tentu saja, film model begitu tidak akan dijumpai dalam program film tayangan RCTI, SCTV, Trans TV, atau stasiun TV swasta nasional lainnya. Tayangan film dengan bahasa yang akrab dipakai masyarakat Kota Buaya ini hanya bisa dilihat di JTV.

Stasiun TV yang mengover kawasan Jawa Timur, kecuali Kabupaten Pacitan, ini juga menyajikan tayangan-tayangan lain, termasuk berita. Walhasil, orang Amerika juga akan menyapa pemirsa JTV dengan gaya Suroboyoan saat tayangan Voice of America. Begitu juga program Pojok Kampung. Program berita yang menampilkan beragam berita yang terjadi di Ja-Tim disajikan dalam bahasa yang terbuka dan apa adanya. “Semua program yang kami tayangkan memang harus mengakar pada budaya Jawa Timur,” ungkap Arif Afandi, Direktur News JTV. Mulai dari berita, dialog, budaya sampai hiburan, semuanya berpijak pada budaya Ja-Tim.

Sejak mengudara pada 26 Mei 2002, Bali TV secara konsisten juga menghadirkan beragam acara yang kental dengan kehidupan spiritual masyarakat Bali. Stasiun ini sadar betul daya jangkau siarannya memang terbatas hanya untuk daerah Bali dan sekitarnya. Karena itu, stasiun yang berada pada jalur frekuensi 37 dan 39 UHF ini mematok 90% program acaranya merupakan program lokal yang kental dengan suasana Bali. “Program tayangannya kami kemas sedekat mungkin dengan keseharian masyarakat Bali,” ungkap CEO Bali TV Satria Naradha.

Muatan lokal. Itulah yang coba dimunculkan stasiun TV lokal sebagai pencitraan, karakter, sekaligus kekuatan mereka. Dan, sudah tentu, sebagai daya pikat untuk menarik pemirsa dan pemasang iklan. Tak pelak, mereka berlomba menyuguhkan aneka program yang dapat mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat. Termasuk, menggunakan pengantar bahasa daerah, seperti yang dilakukan JTV.

Satria mengatakan, semua program acara Bali TV, dari berita, agama, kebudayaan, pariwisata hingga ekonomi memang sengaja dikemas sarat suasana Bali untuk mengimbangi TV nasional yang siarannya juga bisa ditangkap masyarakat Bali. Bahkan, tayangan serial film ditampilkan dengan memutar film India yang berhubungan dengan agama Hindu yaitu Ramayana, Ganesha dan Om Nama Siwayam. “Keunggulan acara kami memang segala sesuatu yang berhubungan dengan Bali secara menyeluruh. Ini kami lakukan untuk menjaga keajekan Bali,” jelasnya.

Magnitude kedaerahan yang diusung TV lokal itulah yang juga diharapkan dapat meraup iklan besar, seperti yang dikantongi stasiun TV nasional. Begitu menggiurkannya prospek bisnis ini membuat banyak pengusaha ramai-ramai menerjuni ladang bisnis ini. Sampai sekarang, tak kurang dari 30-an TV lokal hadir memadati jalur frekuensi jagat pertelevisian di Indonesia (lihat Tabel).

Stasiun TV di Jakarta, yang sudah disesaki 9 stasiun TV nasional, pun akan bertambah dengan kehadiran O-Channel milik Grup MRA. Bogor juga sudah ancang-ancang mengorbitkan Bogor TV. Bahkan, kabarnya, masih ada puluhan stasiun TV lokal yang tengah antre menunggu izin penyiaran. Kawasan Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang), tampaknya menjadi wilayah yang menjadi rebutan para pemilik modal untuk mendirikan TV lokal. Kalau tidak ada aral melintang, di tiga kota itu tidak lama lagi bakal hadir 9 TV lokal. Sampai akhir tahun ini, paling tidak sudah ada 6 yang mengudara.

Di Semarang ada BTV (Borobudur TV) milik Hengki Gunawan, Pro TV milik Leo Sutanto dan Cakra TV milik Satria Naradha yang juga bos Bali TV. Tidak lama lagi, di ibu kota Jawa Tengah ini juga akan muncul TV Kita. Sementara di Yogyakarta, sejak Agustus tahun lalu ada dua televisi baru yang sudah mengudara, yakni RBTV yang dikelola Grup Retjo Buntung dan Jogja TV yang dimiliki Satria berpatungan dengan GBPH Prabukusumo, adik kandung Sri Sultan HB X. Sebenarnya, menurut rencana ada tiga televisi lokal yang akan muncul di Yogya. Namun Tugu TV yang dikelola Faried Soeparjan, pengusaha peralatan siaran, hingga kini belum muncul juga. Padahal, Faried disebut-sebut sudah menginvestasikan Rp 2 miliar untuk membangun pemancar. Tugu TV sempat muncul dalam bentuk colour bar, tapi senyap lagi tidak diketahui kabarnya.

Maraknya TV lokal ini juga disambut gembira para biro iklan. “Kami makin senang karena makin banyak pilihan,” ungkap Direktur Media JC&K Advertising Judy Uway. Menurutnya, TV lokal dibutuhkan oleh produk yang ingin menambah bobot persaingan dengan kompetitor yang kuat di suatu daerah.

Hanya saja, dengan coverage terbatas, bisakah TV lokal menarik para pemasang iklan kakap yang notabene berada di Ibu Kota, tempat mangkal 9 stasiun TV swasta yang mengudara secara nasional? Belum lagi, peralatan, SDM dan permodalan stasiun TV lokal umumnya terbatas bila dibanding TV nasional. Untuk mendirikan stasiun yang menjangkau seantero Tanah Air dibutuhkan dana sampai ratusan miliar. Sementara TV lokal, paling banter perlu modal puluhan miliar. Bahkan, ada beberapa stasiun TV lokal yang mengudara dengan modal ratusan juta rupiah saja.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki itu, tak pelak stigma sulit mendapat guyuran iklan makin melekat pada TV lokal. Terlebih melihat fakta stasiun TV nasional saja ada yang megap-megap karena tak mampu bersaing dengan pemain lain. Dan, kalaupun stasiun TV itu tetap terlihat eksis bukan semata dipicu oleh gerojokan iklan, melainkan permodalan yang kuat yang membuatnya bisa bernapas panjang.

Pengamat pertelevisian Veven Sp. Wardhana memandang pesimistis kehadiran TV lokal. Menurutnya, menjamurnya TV lokal karena pengelolanya membayangkan akan meraup pundi-pundi uang dari iklan. Padahal, ia menilai program tayangan yang ditawarkan TV lokal tidak berbeda bahkan mengopi TV nasional. Ia mencontohkan Bali TV yang menayangkan acara serupa program Tantangan (Indosiar) dengan tajuk Bali Nekad. “Sama saja, mengapa tidak dicari format lain,” tambahnya. Beragam tayangan TV lokal yang mengacu pada TV nasional itu dinilainya sebagai sikap tidak mau repot dan hanya mencari gampangnya. Padahal, biaya untuk menggelindingkan bisnis stasiun TV sangat mahal, bisa mencapai triliunan rupiah. “Sementara yang diraih tidak bisa menutupi biaya tersebut. Saya agak ragu. Jangankan TV lokal, TV nasional yang berdaya jangkau nasional saja ada yang megap-megap, apalagi TV lokal,” katanya.

Benarkah TV lokal sulit merayu pemasang iklan? Meski tak mau berbicara secara detail investasi yang telah dibenamkan Bali TV, Satria optimistis bisnisnya akan menggelinding. Ia bersyukur selama tiga tahun mengudara, Bali TV mampu bersaing dengan TV nasional yang lebih dulu hadir di Bali. Malah, ia mengatakan, sinetron Memedi dan Kris (Kriminal Sepekan) mampu menempati rating 14 dan 18 menurut survei AC Nielsen, bersaing dengan sineton produksi Jakarta. Menurutnya, secara keseluruhan Bali TV, menurut survei untuk daerah Bali dan sekitarnya, selalu menempati urutan ke-4 di bawah Indosiar, SCTV dan RCTI.

Bila pada awal berdirinya Bali TV hanya mengandalkan iklan lokal, sejak 2004 terjadi kecenderungan peningkatan iklan nasional. Walhasil, target iklan 12 menit per jam tayangan selalu bisa terpenuhi, apalagi pada prime time. “Untuk acara-acara lain, rata-rata sudah terisi hingga 75%,” ungkap Satria. Namun, pada acara siang hari pasokan iklan baru mencapai 40%. “Untuk acara-acara yang disiarkan secara langsung seperti BRTV, Lomba Lawak, Lomba Dalang Cilik, kami malah terpaksa menolak iklan,” kata Satria yang juga Ketua Asosiasi TV Lokal yang berencana mendirikan sekolah khusus untuk televisi program Diploma 1.

Nada optimistis juga disampaikan Direktur Riau TV (RTV) dan Batam TV Rida K. Liamsi. “Tahun ini Riau TV kami targetkan mampu membukukan penghasilan kotor pada kisaran Rp 700-800 juta,” kata Rida. Hanya saja, diakuinya, angka tersebut memang masih belum mampu menutupi seluruh beban investasi yang ditanamkan RTV. Stasiun TV lokal pertama di Indonesia ini hadir sejak 20 Mei 2001 dengan menelan investasi Rp 20 miliar. Diakui Rida, awalnya RTV berjalan sangat lamban. Respons dari agensi dan pemirsa tidak begitu menggembirakan. “Mereka banyak melakukan wait and see terhadap RTV,” ujarnya. Apalagi, waktu pertama kali diluncurkan, daya pancarnya cuma 500 watt, hanya mengover wilayah kota Riau dan sekitarnya. Seiring berjalannya waktu yang disertai konsistensi pada muatan lokal, respons pasar mulai menggeliat. Walhasil, pada tahun pertama, RTV milik Grup Jawa Pos ini mampu membukukan rata-rata omset Rp 100 juta/bulan.

Angka itu memang belum mampu menutupi biaya operasional rutin. Toh, Rida tetap optimistia karena daya pancar RTV terus di-upgrade. Pada dasarnya, pemasang iklan memang melihat daya jangkau yang biasanya menggunakan indikator nilai cost per million, yakni biaya yang harus ditanggung buat satu orang pemirsa untuk mengenalkan produk. Saat ini, daya pancar RTV sebesar 10 kilowatt. Seiring itu, pembenahan program pun dilakukan dan posisi sebagai TV berita Riau terus diperkuat. Ia yakin, program berita lokal tidak akan disajikan secara utuh oleh TV nasional. “TV nasional tidak mungkin menelisik sampai ke tingkat kabupaten secara detail dan tiap hari,” ungkapnya. Supaya tidak bertabrakan dengan program berita TV nasional, berita RTV disajikan sesudahnya.

Saat ini, RTV yang mengudara lebih dari 15 jam/hari, menurut Rida, mulai menempati ruang keluarga di hampir seluruh Riau daratan. Posisinya sebagai TV berita lokal makin kokoh. Dengan rate spot yang ditawarkan Rp 200 ribu per 30 detik, omset RTV terus meningkat. Tahun 2003, RTV mampu membukukan omset Rp 3 miliar atau meningkat 100% dari tahun sebelumnya. Tahun ini diprediksi mencapai Rp 4 miliar. Omset ini didapat dengan kerja keras dari seluruh tim. Misalnya, upaya awak pemasaran yang bergerilya melakukan pendekatan kepada pemasang iklan lokal secara langsung, mengundang para agensi kelas kakap Ibu Kota, mengikuti pameran TV lokal, sampai menawarkan kerja sama, seperti advertorial pada media cetak. “Pendapatan dari event organizer kami serahkan ke Riau Pos. Omset kami murni dari TV komersial,” tegas Rida yang memperkirakan RTV bisa balik modal pada tahun ke-6.

Bagaimana dengan Batam TV? Stasiun TV lokal yang juga berada di bawah payung Grup Jawa Pos ini rupanya tak semoncer saudaranya. Potret Batam TV yang baru siaran 1,5 tahun lalu ternyata buram. Dengan daya pancar pada posisi 1 kilowatt dan jam tayang hanya 5 jam, Batam TV terlihat tersengal-sengal mengudara. Padahal, positioning-nya sudah disesuaikan dengan kehidupan dan kondisi faktual Batam sebagai TV berita bisnis. Jangankan menuai untung, Batam TV harus menanggung kerugian Rp 500-600 juta/tahun. Toh, Rida tak patah arang. “Karena RTV sudah bisa kami tinggalkan, sekarang kami fokus di Batam TV untuk melakukan pembenahan-pembenahan,” jelasnya.

Meskipun boleh jadi kondisi RTV dan Batam TV menggerogoti pundi-pundi uang Grup Jawa Pos, masih ada sebongkah asa yang dimiliki salah satu konglomerasi media ini. Menurut Arif, respons pemirsa dan pemasang iklan terhadap JTV luar biasa. “Repeat order atas pendapatan iklan sudah terjadi,” tambah Eddy Nugroho, Direktur Pemasaran JTV. Dibanding RTV dan Batam TV, daya pancar JTV memang lebih kuat: 20 kilowatt dengan tambahan 7 repeater yang mampu menjangkau seluruh wilayah Ja-Tim. Toh, dikatakan Arief, program juga memegang peranan penting bagi sukses-tidaknya TV lokal. Dengan rata-rata omset Rp 2,6 mliar/bulan pada 2004, JTV sudah tidak disusui lagi oleh induknya, Grup Jawa Pos. Namun, menurut Eddy, JTV belum balik modal. “Kami perkirakan itu terjadi pada tahun 2007,” ungkapnya.

Besaran pendapatan tersebut, menurut Eddy, tak semata berasal dari TV komersial. Sebesar Rp 600 juta didapat dari kegiatan off air yang masuk kategori event organizer. Misalnya, kerja sama dengan Indofood dalam memasarkan produknya atau dengan BuKrim lewat ajang Mencuci Bersama di Tugu Pahlawan, medio Desember tahun lalu. “Karena masih babat alas, semua harus dijalani, termasuk mencari pemasang iklan langsung tanpa lewat agensi,” papar Eddy. Toh, ke depan, ia mengaku akan kulo nuwun pada agensi. “Supaya tidak tercipta persepsi bahwa kami menelikung agensi,” tambah Eddy yang mengakui, pendapatan iklan JTV 60% berasal dari agensi.

Iklan yang menjadi sumber energi bagi kelangsungan hidup TV lokal memang masih menjadi persoalan serius pengelola TV lokal. Maklum, belanja iklan TV masih tersedot kuat oleh stasiun TV nasional. Toh, fakta itu tak membuat gentar pengelola TV lokal. Semisal Jogja TV, kendati masih seumur jagung, kemunculannya bisa dibilang cukup fenomenal. Sejak awal mengudara pada 17 September 2004, langsung melakukan siaran selama 7 jam (16.00-23.00 WIB) dengan program acara yang ternyata menarik masyarakat. Tak mengherankan, perolehan iklan pun cukup membuat tersenyum para pengelolanya. Stasiun TV yang mengudara pada saluran 48 UHF ini sudah menggaet 70 lebih produk berskala nasional yang memasang iklan di televisi ini. Maka, pemilik pun menargetkan dalam tempo dua tahun Jogja TV akan eksis. “Kami optimistis sekali, Jogja TV bisa diterima masyarakat dan dipercaya oleh perusahaan untuk berpromosi,” kata GBPH Prabukusumo, yang menjabat komisaris PT Jogjakarta Tugu Televisi yang mengoperasikan Jogja TV.

Sayangnya, Gusti Prabu, demikian adik kandung Sri Sultan HB X ini akrab dipanggil, masih enggan menyebutkan angka perolehan iklan yang sebenarnya. Yang jelas, dia memastikan perolehan iklan bisa membiayai karyawan yang jumlahnya mencapai 120 orang. “Kalau dihitung seluruh biaya produksi, kami memang masih nombok, tapi kami bersyukur karena perolehan iklan cukup lumayan,” katanya. Ia menjelaskan, dari iklan yang masuk, belum seluruhnya masuk lewat Jogja TV. Sebagian besar merupakan iklan yang masuk lewat Bali TV. Televisi yang berpusat di Bali itu memang menjadi salah satu pemegang saham Jogja TV. “Kami memang sudah ada komitmen dengan Bali TV bahwa semua iklan yang masuk di sana juga akan dimasukkan ke Jogja TV,” Gusti Prabu menandaskan.

Masih menurut Gusti Prabu, selain menerima limpahan iklan dari Bali TV, pihaknya juga aktif mencari iklan sendiri. Ia merasa bangga karena saat ini tingkat kepercayaan perusahaan besar terhadap Jogja TV mulai tumbuh. Namun, ia merasa heran, justru iklan-iklan lokal masih teramat kecil porsinya. “Iklan lokal masih bisa dihitung dengan jari dibandingkan dengan iklan produk nasional,” ujarnya. Dengan investasi sebesar Rp 5 miliar, ia optimistis Jogja TV bisa bersaing dengan TV lokal lainnya di Kota Gudeg itu.

Masih di Kota Gudeg, RBTV juga direspons masyarakat dengan bagus. Paling tidak, itulah pengakuan Wahyu Sudarman, Direktur Utama PT Reksa Birama Media yang mengelola RBTV. “Sementara ini, kami merasa senang karena respons masyarakat cukup bagus. Ini bisa dilihat dari acara interaktif yang selalu diikuti penonton,” katanya. RBTV yang berada pada channel 40 UHF baru melakukan siaran selama 8 jam, pukul 13.30-22.00. Melihat respons positif masyarakat selama ini, RBTV merasa yakin dalam 2-3 tahun akan balik modal. Stasiun TV ini menelan investasi sekitar Rp 2,5 miliar yang digunakan untuk membeli peralatan produksi dari pemancar hingga kamera.

Menurut Iwan Boediwanto, salah satu pemilik RBTV, pihaknya menargetkan total investasi sampai tiga tahun ke depan tidak akan melebihi Rp 10 miliar. “Apalagi, jika melihat minat pemasang iklan yang cenderung menggembirakan,” katanya. Dijelaskan, sampai saat ini, dengan 30-an karyawan, RBTV memang masih harus menanggung biaya operasional Rp 100 juta/bulan, sementara pendapatan dari iklan rata-rata Rp 20-25 juta/bulan. “Saya optimistis, dalam waktu 2-3 tahun setidaknya bisa menutup seluruh biaya operasional,” kata Iwan.

Nada optimistis juga disenandungkan pemilik BMS TV. Stasiun yang bermarkas di bekas bengkel milik salah seorang pemegang saham ini yakin, “Tivine Inyong” ini bisa menarik minat masyarakat setempat dan pemasang iklan. “Modal kami memang mepet sehingga kami harus pandai menyiasati, termasuk menggunakan tempat seadanya dulu,” kata Firdaus Widiawan, Direktur PT Banyumas Citra yang mengoperasikan BMS TV.

BMS TV yang mengudara di channel 49 UHF ini bisa dibilang televisi lokal yang telah mengudara cukup lama. Ia mengudara sejak Maret 2003 dan terakhir telah melakukan siaran rata-rata selama 7 jam, pukul 15.00-22.00 WIB. Namun, belum semua materi siaran merupakan produksi sendiri. Sebagian masih me-relay siaran TPI. “Karena, di Banyumas hanya TPI yang belum bisa diterima siarannya di sini,” katanya berdalih. BMS TV yang mengudara sejak Maret 2003 baru bisa menjangkau wilayah eks Karesidenan Banyumas yang mencakup Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara.

Untuk membangun BMS TV butuh investasi awal tidak kurang dari Rp 1,5 miliar. Dana ini merupakan patungan 5 orang, yakni Firdaus, Hari Subiyakto (mantan anggota DPRD Banyumas), Nuke M. Saleh (mantan anggota DPRD Banyumas), Yukri Nurfian dan Wahyu Sadewo (pengusaha). Menurut Firdaus, investasi itu sebagian besar digunakan untuk membeli infrastruktur dari pemancar hingga kamera. Katanya, dibanding televisi lokal lain, investasi ini mungkin terkecil. Sebab, tidak semua peralatan harus orisinal. “Ada beberapa yang kami bikin sendiri. Kalau ada yang bisa dibandrek, akan kami bandrek,” kata lelaki yang juga direktur CV Cahaya yang bergerak di persewaan peralatan proyek ini.

Firdaus mengakui, meski sudah siaran hampir dua tahun, pihaknya masih terus merugi. Ini karena biaya operasional tidak seimbang dengan pendapatan iklan. Dengan 20 karyawan, biaya operasional per bulan sekitar Rp 30 juta. Sementara pendapatan iklan baru sekitar Rp 15 juta. Iklan yang masuk kebanyakan lokal. Sementara iklan nasional baru satu, yakni sabun BuKrim. “Tapi, saya optimistis,” tandas Firdaus yang menargetkan pihaknya bisa balik modal dalam kurun 5 tahun ke depan. Pasalnya, ia melihat masyarakat dan pengusaha lokal menyambut antusias BMS TV.

Meski masih menombok karena besar pasak ketimbang tiangnya, TATV di Solo juga memilih terus mengudara. Maklum, tak sedikit dana yang telah dikucurkan untuk membeli peralatan siaran yang termasuk paling canggih untuk ukuran TV lokal. Dengan dana Rp 5 miliar, TATV melengkapi peralatan studio dan pemancarnya dengan standar internasional. Ia mencontohkan, harga satu kamera sama dengan mobil Kijang Inova baru. Padahal, jumlah kamera yang dimiliki mencapai 15 unit. “Untuk memperoleh hasil yang bagus, kami memang harus menggunakan peralatan yang memadai, semua dijamin orisinal, tidak ada yang bandrekan,” kata GM Produksi TATV R. Daniel B. Santoso. Masih menurut Daniel, sampai saat ini agaknya hanya TATV yang memiliki mobil OB Van dan Microwave. Dengan peralatan ini, mereka bisa melakukan siaran langsung dari luar studio, kapan pun diinginkan.

Bukan hanya peralatan modern yang dimiliki, stasiun TATV juga memiliki kantor operasional yang cukup representatif. Dibanding televisi lokal yang ada di Ja-Teng, mungkin hanya TATV yang memiliki gedung megah, yang mereka sulap dari gedung gereja, tepatnya Gereja Bethel Indonesia. TATV memang dimotori beberapa aktivis gereja. Salah satunya, Justus Budianto, pendeta yang juga pengusaha Roti Dika yang cukup tersohor di sekitar Solo.

Sementara ini, jangkauan siaran TATV mencapai eks Karesidenan Surakarta yang dikenal dengan kawasan Subosukowonosraten yang meliputi Sukoharjo, Boyolali, Surakarta, Karanganyar, Sragen dan Klaten. Menurut rencana, tak lama lagi akan dibangun pemancar di kawasan Bukit Pathuk, Gunung Kidul, dengan tujuan memperluas cover area hingga mencapai wilayah Provinsi DI Yogyakarta. “Jogja TV saja bisa ditangkap di Solo, masak kami yang di Solo tidak bisa ditangkap di Jogja,” papar Daniel yang lulusan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN Yogya.

Pengelola TATV yakin, stasiun TV-nya bisa tumbuh menjadi televisi yang besar. “Apalagi, jika melihat potensi pasar sekitar Surakarta yang memiliki banyak perusahaan besar berkelas nasional bahkan multinasional, seperti Konimex, Air Mantjur dan Sritex,” ungkap Daniel. Namun, tampaknya TATV masih harus berjuang keras. Pasalnya, sampai saat ini perolehan iklan baru mencapai 10% dan sebagian besar iklan lokal. Namun yang membanggakan, sudah ada beberapa iklan nasional yang masuk seperti Pepsodent dan Deltomed. Perolehan iklan ini tentu belum imbang dengan biaya operasional yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan.

Meski TV lokal terlihat masih megap-megap, bukan berarti tanpa harapan. Seperti diutarakan Ishadi SK. “Saya percaya, sebagian pemasang iklan akan lari ke daerah jika TV lokal memiliki magnitude kuat,” katanya. Karena itu, ia menyarankan pengelola TV lokal bersabar dan tekun, serta mengelola bisnisnya secara baik dan sehat. “Pasti berhasil,” tambahnya. Optimisme Ishadi ini sepertinya menjadi oasis bagi pemilik TV lokal yang saban bulan harus menyuntikkan dana untuk operasional.

Hanya saja, Ishadi menyayangkan sikap ketidakhati-hatian pemilik TV lokal yang mengibarkan stasiun TV tanpa melakukan penelitian mendalam. Seperti kondisi perekonomian daerah setempat, profil pemirsa, profil pemasang iklan, sampai keputusan siaran sekian puluh jam. Karena itu, ia khawatir produknya menjadi asal-asalan sehingga tidak disukai pemirsa yang berdampak pada pemasangan iklan. “Pemirsa sudah terbiasa dengan standar kualitas siaran nasional,” tambahnya.

Ishadi sendiri menengarai, maraknya TV lokal ini boleh jadi karena adanya semangat para pengusaha yang ingin membangun iklan-iklan lokal atau menarik iklan nasional ke lokal atau sekadar mencari peluang, misalnya menjual kembali frekuensi yang telah dikantongi. “Karena frekuensi makin lama harganya makin mahal atau menunggu diberlakukannya UU Penyiaran di mana stasiun pusat harus bekerja sama dengan TV lokal,” paparnya. UU Penyiaran No. 32/2002 tentang penyiaran memang memicu kelahiran TV-TV lokal. Hanya saja, tanpa kekuatan iklan, impian TV lokal untuk menyapa pemirsa dengan sentuhan lokal sekadar mimpi. Pasalnya, sampai kapan akan nombok terus?

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved