Listed Articles

Simon, Juragan Kain Lenan Eksklusif

Oleh Admin
Simon, Juragan Kain Lenan Eksklusif

Rumah di sebelah barat Alun-alun Kidul Keraton Yogyakarta itu sebenarnya juga berfungsi sebagai show room atau butik yang menyediakan kain khusus lenan. Namun tak seperti laiknya butik, di sana cuma terpajang beberapa lembar kain. Itu pun baru kelihatan bila ada tamu. Bila tak ada yang datang, otomatis tak ada pula pajangan di situ. “Ini sebenarnya belum jadi, tapi saya pasang karena Anda datang,” kata Simon Juke Setijoko, pemilik rumah yang asri itu kepada SWA, terus terang.

Lelaki kelahiran 29 November 1962 ini memang tak sempat memajang hasil produksi perusahaannya di ruang pamer tersebut. Bukan karena tak mau, tapi memang tak ada yang bisa dipamerkan. Soalnya, untuk melayani permintaan pemesan saja, ia sudah kehabisan stok. Saat ini kain lenan produksinya memang menjadi incaran, terutama oleh kaum Hawa yang berselera tinggi dalam hal fashion. Beberapa perancang mode papan atas tercatat menjadi pelanggan tetapnya. Mereka, antara lain, Ramli, Chossy Latu, Carmanita, Samuel Wattimena, Ghea Panggabean dan Musa Widyatmoko. Bahkan, orang-orang dekat Istana, seperti Guruh Soekarno Putra dan Puan Maharani Megawati Soekarnoputri, juga menggemari produk buatan Simon. Selain itu, masih ada orang-orang penting semacam Rini M.S. Soewandi (Menperindag), Pia Alisyahbana (Grup Femina), dan beberapa istri pejabat dan mantan pejabat yang menjadi pelanggannya, misalnya Ny. Uga Wiranto dan Ny. Bibit Waluyo.

Produk buatan Simon diberi merek Lenan Pearl of Silk -? ini sekaligus dijadikan bendera perusahaan. Salah satu faktor yang menjadikan produk ini eksklusif adalah penggunaan bahan baku sutra pilihan yang dikenal dengan bombixmory alias sutra murbei. Simon juga menggunakan bahan baku wildsilk atau sutra liar. Selain bahan bakunya eksklusif, proses produksinya juga bukan kodian (massal). Proses produksinya tak menggunakan mesin. ?Hampir seluruh proses produksi dilakukan dengan cara tradisional alias handmade,? Simon menjelaskan dengan tenang. Juga untuk menenun? ?Ya, untuk menenun kami menggunakan ATBM (alat tenun bukan mesin). Begitu pula proses sulaman. Semuanya dilakukan dengan manual, tanpa menggunakan mesin,? paparnya meyakinkan.

Cara produksi seperti itu memang membawa konsekuensi yang tak ringan. Lihat saja, untuk memproduksi kain berukuran 230 cm x 90 cm bisa membutuhkan waktu empat bulan. Waktu terbanyak dihabiskan untuk menyulam, membatik dan memberikan pola. Ini bisa makan waktu 2?3 bulan. Lalu, masih ada lagi proses penenunan yang bisa menghabiskan waktu satu bulanan. Simon Lenan, begitu ia dijuluki, kini hanya berkonsentrasi memproduksi kain dan selendang. Produksi kemejanya yang dianggap tak menguntungkan, sudah dihentikan.

Alumni Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari Bandung ini merintis bisnis kain lenan pada 1996, dengan kendaraan Lenan Pearl of Silk. Awalnya, cuma sebagai hobi yang dikembangkan dari kegemarannya mengoleksi kain kuno, termasuk kain neneknya yang berumur puluhan tahun. Lalu, ia belajar menenun secara otodidak dan melakukan survei ke para penenun tradisional di berbagai daerah. Dari upaya itu, Simon menemukan berbagai motif tenun dari seluruh penjuru Tanah Air. Begitulah, dengan menyewa tempat di kawasan Prambanan dan dibantu empat karyawan, ia memproduksi kain selendang dan kemeja lenan. Namun, pasar rupanya tak bersahabat dengan produknya. Dua tahun lebih memasarkan produknya secara door-to-door, dari satu pengusaha ke pengusaha lain, tak ada hasil. Bahkan, pemasaran ke Pulau Dewata pun tak berbuah. ?Mereka langsung menolak, ketika akan saya perlihatkan barang buatan kami,? ujarnya mengenang.

Akibat sepinya sambutan pasar itu, barang produksinya terus menumpuk di gudang dan uang tak masuk. Karyawan makin tak betah dan satu per satu meninggalkan Simon. Toh, laki-laki ini pantang menyerah. Ia malah memutuskan menekuni usahanya lebih fokus lagi. Maka, ia pun rela meninggalkan pekerjaannya di perusahaan mebel. Tak hanya itu, semua barang miliknya ikut dijual untuk mengembangkan usaha. Namun, Dewi Fortuna belum juga berpihak padanya. Sampai akhirnya Simon nekat menjual tiga rumahnya (dua di Bandung dan satu di Madiun).

Dari penjualan ketiga rumah tersebut, Simon mendapatkan tambahan modal sekitar Rp 500 juta, sebagian dipakai untuk menutup utang. Namun di balik kenekatannya itu, ia mengaku bisa membaca keinginan pasar bahwa yang dibutuhkan adalah produk yang lain dari yang lain. Karenanya, ia memutuskan memproduksi kain berbahan baku sutra murbei dan sutra liar yang disulam dan diberi warna lembut.

Ambisinya menciptakan kain yang benar-benar eksklusif kemudian memang terwujud. ?Saya bertekad tidak akan menciptakan satu motif lebih dari satu lembar. Ini memang bukan produk massal. Karena itulah, saya tidak pernah menggunakan mesin untuk menyulam. Tak ada satu pun penggunaan mesin, kecuali untuk menjahit,” kata bapak tiga anak ini meyakinkan.

Meskipun yakin dengan produknya, Simon masih menghadapi masalah pemasaran. Namun, pengalaman pahit yang panjang membuat insting bisnisnya terasah makin tajam. Ia lalu menghubungi desainer kondang dari Bali, Tina Gondo. ?Kebetulan ketika itu, saya baru saja membaca profil Tina Gondo dari harian ibukota. Berbekal alamat yang tercantum di koran tersebut, saya langsung meluncur ke Bali,? tuturnya bersemangat. “Melihat wajah Tina yang bersahaja dalam foto, saya yakin dia bersedia menemui saya,” tambah Simon mengenang.

Gayung benar-benar bersambut. Tina terpikat pada kain yang dibawanya. Malah, Simon diminta mengikuti pameran fashion di Bali Intendance tahun 2001. Jalan makin terbuka, ketika dalam pameran itu produknya memikat beberapa desainer kondang dari Jakarta. Bahkan, Itang Yunaz langsung mengajak Simon bekerja sama. Begitulah, kain lenan produknya mulai melenggang, menghiasi berbagai ajang fashion show tingkat nasional. Nama Simon mulai akrab di kalangan perancang mode terkemuka di Tanah Air. Kain lenan produknya digunakan sejumlah desainer buat rancangan mereka.

Untuk mendapatkan kepercayaan dari para desainer tersebut, Simon memang mendatangi mereka satu per satu. Hampir semuanya memberikan penilaian yang cukup bagus terhadap kain lenan buatan dia. Anehnya, sementara nama Simon semakin dikenal di kalangan perancang mode kondang Indonesia, di kalangan desainer lokal Yogyakarta sendiri namanya belum begitu berbunyi. Ini diakui Simon. “Saya memang belum begitu dikenal di Jogja, karena konsentrasi saya justru memasarkan ke luar Jogja,” katanya jujur.

Kini, Simon boleh merasa bangga, kain lenannya dicari orang-orang penting. Karyawan yang diserapnya pun mencapai 80 orang. Selain orang-orang top di Jakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hemas tercatat menjadi pelanggan tetapnya. Bahkan, produknya sudah menjelajah ke beberapa negara, seperti Jepang, Arab, Kuwait, Aljazair dan Australia. Hanya saja, kain itu, seperti diakuinya sendiri, terbang ke mancanegara masih sebagai oleh-oleh, lantaran ia belum mengekspornya. “Saya belum bisa ekspor, karena untuk memenuhi pesanan di sini saja masih kewalahan,” katanya polos.

Simon tak mengada-ada. Kini mendapatkan kain buatannya tidaklah mudah. Paling tidak harus rela menungu sebulan. Bahkan, ada yang berani membayar lebih dulu alias inden. “Paling cepat satu bulan pesanan baru bisa rampung, karena prosesnya memang rumit,” ujarnya. Padahal, buat kebanyakan kantong wanita Indonesia, harga yang dipatok Simon buat kain lenannya lumayan mahal. Sehelai kain berukuran 230 cm x 90 cm saja, harganya bisa mencapai Rp 2-3 juta.

Toh, menurut Simon, harga itu memang pantas buat produk kain lenannya yang luks. Bahkan, bisa dibilang murah bagi kalangan atas yang memang menjadi sasaran bidikannya. Apalagi, jika diingat prosesnya yang rumit dan memakan waktu. Simon mengaku sampai saat ini belum berencana menambah karyawan guna meningkatkan kapasitas produksi, meski pesanan berlimpah. Menurut perhitungannya, kemampuan karyawan yang ada saat ini sudah maksimal. Sementara mendidik karyawan, tidaklah gampang. “Sebelum masuk, mereka harus kami training dulu agar bisa menghasilkan sulaman yang baik. Dan itu perlu waktu,” ujarnya. Bagaimana dengan persaingan? “Terus terang, Mas, banyak orang yang bisa menyulam. Tapi, meniru seperti ini susah sekali. Jadi, saya tidak takut bersaing,” jawabnya penuh percaya diri.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved