Listed Articles

Strategi Masako 'Membumbui' Pasar Indonesia

Strategi Masako 'Membumbui' Pasar Indonesia

Sebagian besar masyarakat tentu ingat dengan tagline ‘Masak ya Masako’. Wajar memang. Iklan bumbu penyedap Masako begitu mengena dan mudah diingat. Lalu, apa lagi kiat sukses PT Ajinomoto Sales Indonesia (ASLI) untuk ‘membumbui’ dapur Indonesia?

ASLI sebagai produsen Masako sudah hadir 1969 atau sudah 42 tahun. “Awalnya kami hanya menjual bumbu Ajinomoto saja,” ujar Taro Komura, Presdir ASLI. Namun Masako baru hadir setelah 20 tahun kemudian pada 1989. Di Jepang, Ajinomoto mengeluarkan jenis bumbu Masako pada 1960. “Tapi, bumbu Masako di Jepang sangat berbeda dengan Indonesia karena orang Jepang suka kaldu iklan dan di Indonesia, masyarakat suka kaldu ayam dan sapi.”

Di Jepang, bumbu sejenis Masako nama mereknya Hondashi. Jadi Ajinomoto mengeluarkan bumbu sejenis Masako juga di negara lain dengan merek berbeda. Thailand, Vietnam dan negara lain sudah memiliki bumbu sejenis Masako. Merek yang berdasarkan asal kata negara tersebut.

“Itu tergantung pada budaya lokal masing-masing negara, ada yang suka rasa ayam, sapi ada juga yang suka sedangkan daging babi di negara lain,” imbuhnya. Ajinomoto mengikuti kesukaan konsumen di negara tersebut dalam setiap produknya.

Lalu kenapa di Indonesia bernama Masako? Sambil tersenyum, Komura menjelaskan itu diambil dari kata “masak” yang dikenal sebagai kata kerja mengolah bahan makanan. Namun karena itu merupakan kata dasar di kamus bahasa Indonesia, maka digunakanlah tambahan huruf “O” dibelakangnya, jadilah Masako. “Kalau pakai Masak saja, tidak bisa registrasi, terlalu umum,” tutur pria yang sudah 22 tahun bekerja di Ajinomoto itu.

Berbicara soal proses pemasaran, Komura tidak pelit berbagi tips. “Kekuatan kami pada salesman. Karena itu, pada waktu awal luncurkan Masako, kami manfaatkan jaringan sales grup itu,” katanya. Tes rasa adalah cara terbaik untuk menunjukan rasa Masako yang asli dari kaldu sapi atau ayamnya. ASLI saat ini memiliki karyawan 1700 orang. “Sebagian besar adalah bagian penjualan,” imbuhnya.

Pada 5 tahun pertama sejak dikeluarkan Masako, masyarakat Indonesia belum terlalu paham produk ini. Namun pada tahun akhir 90an barulah terlihat hasil edukasi yang intens dari ASLI pada Masako. “Negara lain pun memakan banyak waktu dalam memperkenalkan varian bumbu masak baru seperti Masako,” tuturnya.

Mengingat target pasar adalah ibu rumah tangga yang menggunakan produk tersebut untuk masakan atau makanan yang dikonsumsi keluarganya, tak heran jika membutuhkan waktu untuk menumbuhkan kepercayaan akan produk tersebut. “Para ibu rumah tangga itu mengumpulkan pendapat dari ibu rumah tangga lain, jadi dia akan menggunakan opinion leader yang mereka dengar, seperti dari teman-temannya,” jelasnya.

Ia memandang salah satu strategi yang paling penting terkait keberhasilan pasar Masako adalah strategi harga. Hal ini juga terjadi bukan hanya di Indonesia, ujarnya, namun juga untuk negara lain. “Sebab sasaran Masako, bukan hanya untuk mereka di kelas A atau B, apalagi filosofi kami produknya harus bisa dijangkau semua orang, jadi harganya harus diterima semua pasar,” Komura beralasan. Dibanding pesaing, Masako memang lebih murah Rp 300 per sachet ukuran 7,5 gr. Pada tahun 1989 bahkan harganya hanya Rp 100 per sachet.

Untuk menjaga engagement dengan konsumen, ASLI tiap beberapa tahun selalu memperbaiki rasa. Riset dan pengembangan (R&D) pun dilakukan dengan sangat detil setiap tahun. Pihak ASLI menyadari level kepuasan konsumen dari waktu ke waktu meningkat, begitu juga dalam bumbu masak. “Isinya memang rahasia, mohon maaf, tapi tiap beberapa tahun kami perbaiki. Ini tidak disadari secara langsung oleh konsumen namun mereka akan merasakan kualitas produk terbaik kami,” katanya. (Acha)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved