Bukan Sugianganto Budisuharto namanya kalau tidak cerewet tanya ke sana-sini mengenai hal yang belum dia kuasai. Termasuk informasi tentang seluk-beluk beberapa instrumen investasi. ?Jangan malu tanya agar tidak kejeblos dalam berinvestasi,? ujar eksekutif yang lebih familier disapa Budi, yang punya alasan tersendiri dalam hal ini. Dia menyebutkan, mencari uang itu susah, jadi mesti hati-hati kalau mau tanam modal walau dengan iming-iming apa pun.
Setelah melewati pertimbangan matang dengan bantuan beberapa pihak yang dianggapnya piawai soal investasi, Budi melirik properti dengan porsi 40%-45%, unit link 25%, reksa dana 15%, direct investment 5%-10%, sisanya di deposito dan tabungan.
Ketertarikan Budi investasi properti berangkat dari keyakinan bahwa instrumen ini tidak pernah berisiko rugi. Menurutnya, hanya orang bodohlah jika sampai rugi gara-gara main properti. Bagi Sarjana Ekonomi dari Universitas Parahyangan ini, strategi pilih properti, mesti dirumuskan dulu tujuan peruntukan properti itu. Untuk dijadikan tempat tinggal, disewakan ataukah diinvestasikan buat beberapa waktu lamanya. Andaikan untuk dijual lagi ia memasukkan faktor feng shui, seperti menghindari lokasi tusuk sate atau nomor urut empat yang dianggap pembawa sial.
Tahun 1983 adalah pengalaman pertama ia menyentuh properti dengan membeli rumah di Bandung. ?Mulanya saya tidak berpikir itu sebagai investasi. Yang penting duit bekerja untuk saya sebagaimana yang diajarkan Robert T. Kiyosaki,? kata Deputi Presdir dan Chief Marketing Officer AIG Lippo Life itu.
Setelah rumah di Bandung, ia merambah bentuk properti lain. Kini, properti yang dimilikinya: tanah satu kavling dan empat rumah di Lippo Karawaci, satu kondominium di Lippo Sudirman, tanah di Lembang, dua ruko (di Serpong dan Karawaci)
Pria kelahiran Semarang, 20 Desember 1958 itu bercerita, tanah di Lembang (Jawa Barat) dibeli dengan harga Rp 30 ribu per tumbak (satu tumbak lebih dari 1 m2) pada 1999. Kebetulan, modalnya dari keuntungan selisih kurs tajam rupiah terhadap US$ pada 1997-98. Untuk urusan beli tanah, ia berprinsip: kalau bisa tanah itu harganya tumbuh paling tidak 50% dalam tempo 3-4 tahun. Caranya? Cari tanah yang pada 3-4 tahun lalu harganya terkoreksi 70% dari harga pasaran sekarang.
Sementara itu, untuk investasi ruko, ia meniru strategi kawannya, yaitu membeli saat harga properti turun dengan cara kredit KPR. Lalu, ruko itu disewakan dan uang sewa digunakan untuk mencicil angsuran KPR. Setelah harga properti naik, segera dilepas.
Keranjang investasi Budi lainnya berupa investasi langsung dengan cara menyertakan saham atau modal ke beberapa usaha. Pertama, investasi agrobisnis berupa kebun lengkeng di Cina. Dimulai tahun 2000, ia tertarik ajakan teman untuk membeli dua kavling kebun. Ia tidak asal tubruk dengan menaruh duit jauh-jauh ke Negeri Tirai Bambu itu. Setelah mendapat kepastian masalah legalitas, didampingi pengacara, dan survei kelayakan investasi itu barulah diputuskan transaksi. Berdasarkan hasil survei, ternyata perusahaan investasi agrobisnis Cina itu sudah mengantongi izin konsesi dari pemerintah setempat selama 50 tahun. Sementara itu, hasil investasinya di atas 10%/tahun dalam mata uang US$. Namun, return baru bisa dinikmati setelah masuk tahun ketiga. Bertambah tahunnya, besarnya return semakin tinggi. Budi pun bertambah optimistis setelah mengetahui perusahaan tadi meraih ISO serta ditunjuk sebagai pemasok lengkeng untuk Wal-Mart di Amerika Serikat. Tak pelak, pada 2002, ia menambah lagi dua kavling kebun.
Kedua, investasi langsung di agrobisnis lokal milik kenalannya yang kebetulan sarjana pertanian. Jenisnya membudidayakan buah-buahan dan sayuran. Budi menjelaskan, dalam investasi agrobisnis, asalkan dijalankan dengan benar, return 100%-200% dalam setahun bukanlah omong kosong. Hanya saja, dalam dua tahun pertama belum dapat memetik hasil. ?Tapi kalau ingin bermitra, harus kenal betul orang yang mau diajak bermitra. Sebab, kalau tak kenal bisa celaka,? ayah dua anak ini mengingatkan.
Dalam memutar duit, Budi pun merambah unit link yang mencapai 25% portofolionya. Ia membeli unit link baik dalam rupiah maupun US$. Budi mengungkapkan, unit link bersifat fleksibel, karena bisa pindah dari fixed income ke saham atau sebaliknya. Ketika indeks lagi bagus, maka porsinya 70% saham dan 30% fixed income. ?Saya tahu jelas tentang investasi ini, jadi tidak ragu dengan porsi dana yang besar,? ujar Budi yang juga memiliki beberapa polis asuransi untuk keluarga. Tak heran, kalkulasi dan analisisnya jarang meleset. Lihat saja, rata-rata kinerja unit link pilihannya sangat memuaskan. Awal November 2000 dan 2001 ia menuai return masing-masing naik 100%, sedangkan pada 2002 kinerjanya unit linknya tumbuh di atas 50%.
Adapun di reksa dana yang porsinya sekitar 15% portofolionya, Budi memilih reksa dana pendapatan tetap yang mayoritas dalam US$. Return reksa dana US$ yang digenggamnya rata-rata 6%-7%/tahun, sedangkan reksa dana rupiah di atas 10%. Namun, untuk deposito dan tabungan yang alokasinya 5%-10%, mantan guru matematika di sebuah SMA di Bandung ini menjelaskan, seluruhnya dalam bentuk rupiah.
Dari seluruh investasi yang dibenamkan, Budi mengaku properti paling banyak mencetak untung. Kisaran return yang ia nikmati 10%?500%. Kuncinya, ia menghindari kawasan perumahan yang developernya masih punya stok tanah sangat luas, meski telah banyak fasilitas umum yang dibangun. Sebab, ini membuat harga di pasar sekunder stagnan. Pemicunya orang lebih tertarik beli rumah baru ketimbang bekas pakai, karena si pengembang masih terus-menerus melakukan pembangunan. Ini dialami ketika beli rumah di kompleks perumahan di Tangerang, ia cuma untung 10% dalam 6 tahun. Sementara itu, untung di atas 500% dialami ketika beli rumah di Lippo Karawaci tahun 1993 dengan harga kurang dari Rp 150 juta, dan kini harga pasaran rumah itu mencapai Rp 900 juta.
Ibarat sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu gawal juga. Itulah pengalaman getir investasi yang dialami Budi. Tatkala masih muda ia pernah kepincut main saham, tapi akhirnya babak belur. Toh, ia tidak frustrasi, sebab sejak awal ia sadar, modal untuk main saham harus benar-benar uang nganggur. Dengan demikian, bila merugi tidak memengaruhi cash flow pribadi. ?Tahun 2000 saham saya stop, karena saya tidak punya cukup waktu untuk memonitor,? papar sulung dari dua bersaudara ini.
Kelak, ia meyakini teori bahwa dengan bertambahnya umur seseorang biasanya bergerak dari kubu agresif ke konservatif. Itulah sebabnya, karena termasuk tipe investor konservatif, Budi pun bakal makin berhati-hati dalam berinvestasi.