Listed Articles

Tegar di Meredupnya Pamor Cibaduyut

Oleh Admin
Tegar di Meredupnya Pamor Cibaduyut

Bertamasya ke Bandung yang juga dijuluki Parisj van Java di era 1980-an, rasanya tak lengkap kalau tidak singgah di Cibaduyut, pusat belanja sandal dan sepatu kulit. Sayang, pamornya belakangan terus memudar, terlebih setelah makin bertebaran toko factory outlet di berbagai sudut Kota Kembang itu. Namun, di tengah meredupnya pamor Cibaduyut, ada satu toko yang sampai sekarang masih bertahan, bahkan tak pernah sepi pengunjung, terutama di akhir pekan. Namanya Toko Oval. Menempati lahan seluas 10 ribu m2 dan luas bangunan 1.500 m2, Oval tampak paling megah dibanding toko-toko lain di Cibaduyut. Item produknya pun jauh lebih banyak.

Adalah H. Sambas Sulaiman yang mengawali usahanya dengan mendirikan toko kecil di Jl. Raya Cibaduyut 142 itu pada 1987. Kala itu, Cibaduyut sebagai sentra sepatu dan sandal kulit memang sedang booming. ?Toko saya hanya 150 m2,? kenang pria kelahiran 45 tahun lalu itu. Nama Oval dipilih karena ia menilai bentuk oval atau lonjong itu cantik dan sesuai dengan karakter wanita. Tokonya memang menyasar konsumen kaum Hawa pada waktu itu.

Setahun setelah didirikan, Sambas memberanikan diri melebarkan tokonya hingga 1.500 m2. Dana ekspansi didapat dari pinjaman Bank Exim (kini dimereger ke Bank Mandiri) senilai Rp 35 juta, plus modal sendiri. Maka, tokonya menjadi salah satu toko terbesar di Cibaduyut. Keberaniannya mengambil langkah ekspansi bukan sekadar mengikuti ambisi pribadi menjadi yang terbesar saat itu. Alasannya, selain Cibaduyut sedang booming, penjualan tokonya memang terus meningkat. ?Waktu itu omset Toko Oval mencapai Rp 360 juta per tahun,? ungkap tamatan SMA ini.

Sambas juga memiliki visi jangka panjang terhadap tokonya, dan bukan sekadar menjual sepatu. Hal ini diakui Jahja B. Soenarjo, Chief Consulting Officer Direxion Strategy Consulting, bahwa Toko Oval tergolong sukses karena toko inilah yang pertama kali mempraktikkan konsep ritel yang lebih modern.

Seperti dituturkan Sambas sendiri, ia berusaha menerapkan prinsip pemasaran dalam menjalankan usahanya. Misalnya, produk yang ditawarkan di tokonya harus sesuai dengan pangsa pasar dan apa yang diinginkan konsumen, serta fokus pada apa yang telah dijalani. Dalam hal servis, ia paling tegas berprinsip, konsumen tidak boleh diabaikan sedikit pun. ?Saya paling marah kalau ada anak buah yang melalaikan konsumen,? tuturnya. Semua itu ia jalankan sejak awal usahanya. Hingga kini, ia pun memiliki slogan 3 S dalam melayani konsumen yang merupakan singkatan: Senyum, Sapa, Servis.

Menghadapi ganasnya persaingan di Cibaduyut, Sambas punya jurus jitu. Yakni, untuk memonitor harga pasar, ia menggunakan kontrol konsumen. Caranya, dia menjanjikan akan mengembalikan uang pelanggan jika produk yang dijual di tokonya lebih mahal daripada toko lain. ?Di Cibaduyut banyak toko sepatu. Saya tak mungkin menyebar petugas survei untuk memeriksa harga pasar. Cara ini paling efektif untuk mengetahui harga pasar,? papar ayah empat anak ini.

Seiring perkembangan toko, keragaman produk yang dijual di tokonya pun ditambah. Belakangan, bukan cuma pasar wanita yang disasar, sepatu dan sandal untuk lelaki juga dapat ditemui di sana. Selain sepatu dan sandal, Oval juga mulai menjual tas (dari tas kantor sampai tas aksesori), ikat pinggang dan dompet. Namun, diakui Sambas, hingga kini sepatu masih menjadi konsentrasi bisnisnya karena sepatu berkontribusi sekitar 60% total penjualan tokonya.

Toko Oval lalu dikembangkan ke berbagai wilayah, hingga memiliki 6 cabang. Sayangnya, menjelang krisis hingga kini, tinggal dua cabang saja (di Bandung dan ITC Mangga Dua, Jakarta). ?Toko saya di Tangerang sempat kena jarah dan toko lainnya sulit dapat untung,? ungkap Sambas. Penutupan toko-toko itu (dua di Jakarta, satu di Makassar dan satu lagi di Tangerang), menurut Sambas, karena biaya produksinya dinilai terlalu besar.

Untuk mempertahankan bisnisnya, Sambas mengambil subkontrak pembuatan sepatu merek terkenal. ?Mereka pesan tanpa merek, lalu mereka memberi merek sendiri,? kata Sambas yang tidak bersedia menyebutkan merek apa saja itu. Para perajin yang diajak kerja sama oleh Sambas, tinggal mengikuti desain dan aturan produk yang ditetapkan. Para perajin ini boleh mensubkontrakkan lagi ke perajin lain (istilahnya maklun), tapi mereka harus mematuhi aturan kerja agar produk yang dihasilkan sesuai yang diharapkan. Saat ini, Sambas membina 20 kepala perajin dengan tiap kepala membawahkan 15-30 perajin, sehingga total sekitar 300 perajin. Adapun karyawan tokonya sebanyak 50 orang. Pada hari Senin, para maklun itu datang padanya mengambil order, pada hari Rabu hingga Sabtu mereka bisa menyerahkan barang, lalu memperoleh bayaran sesuai dengan barang yang disetorkan.

Begitu terkenalnya nama Oval di jajaran pelaku bisnis sepatu Cibaduyut, mendorong Sambas mengembangkan pasar subkontrak tersebut. Perusahaan yang ingin mensubkontrakkan pembuatan produknya langsung datang ke tokonya. ?Kebanyakan dari mulut ke mulut,? tuturnya. Meski begitu, Jahja mengingatkan, untuk bisa bertahan, langkah konkret pemasaran lainnya harus dilakukan Sambas. ?Branding Oval harus diperbaiki dan diperkuat. Bisa sebagai tempat atau toko saja seperti selama ini, atau bisa juga sebagai product brand,? saran Jahja.

Sebenarnya, Jahja menambahkan, boleh juga bila Oval memiliki house brand sendiri dengan merek Oval. Misalnya, seperti yang dilakukan Buccheri, produsen sepatu yang memiliki merek dan jaringan gerai sendiri, tetapi menjual juga berbagai merek lain. Bila sebagai toko, lanjut Jahja, Oval berpeluang mengembangkan jaringan toko ala Buccheri atau Istana Sepatu yang gerainya sampai ke luar pulau. Semua produk disuplai dari pusat, apa pun mereknya. Namun, sebelum memulai pengembangan toko yang lebih luas, Oval perlu memperbaiki konsep ritelnya. Visual merchandise-nya perlu diperkuat agar atraktif, tanpa harus mahal. Standar pelayanan tokonya harus ditingkatkan dan lebih profesional, bisa dengan mencontoh gerai fashion.

Produk-produk yang dikembangkan Oval mengikuti model sepatu yang dipesan perusahaan sepatu terkenal, dengan memberikan sedikit modifikasi agar terlihat berbeda. Di samping itu, Sambas rajin melihat berbagai pameran fashion. ?Kadang teman yang pergi ke luar negeri, lihat pameran, bawa sampel produk lalu dimodifikasi oleh perajin saya,? papar Sambas. Terkait hal ini, Jahja menyarankan, agar inovasi diimbangi dengan peningkatan kualitas yang lebih baik sehingga produk akan lebih bernilai.

Sambas pun tidak pernah memberi merek produk buatan sendiri yang dijual di tokonya. Jadi, konsumen hanya mengenal nama tokonya, Oval, yang menyasar segmen pasar kelas menengah. Menurut Jahja, konsep Oval sebenarnya mirip toko tas Elizabeth di Jl. Otista, Bandung, yang sampai saat ini sangat populer.

Brand Oval yang sedemikian kuat menjadikan toko ini tujuan wisata belanja utama wisatawan lokal yang ke Cibaduyut. Agar mereka yang datang dalam bentuk rombongan tidak jauh ke mana-mana, Oval menyediakan lahan parkir ataupun kedai makanan di kompleksnya. ?Oval juga memiliki pasar grosir dari luar daerah yang menjadi pelanggan tetap atau sering kulakan ke Oval. Model-model sepatunya memang banyak juga yang me-too, menembak desain-desain yang laku, tapi dijual dengan harga sangat murah atau same for less,? tutur pengamat pemasaran yang berlokasi di Bandung ini.

Sebelum kriris, produk keluaran Sambas dijual hingga ke Timur Tengah. Sekarang, tak ada pesanan lagi. Kesulitan melempar produknya ke luar negeri, menurut Sambas, disebabkan banyaknya produk Cina yang menyerbu pasar dunia. Adapun persaingan usaha antarpemain Cibaduyut, kini tidak seketat dahulu. Sekarang, Sambas justru harus bertempur melawan produk dari Cina. ?Kami kan jagonya produk kulit, Cina tuh sintetis, jadi ya sebenarnya lebih bagus keluaran Cibaduyut,? katanya bangga. Harga produk yang dijualnya tetap terjangkau kocek konsumen lokal mulai dari Rp 50 ribu hingga hampir Rp 1 juta. ?Kalau libur sekolah, Tahun Baru dan Lebaran, omset bisa tumbuh 15%-20%,? katanya.

Wawan Yasin Sugandi, salah satu rekan bisnis Sambas, mengatakan bahwa banyak pelaku bisnis Cibaduyut secara tak sadar merusak citra sendiri, baik dari segi barang maupun penataannya. ?Sambas sih termasuk yang selalu berkomitmen menjaga citra dan kualitas produk yang dijualnya. Saya juga menaruh sepatu hasil produksi saya di Oval, sebab toko itu kini yang terbesar di Cibaduyut,? ujar pemilik CV Harum itu.

Sejak awal usahanya, ketika tokonya masih kecil, Sambas sebetulnya telah berusaha menerapkan prinsip profesionalisme. ?Uang usaha, ya tidak boleh digunakan untuk pribadi. Kalau saya atau keluarga butuh sepatu, ya harus beli, tidak boleh ambil begitu saja,? katanya. Sambas pun diperlakukan selayaknya profesional yang digaji dengan jumlah tertentu. Jadi, ia tidak boleh mengambil uang seenaknya meski butuh sekali. ?Wah bisa mengurangi modal kalau pakai uang seenaknya,? kata Sambas lagi.

Kini total para perajin yang dibina Sambas masing-masing mampu memproduksi sekitar 5 ribu unit (sepatu, sandal dan tas) per bulan. Diakui Sambas, pengelolaan SDM adalah hal tersulit dalam pengelolaan bisnis. ?Banyak orang yang sudah dididik malah diambil orang lain setelah pintar,? tuturnya. Saat ini, Sambas mengaku sedang dalam proses regenerasi, dengan mendidik putra pertamanya yang masih kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, untuk mengambil alih usahanya kelak.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved