My Article

Apakah Praktisi PR Juga Sudah Merdeka?

Apakah Praktisi PR Juga Sudah Merdeka?

Oleh: Ilham Akbar, Praktisi Public Relations

Ilham Akbar

Baru saja kita merayakan dirgahayu Republik Indonesia yang ke 75 tahun. Tentu saja, 75 tahun merupakan usia yang sudah tidak muda lagi bagi negara kita, artinya kemerdekaan Republik Indonesia kini sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun demikian, di balik kemerdekaan Republik Indonesia, peran public relations atau hubungan masyarakat (Humas) yang jasa-jasanya juga memberikan kontribusi yang paling penting bagi kemajuan bangsa Indonesia justru sering luput dari perhatian kita. Pasalnya, praktisi public relations selalu berperan penting melalui terobosan-terobosan kreatifnya di instansi pemerintahan, BUMN, maupun di perusahaan swasta.

Sejarah mencatat organisasi Humas pertama berdiri di perusahaan perminyakan negara (Pertamina). Organisasi ini berfungsi secara terbatas untuk hubungan masyarakat dengan pihak perusahaan rekanan, pemasok, penyalur dan penggunaan jasa produknya (konsumen). Tahun 1962, cikal bakal pembentukan Humas di Indonesia secara resmi lahir melalui Presidium Kabinet PM Juanda, yang menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah harus membentuk bagian/divisi Humas (Ruslan, 2012: 46-47).

Seiring berjalannya waktu, peran public relations kini semakin dianggap strategis oleh semua pihak, karena public relations kini menjadi profesi yang benar-benar berperan penting bagi jalannya suatu pemerintahan, BUMN, maupun perusahaan swasta. Public relations sering kali menjadi pahlawan di belakang panggung ketika organisasi tempat ia bekerja mempunyai kesuksesan yang luar biasa. Praktisi public relations juga sering kali memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar organisasinya melalui kegiatan sosial, dan karena jasa praktisi public relations lah organisasi yang awalnya dikenal sebagai suatu organisasi yang represif, berubah menjadi organisasi yang responsif dan persuasif.

Selain itu, mungkin masih banyak lagi peran dari praktisi public relations yang sangat ajaib dan mampu mengangkat reputasi dari organisasinya, namun peran tersebut jarang diketahui oleh publik. Kendati demikian, yang patut dipertanyakan lagi, ketika semua peran public relations membantu organisasinya supaya berkontribusi terhadap kemajuan negara Indonesia, apakah praktisi public relations juga sudah memiliki kemerdekaan dalam menjalankan programnya untuk mengabdi kepada kepentingan publik? Dan, apakah peran praktisi public relations sudah benar-benar tidak menerima intervensi dari top management? Hal ini lah yang sebenarnya harus diketahui oleh publik.

Tolok Ukur Kemerdekaan Public Relations

Ketika membahas mengenai kemerdekaan dari praktisi public relations, maka tolok ukur kemerdekaan dari praktisi public relations pun harus diketahui terlebih dahulu. Kemerdekaan pada dasarnya adalah keadaan ataupun situasi di mana seseorang, organisasi, ataupun negara sudah tidak dijajah oleh pihak lain. Sementara, kemerdekaan bagi praktisi public relations adalah di mana praktisi public relations tidak dijajah, ataupun diintervensi oleh pihak lain.

Tolok ukur kemerdekaan public relations, pertama kali dipraktikkan oleh seorang yang bernama Ivy Ledbetter Lee. Pada waktu itu Lee, seorang wartawan surat kabar, mencermati timbulnya pemogokan para pekerja yang mengancam kelumpuhan industri batubara itu, menyebabkan munculnya gagasan pada benak Lee untuk menengahinya dengan berbagi keuntungan kedua belah pihak, yakni para industri dan para pekerja.

Lee mengajukan gagasan kepada pimpinan industri batubara dengan persyaratan ia diberi kedudukan dalam manajemen puncak (top management), ia diberikan wewenang penuh untuk menyebarkan semua informasi faktual yang patut diketahui rakyat. Tawaran Lee tersebut diterima oleh pengambil keputusan di perusahaan tersebut. Pemikiran Lee dalam melakukaan pekerjaannya sebagai seorang PR dinamakan declarations of principle (Soemirat dan Ardianto, 2012: 9).

Kiranya itulah gambaran kemerdekaan bagi praktisi public relations secara substansial. Namun demikian, tak jarang juga kini praktisi public relations justru tidak mendapatkan kemerdekaan yang dialami oleh Ivy Lee. Meksipun kini peran praktisi public relations sering kali berperan penting, namun tak jarang juga praktisi public relations hanya menjadi tumbal ketika organisasi tempat ia bekerja mengalami krisis yang sangat akut. Terkadang praktisi public relations dipaksa untuk membatasi informasi, terkadang juga praktisi public relations selalu disalahkan ketika mengeluarkan pernyataan yang memantik publik untuk menjadikan krisis tersebut sebagai perbincangan yang hangat.

Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, tidak jarang juga peran praktisi public relations bukan ditempatkan sebagai penasihat atau problem solver, tapi hanya berperan sebagai pelaksana yang setiap harinya menerima instruksi dari pihak manajemen. Praktisi public relations juga terkadang sering menutup informasi dengan sangat rapat, sehingga ketika wartawan ingin melakukan wawancara, terkadang praktisi public relations sering menolaknya. Hal ini merupakan kisah-kisah praktisi public relations yang justru jarang didengar oleh publik, namun terkadang terjadi i negara kita.

Hambatan Encroachment

Encroachment secara harfiah dapat diartikan mengambil alih kewenangan orang lain. Dalam organisasi pengambilalihan (encroachment) ini dapat terjadi, ketika pimpinan organisasi mempekerjakan, mempromosikan, atau memindahkan individu dari beberapa departemen dan/atau profesi lain di luar departemen (Kiyantono, 2017: 269). Hambatan lain yang sering menjadi faktor mengapa praktisi public relations di Indonesia belum merdeka adalah karena adanya encroachment.

Terkadang departemen Humas atau public relations yang ada di pemerintahan, BUMN, maupun perusahaan swasta diisi oleh orang-orang yang justru bukan mempunyai ahli pada public relations, misalnya orang yang ahli dalam bidang teknik mesin dipindahkan di divisi public relations, orang yang ahli dalam bidang keuangan juga ditempatkan di divisi public relations. Hal itulah justru yang menghambat kemerdekaan public relations menjadi tidak jelas. Ketika orang yang belum mengetahui pekerjaan public relations, pada akhirnya ia hanya mengikuti arahan dari atasannya saja. Karena itu, nampaknya kemerdekaan bagi praktisi public relations kini semakin terlihat samar. Mau tidak mau, pada akhirnya praktisi public relations hanya meredeka secara finansial saja, bukan secara substansial.

DAFTAR PUSTAKA

Kriyantono, Rachmat. 2012. Teori-teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ruslan, Rosady. 2012. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi; Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Soemirat Soleh, dan Elvinaro Ardianto. 2012. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosdakarya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved