Column

Demokrasi, Antara Hak dan Kewajiban

Oleh Editor
Ilustrasi (Foto: istimewa).
Ilustrasi (Foto: istimewa).

“Problem besar di dunia adalah orang-orang bodoh dan fanatik selalu tampil penuh percaya diri, sementara orang-orang yang bijaksana selalu penuh keragu-raguan.” ―Bertrand Russel.

Sudah jamak di dunia media sosial, ada orang yang ditangkap aparat, lalu sembari menangis sesenggukan, meminta maaf atas ucapan yang dia lontarkan sebelumnya melalui medsos juga. Padahal, dalam unggahan sebelumnya, bak jagoan tak mempan senjata, dia berbicara dengan semangat menggebu dan gaya menantang.

Dia ditangkap karena ucapannya sudah dipandang “offside”, kelewatan. Menghujat, menghina orang lain dan pejabat pemerintah, menghasut, dan segala ucapan yang merusak kedamaian dan persatuan.

Dan begitulah adanya. Dengan adanya “forum” dunia digital, terbukalah suatu sarana untuk mengekspresikan diri bagi setiap orang dengan tujuan dan gaya masing-masing. Dalam forum itulah, terbit sajian-sajian audiovisual yang sering offside, yang tak kenal tatakrama, memalukan dan merugikan orang lain.

Secara sarkastis, kata Aristoteles, “Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kebebasan adalah penentu aturan.” Artinya, demokrasi = kebebasan tanpa aturan = kebebasan absolut.

Bila ada suatu teguran soal offside itu, para pelaku berdalih, ini adalah bentuk kebebasan sebagai esensi demokrasi, sistem kenegaraan kita. Mereka selalu katakan, itu hak mereka selaku anggota bangsa demokrasi.

Mengenaskan. Demokrasi yang diniatkan mulia untuk menghormati individu sebagai manusia seutuhnya, dijadikan tameng untuk berbuat semau-maunya, yang sama sekali jauh dari penghormatan terhadap etika kemanusiaan.

Padahal, seyogianya, “Demokrasi menyajikan argumen-argumen dalam diskusi sebagai jalan yang benar untuk melangkah ke depan. Inilah mengapa diperlukan penghormatan terhadap opini orang lain sebagai jiwa demokrasi,” kata Richard von Weizsaecker.

Orang sering lupa akan hakikat dasar etika kemanusiaan. Bahwa hukum alam kehidupan menentukan, harus selalu ada harmoni dalam kehidupan. Kehidupan itu selalu berpasang-pasangan. Ada siang ada malam. Ada hujan ada panas. Ada hak ada kewajiban atau tanggung jawab. Hanya bila kita berpegang teguh pada asas harmoni ini, kehidupan akan berjalan aman, tenteram, dan damai.

Namun kembali, yang terjadi adalah penonjolan faktor hak yang luar biasa, overdosis, seakan tiada penyeimbangnya, yaitu kewajiban/tanggung jawab.

Kekeliruan paham ini memang telanjur parah. Idiom bahasa Inggris pun sudah tercemar dalam soal ini. Ada idiom take and give; idiom yang mengarahkan soal take (mengambil, menerima) lebih dahulu daripada give (memberi).

Padahal sejatinya, kembali ke hukum alam, mulai dari kelahiran kita di bumi ini adalah suatu pemberian (gift) dari Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa memberi adalah hal yang lebih utama daripada mengambil merupakan hal yang alami, sebagaimana contoh kelahiran kita.

Atau, kalau dalam dunia bisnis, bank harus memberi dulu uangnya ke debitur sebelum nanti ia memungut bunga. Atau pemegang saham/pemilik modal yang harus lebih dulu mengucurkan modalnya sebagai investasi sebelum ia pada saatnya nanti mendapatkan laba dalam bentuk dividen. Pendek kata, harus give dulu, baru akan ada take.

Ada banyak lembaga dunia dan nasional yang juga hanya mengetengahkan faktor hak sebagai isu utama. Ada human rights issues and institute di pelbagai kelembagaan dunia. Ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dan, banyak lagi lembaga serupa di pelbagai tingkatan dan wilayah.

Namun tak ada seorang pun yang mengajukan soal kewajiban sebagai tanggung jawab asasi manusia. Mengapa demikian? Mengapa belum ada satu pun lembaga kewajiban asasi manusia?

Padahal, benarlah kalimat ini, “Anda tak boleh lari dari tanggung jawab masa depan dengan menghindarinya pada hari ini,” kata Abraham Lincoln. Kita bertanggung jawab alias memiliki kewajiban bagi anak-cucu kita, bagi masa depan mereka. Anak-cucu adalah titipan-Nya yang harus kita pelihara secara baik dan benar.

Penekanan pentingnya kewajiban juga dikatakan sebagai berikut, “Hal-hal yang akan menghancurkan Amerika adalah perburuan kekayaan dengan segala cara, perdamaian dengan mengorbankan apa pun, lebih mengutamakan keselamatan daripada kewajiban dan senang dengan gaya hidup mudah,” kata Theodore Roosevelt.

Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban ini nampaknya berkaitan dengan kedewasaan watak orang-orangnya. Kedewasaan watak atau karakter itu adalah soal sifat baik dan buruk perilaku atau kebiasaan yang bersangkutan. Plato mengatakan, “Orang baik-baik tak perlu hukum untuk mengingatkan mereka bertingkah laku bertanggung jawab. Orang-orang yang buruk akan selalu mengakali cara untuk melanggar hukum.”

Dan, pada dasarnya, pengetahuan mengajarkan kita bahwa agar kita tak termasuk orang-orang yang hanya mementingkan hak dan mengabaikan kewajiban, ada dua filosofi hidup yang wajib kita jalankan secara teguh dalam keseharian kita. Pertama, “Manusia paling mulia adalah ia yang memberikan kemanfaatan paling besar kepada sesamanya”.

Dan kedua, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Kalau Anda tak ingin di-bully orang, jangan mem-bully orang. (*)

Jakarta, 20 Juli 2021

Pongki Pamungkas

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved