Column

Dua Kematian & Duka yang Berbeda

Oleh Editor
Dua Kematian & Duka yang Berbeda
Ilustrasi. Foto: Unsplash
Ilustrasi. Foto: Unsplash

Apa yang Anda rasakan ketika mendengar berita kematian? Saya kira, pertama-tama pastilah terkejut, kemudian berlanjut pada rasa sedih dan kehilangan. Namun, itu semua akan sangat tergantung pada hubungan kita dengan orang yang meninggal tersebut. Semakin dekat hubungan kita dengan orang itu, berbagai perasaan tadi akan terasa semakin intensif.

Kesedihan juga lebih terasa bila yang meninggal seseorang yang kita kenal secara pribadi. Atau seorang tokoh yang kita kagumi, yang memiliki kontribusi bagi orang banyak.

Inilah yang saya rasakan ketika mendengar berpulangnya Buya Ahmad Syafii Maarif, seorang intelektual dan ulama yang sangat saya kagumi, seorang pejuang kemanusiaan yang begitu mencintai bangsanya. Buya meninggalkan kita warisan yang penting, berupa sikap kemanusiaannya yang antidiskriminasi, kesederhanaannya yang luar biasa, juga perhatiannya yang tulus pada sesama manusia.

Namun, selain kesedihan yang mendalam, muncul pula perasaan lain: kagum sekaligus “iri”. Kata iri sengaja saya tulis dalam tanda kutip karena yang saya maksud adalah iri yang bernuansa positif.

Sesungguhnya, dalam bayangan saya, kematian Buya ini adalah kematian yang ideal. Ini boleh dibilang juga adalah cita-cita saya. Inilah bayangan saya mengenai kematian yang indah.

Bagi saya, kematian di usia 80-an adalah kematian yang ideal. Meninggal di usia 60-an untuk manusia masa kini menurut saya masih terlalu muda.

Saya membayangkan ketika berusia 60-an nanti saya masih bisa bekerja dan masih bisa berkontribusi bagi orang banyak, masih menulis buku, masih memberikan sesi-sesi motivasi seperti yang saya lakukan saat ini. Bahkan, saya masih membayangkan melakukan hal yang sama di usia 70-an, tentunya dengan frekuensi yang jauh berkurang. Namun, meninggal di usia 70, menurut saya, masih belum maksimal. Sementara usia 90-an membuat saya merasa canggung dan khawatir.

Selain itu, ketika saya meninggal saya juga ingin melihat anak-anak saya sudah mandiri dan menjadi orang-orang yang berguna bagi masyarakat. Saya juga ingin meninggalkan “warisan” bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Terakhir, saya ingin agar kematian saya tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi didahului oleh sakit yang tidak parah dan tidak lama. Saya juga ingin mengembuskan napas yang terakhir sambil dikelilingi orang-orang tercinta. Semua inilah yang terjadi pada Buya Syafii Maarif. Dan, inilah kematian yang ideal, atau meminjam bahasa sahabat saya, Prof. Komaruddin Hidayat, sebuah wisuda yang cum laude.

Maka, untuk wisuda yang cum laude ini, saya kira pantas pulalah kalau kita memberikan ucapan selamat yang setinggi-tingginya kepada Buya. Bukankah Rasulullah sendiri pernah mengatakan, “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya”?

Namun, ajal sesungguhnya adalah misteri yang tak bisa ditebak. Pada saat yang kurang-lebih bersamaan dengan meninggalnya Buya, seorang anak muda yang baik, cerdas, dan gagah secara mendadak berpulang ke hadirat Sang Pencipta. Dialah Emmiril Khan Mumtadz (Eril), putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang baru berusia 22 tahun.

Kematian Eril ⸺yang tenggelam di Sungai Aare di Bern, Swiss⸺ menimbulkan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, kalau saya boleh membandingkan dengan berpulangnya Buya Syafii, kematian Eril ini bagi saya pribadi terasa lebih menyedihkan dan menyesakkan dada. Padahal, saya baru “mengenal” Eril justru setelah ia berpulang.

Mengapa saya bisa menangisi kematian seorang anak muda yang sebelumnya tak pernah saya kenal? Karena, saya membayangkan anak saya sendiri. Saya mempunyai anak yang seusia Eril. Anak saya ada tiga dengan usia 23 (perempuan), 20 (laki-laki), dan 16 tahun (laki-laki). Kematian seorang anak muda yang sedang gagah-gagahnya adalah sebuah mimpi buruk bagi setiap orang tua. Kematian seperti ini juga tidak sesuai dengan urutan yang biasa terjadi secara alami.

Seorang bijak pernah ditanya seperti apa kematian yang alami itu. Ia menjawab, “Kakek mati, kemudian ayah mati, kemudian anak mati.” Ketika ditanya alasannya, ia mengatakan, “Bila kematian terjadi seperti itu, akan lebih mudah bagi orang untuk merelakannya. Tetapi bila anak yang meninggal lebih dulu, akan sulitlah bagi orang tua untuk melupakan dan menghapus kesedihannya.”

Inilah yang membedakan kematian orang tua dan anak muda. Kematian orang tua, walaupun menimbulkan duka, lebih mudah kita ikhlaskan. Kita sadar bahwa semua ada waktunya, semua ada batasnya.

Namun. ceritanya akan berbeda untuk seorang anak muda seperti Eril. Kematian anak muda yang sedang gagah-gagahnya ini ibarat kiamat bagi kedua orang tuanya. Bagi orang tua, kematian anak yang mendahului mereka itu laksana sebuah harapan yang pupus, ibarat sedang bermimpi indah dan dibangunkan dengan kasar, seperti cinta yang direnggut dan hati hancur berkeping-keping.

Itulah yang saya kira dirasakan oleh Kang Emil dan Mbak Atalia, juga oleh semua orang tua yang ditinggalkan anaknya lebih dulu. Dan, usia seorang anak ketika meninggal boleh jadi merupakan pertanda berapa lama ia akan terus dikenang oleh kedua orang tuanya.

Semoga Allah menguatkan Kang Emil sekeluarga, juga semua orang tua yang mengalami hal yang sama: ditinggalkan anak tercinta yang berpulang menuju Sang Pencipta. (*)

Arvan Pradiansyah ) * Motivator Nasional – Leadership & Happiness

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved