Column

Filosofi Jalan Kaki

Oleh Editor
Filosofi Jalan Kaki
Ilustrasi jalan kaki (Foto Istimewa).

Bekerja dari rumah membuat saya punya sebuah kebiasaan baru: jalan kaki. Awalnya, saya jalan kaki 5 km setiap hari —waktu itu saya masih bisa berolahraga di tempat fitness tiga kali seminggu.

Namun, semenjak tempat fitness ditutup karena PPKM, saya mengompensasikan olahraga saya dengan jalan kaki yang lebih intensif. Bahkan, sudah tiga bulan terakhir ini saya jalan kaki sejauh 10 km (sekitar 12.500 langkah) pada hari kerja dan 12 km (sekitar 15.000 langkah) di hari Sabtu dan Minggu. Saya hanya “cuti” jalan kaki di Jumat pagi karena mengisi talkshow mingguan di Smart FM Network.

Yang saya rasakan setelah jalan kaki di pagi hari adalah saya selalu berada dalam mood yang terbaik setiap harinya, pikiran jadi lebih cerah, masalah terasa lebih ringan, dan selalu merasa optimistis. Satu manfaat lagi yang saya rasakan: saya tidur lebih nyenyak di malam hari.

Belakangan saya mencari berbagai literatur mengenai jalan kaki dan menemukan bahwa jalan kaki memberikan manfaat yang begitu besar terhadap kesehatan. Jalan kaki menjaga tekanan darah serta membuat jantung terpacu untuk memompa darah lebih banyak. Ini sangat bagus untuk kesehatan jantung. Aliran darah juga berjalan lancar.

Selain itu, jalan kaki juga berguna untuk meningkatkan stamina dan kekuatan otot kaki. Otot kaki jadi terlatih untuk menerima beban yang berat karena ada aktivitas yang memberi beban pada tulang. Ini sangat baik untuk mencegah osteoporosis.

Lebih dari itu, ternyata jalan kaki itu ada filosofinya. Kaki kita diciptakan oleh Tuhan dengan satu tujuan: berjalan. Jadi, ketika hari-hari kita lebih banyak diisi dengan duduk atau rebahan, kita sesungguhnya sudah melanggar prinsip sederhana ini.

Pada zaman dahulu, ketika belum ada kendaraan, manusia terbiasa berjalan kaki. Namun, sekarang kita pergi ke mana-mana dengan menggunakan kendaraan. Praktis waktu yang kita gunakan untuk berjalan kaki menjadi sangat sedikit.

Hal ini semakin menjadi-jadi semenjak kita banyak beraktivitas di rumah karena Covid-19. Kita tidak ke mana-mana dan hanya menatap layar komputer berjam-jam lamanya. Ini sudah tentu semakin memperparah keadaan. Kita semakin kehilangan fungsi kaki kita yang utama, yaitu untuk berjalan.

Ketika tidak banyak menggunakan kaki untuk berjalan, kita sesungguhnya sudah melangar hukum alam itu sendiri. Ini sudah tentu menimbulkan ketidakseimbangan dalam diri kita. Ketidakseimbangan ini akan mengejawantah dalam bentuk berbagai penyakit.

Orang Indonesia termasuk jarang berjalan kaki. Ke mana-mana kita selalu naik-turun kendaraan. Ini juga salah satu budaya yang cukup lazim di negeri ini. Rata-rata orang Indonesia hanya berjalan 3.513 langkah dalam sehari, masih kalah dengan Arab Saudi (3.807 langkah), Malaysia (3.963 langkah), dan Amerika Serikat (4.774 langkah). Apalagi bila dibandingkan dengan China (6.189 langkah) dan Hong Kong (6.880 langkah).

Kita memang tak terbiasa berjalan kaki. Mau pergi ke pasar saja harus naik angkot, atau naik ojek, atau naik bajaj. Salah satu pendorongnya, faktor udara dan cuaca yang cukup panas sehingga kurang nyaman untuk para pejalan kaki.

Saya sendiri, selama bertahun-tahun, hanya berjalan kaki ketika pergi ke luar negeri. Selain udara dan cuaca yang mendukung, salah satu aspek terpenting sesungguhnya adalah budaya jalan kaki itu sendiri. Di banyak negara —Australia, Jepang, negara-negara Eropa, AS— orang terbiasa berjalan kaki. Di mana-mana banyak orang yang berangkat ke kantor dengan berjalan kaki, bahkan dengan busana jas dan dasi.

Jalan kaki inilah salah satu kenikmatan yang selalu saya rasakan ketika berada di luar negeri. Bahkan, di Tokyo ada perempatan Shibuya, salah satu objek wisata yang sangat terkenal. Di sana, setiap beberapa menit sekali kita bisa menyaksikan pemandangan yang sangat menarik: para pejalan kaki berduyun-duyun untuk menyeberang jalan ke segala penjuru.

Yang juga menarik, berjalan kaki sesungguhnya juga bisa menyembuhkan berbagai masalah emosi yang kita hadapi setiap hari. Ini karena dengan berjalan kaki kita melakukan apa yang disebut dengan terapi bilateral.

Terapi bilateral adalah gerakan yang membuat belahan kiri dan belahan kanan otak berfungsi dengan maksimal serta terintegrasi sehingga dapat berkomunikasi dan saling mengakses. Ini terjadi karena ketika berjalan kita otomatis melakukan gerakan silang, yaitu lengan kanan berayun bersamaan dengan kaki kiri, dan lengan kiri berayun bersamaan dengan kaki kanan.

Yang menarik, terapi bilateral semacam itu seungguhnya sudah sangat lazim digunakan dalam Psikologi. Pakar Psikoanalisis Sigmund Freud, misalnya, sering mengobati pasiennya dengan metode ini. Begitu juga Franz Anton Mesmer, seorang dokter dari Jerman, yang juga menggunakan terapi bilateral untuk menyembuhkan trauma pasiennya. Inti terapi bilateral adalah stimulasi lintas belahan otak. Dan, yang menarik, ini bisa terjadi dengan sendirinya kalau kita melakukan jalan kaki.

Saya sudah merasakannya sendiri. Ketika berjalan kaki, berbagai emosi yang tidak menyenangkan tersembuhkan begitu saja. Saya sering membawa berbagai masalah untuk saya endapkan sambil berjalan kaki di pagi hari dan setelah berjalan kaki masalah tersebut terasa jauh lebih ringan dan mampu saya atasi. Dalam hal ini, saya setuju sekali dengan apa yang dikatakan oleh Presiden ke-3 Amerika Serikat, Thomas Jefferson, “Tujuan berjalan kaki adalah menenangkan pikiran.” (*)

Arvan Pradiansyah*) Motivator Nasional & Pegiat Jalan Kaki

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved