Column

Hadiah Terindah

Hadiah Terindah

Gede Prama

Di antara banyak film, Goundhog Day adalah salah satu yang inspiratif. Film ini bertutur tentang kisah seorang manusia yang sangat egois. Yang dipikirkan hanya satu: hak, hak, hak. Sampai suatu hari hidup jadi sangat kepanasan. Tidak tahan hidup demikian panas, kemudian tokoh dalam film ini banting setir, mulai hidup untuk orang lain. Setiap hari ia menyelamatkan seorang anak kecil yang jatuh dari pohon. Setiap kali anak itu terselamatkan, setiap kali pula anak itu lari tanpa ucapan terima kasih.

Setiap pagi pencari kebahagiaan ini menyelamatkan seorang tunawisma, ini juga serupa selalu diakhiri tanpa satu pun kata terima kasih. Kendati demikian, dari hari ke hari orang ini merasakan hatinya tambah lama tambah luas dan tambah luwes. Kerap ia bergumam sendiri, inilah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan: bahagia dengan cara melayani orang lain. Cerita menyentuh ini, mengingatkan pada salah satu warisan makna yang pernah ditinggalkan Helen Keller, “Sisi terindah kehidupan tidak bisa dilihat dengan mata, tidak bisa disentuh dengan tangan, ia hanya bisa dirasakan dengan hati.”

Bagi sebagian sahabat yang kesehariannya penuh kekurangan kemudian berlari dan mencari, cerita ini susah dicerna. Terutama karena kekayaan hanya bisa dikumpulkan dengan mendapatkan. Tidak terbayang ada jenis kekayaan yang bisa dikumpulkan dengan memberikan. Dan di suatu waktu, tatkala seseorang menginjak dewasa secara spiritual, di sana barulah pintu pengertian terbuka. Ternyata, hadiah yang bisa membuat hati kita bergetar bahagia adalah sesuatu yang kita berikan kepada orang lain.

Ini yang bisa menerangkan kenapa para pemimpin agung demikian karismatis karena seluruh hidupnya untuk orang lain. Nelson Mandela yang legendaris, Mahatma Gandhi yang dikagumi, YM Dalai Lama yang menyentuh, semua bercerita kisah yang sama: hidup menjadi pemimpin adalah hidup untuk orang lain. Di kedalaman yang dalam, pernah terdengar pesan berguna: memandanglah setinggi langit dan bertindaklah serendah hati bumi. Keputusan seorang pemimpin lebih mungkin mengayomi kalau dibuat di atas wawasan yang tinggi mirip langit. Kendati semua dipandang dari sebuah ketinggian yang holistik, tatkala bersikap jadi serendah hati bumi.

Berkaitan dengan memandang setinggi langit, tidak sedikit pemimpin yang matanya terlihat sangat impersonal (datar tidak membeda-bedakan). Serupa langit yang berwarna biru di semua tempat. Ini bisa terjadi karena kehidupan berputar dan mengalir. Orang yang memuji di hari ini bisa memaki di hari lain. Manusia yang menjadi sahabat tahun ini bisa jadi musuh di tahun lain. Semuanya berputar dengan hukumnya masing-masing. Ini yang membuat sejumlah pemimpin bergelar S3 (senyum-senyum saja). Sejenis senyuman seorang ibu yang penuh permakluman kepada putra tunggalnya.

Cuma, berbeda dari senyuman orang biasa yang juga biasa, senyuman seorang pemimpin dipadukan dengan kedisiplinan Ibu Pertiwi. Bila langit memandang semuanya sama, bumi sangat disiplin. Ia yang menanam kelapa dapat buah kelapa, siapa yang menanam ketela dapat buah ketela. Dalam bahasa spiritual, batinnya Brahmana tangannya Ksatria. Di batin, semuanya dipandang sama dan datar sebagaimana seorang Brahmana yang berdoa untuk semua. Namun di tangan seorang Ksatria, seorang pencuri harus ditangkap, orang bersalah mesti dihukum.

Terdengar paradoks bagi yang belum pernah memimpin. Namun terdengar biasa bagi siapa saja yang duduk di kursi kekuasaan tetapi dimuliakan oleh kekuasaan. Sebagaimana dicatat sejarah, ada pemimpin yang dibikin rusak oleh kursi kekuasaan, ada yang dibikin mulia oleh kekuasaan. Perbedaan mendasarnya cuma satu, seberapa banyak waktu hidup yang dihabiskan seorang pemimpin untuk orang lain. Bagi setiap pemimpin yang badan, pikiran dan hatinya untuk orang lain, maka kekuasaan menjadi sebuah kekuatan yang sangat memuliakan.

Dalam novel Somerset Maugham yang berjudul The Razor’s Edge diceritakan tokoh bernama Larry Darrel yang karakternya diambil dari kehidupan nyata seseorang. Setelah mendedikasikan waktu bertahun-tahun pada praktik spiritual mendalam, Darrel mencapai pencerahan. Ia bisa saja menjadi guru spiritual sehabis ini, tetapi Darrel memilih menjadi sopir taksi dengan alasan sederhana, agar bisa melayani lebih banyak orang. Dalam bahasa novel indah ini: seperti burung putih di salju. Berada di keramaian, menyediakan tangan bantuan, yang paling mulia ia tidak kelihatan. Inilah hadiah terindah yang bisa diberikan kepada dunia yang sedang menangis.

Di Twitter, banyak sahabat berespons positif terhadap pesan ini: Sing like birds, play like kids, silence like trees, then each step is peace. Bernyanyi seperti burung, bermain serupa anak-anak, hening seperti pepohonan, kemudian setiap langkah adalah kedamaian. Sederhananya, kebanyakan orang biasa terpaksa menjadi baik karena diancam neraka dan dosa. Bagi manusia yang sudah pulang ke rumah kesejatian (baca: wawasannya langit, langkahnya bumi), kebaikan adalah sifat alami hati itu sendiri. Ia sealami bulan yang menerangi di malam hari, senatural matahari yang terbit tiap pagi.

Gede Prama


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved