Column

Indonesia in The Making

Oleh Editor
Indonesia in The Making
Iustrasi Peta Indonesia (Foto: aciimov.deviantart.com].

Ganda Putri Bulu Tangkis Indonesia Greysia Polii dan Apriyani Rahayu akhirnya berhasil mendapatkan medali emas dalam Olimpiade Tokyo tahun ini. Kemenangan ini merupakan prestasi yang luar biasa sekaligus sebagai pengobat kekecewaan kita semua atas peristiwa penolakan tim bulu tangkis kita di ajang All England beberapa waktu yang lalu. Kemenangan di awal Agustus ini sesungguhnya juga sebagai hadiah HUT ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kemenangan Greysia dan Apriyani pun banyak disebut orang sebagai kemenangan yang sangat Indonesia. Alasannya, kedua putri terbaik Indonesia ini menganut agama yang berbeda. Greysia beragama Kristen, sedangkan Apriyani Islam. Tambahan lagi, pelatihnya, Eng Hian, beragama Buddha. Jadi, kemenangan ini benar-benar merepresentasikan Indonesia.

Apa yang terjadi kelihatannya baik-baik saja, tetapi di hati kecil saya terbetik sebuah perasaan yang menggantung. Saya menangkap ada yang tidak beres di sini, tetapi saya tidak langsung mengetahuinya. Perlu waktu untuk mencerna apa yang sedang terjadi dan otak saya mengirimkan sinyal yang tidak biasa, seperti sebuah alarm.

Untungnya, tidak butuh waktu yang terlalu lama bagi saya untuk menemukan apa yang salah. Saya segera menyadarinya dengan sangat jelas. Kemenangan tim Indonesia itu sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan agama yang dianut oleh atlet dan pelatihnya. Agama menjadi faktor yang tidak relevan di sini. Greysia dan Apriyani menang karena mereka memang atlet bulu tangkis yang andal. Mereka —plus Eng Hian— telah berjuang sekuat tenaga dan mengerahkan kemampuan terbaiknya. Lantas, mengapa kemenangan tersebut harus dikait-kaitkan dengan agama yang mereka anut?

Saat ini masih banyak orang Indonesia yang mempunyai kebiasaan “unik”: senang mengait-ngaitkan prestasi dengan agama seseorang. Kalau tidak percaya, silakan Anda googling nama orang Indonesia yang berprestasi. Siapa pun. Dan, nanti Anda menemukan ada orang yang mencari apa agama yang bersangkutan.

Suatu ketika saya menonton Joy Alexander, seorang remaja asal Indonesia yang menjadi musisi jazz kenamaan di New York. Kemudian, iseng-iseng saya googling nama adik kita yang hebat ini. Dan, ternyata dalam laman pencarian sudah ada orang yang mencari Joy dengan pertanyaan: agama Joy Alexander. Ini berlaku untuk banyak orang. Bahkan, saya terkejut ketika menemukan nama saya sendiri dicari orang dengan pertanyaan: agama Arvan Pradiansyah. Luar biasa. Padahal, apa hubungan agama dengan prestasi seseorang? Mengapa kita selalu ingin mengetahui apa agama seseorang?

Ketika kita menanyakan agama seseorang untuk sesuatu yang tidak ada hubungannya, kita sesungguhnya sedang meracuni pikiran kita dengan toksin-toksin yang berbahaya. Dengan pertanyaan ini —tanpa disadari— kita akan menilai seseorang dari agamanya, dan bukan karena kompetensinya. Kita akan langsung merasa nyaman ketika menemukan seseorang yang agamanya sama dengan kita. Di lain pihak, otak kita juga akan mengeliminasi banyak orang yang berkualitas semata-mata karena orang tersebut memeluk agama yang berbeda dengan kita.

Di sinilah otak kita akan “jungkir balik”. Dan sebagai konsekuensinya, kita akan mengambil keputusan yang salah. Kita memilih seseorang karena agamanya, bukan kompetensinya.

Bahkan, lebih dari 14 abad yang lalu Nabi Muhammad saw. sudah mengingatkan kita dengan cukup keras: “Bila sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggu saja kehancurannya.” Ini adalah sebuah ajaran yang sungguh mencerahkan dan membuka mata. Ketika terkait dengan sebuah urusan, carilah orang yang ahli, orang yang kompeten. Tak pernah Nabi berpesan agar kita mencari orang yang seagama dengan kita.

Apa yang disampaikan Nabi ini sesungguhnya adalah sebuah prinsip hidup, sebuah hukum alam (natural law) yang berlaku di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Sebuah urusan perlu ditangani orang yang memiliki keahlian, pengetahuan, dan pengalaman di bidang itu. Itulah syarat dan rumus kesuksesan.

Lantas, tidak bolehkah kita menanyakan agama seseorang? Tentu saja, boleh —sejauh ini relevan dengan urusan yang dimaksud. Kalau Anda mencari seorang khatib Jumat, atau guru sekolah Minggu, tentu saja Anda harus menanyakan apa agama yang bersangkutan.

Indonesia saat ini sudah berusia 76 tahun, usia yang jauh lebih muda dari usia Amerika Serikat yang 245 tahun, apalagi Inggris yang 1.000 tahun lebih. Indonesia saat ini sedang berproses menjadi negara dan bangsa yang lebih maju dan lebih dewasa. Saya membayangkan suatu ketika di negeri tercinta ini kita benar-benar bisa hidup sebagai orang Indonesia dan tidak ada lagi orang yang mempermasalahkan suku, agama, dan asal-usul kita. Saya membayangkan suatu masa di mana setiap orang Indonesia dihargai karena kemampuan dan kompetensinya.

Saya sendiri sesungguhnya sudah mempraktikkan hal ini sejak masih berusia sangat muda. Saya berteman dengan siapa saja tanpa pernah tahu apa suku mereka. Saya bahkan sering baru mengetahui suku teman saya berpuluh tahun kemudian, yaitu ketika mereka menikah (dari resepsi yang diselenggarakan). Begitu juga untuk urusan agama. Satu-satunya alasan saya ingin tahu agama seseorang adalah agar tidak salah mengirimkan ucapan selamat pada perayaan hari besar keagamaan.

Indonesia yang sejati saat ini masih berada dalam “proses pembentukannya”. Ketika menulis artikel ini, saya teringat pidato Martin Luther King Jr. yang sangat terkenal pada tahun 1963 di Lincoln Memorial, Washington, bahwa ia bermimpi di Amerika Serikat tidak ada lagi diskriminasi terhadap orang kulit hitam.

Dan, tiba-tiba saja saya teringat seorang Guru Bangsa Indonesia yang sangat visioner: Gus Dur. Ini kata-kata beliau yang juga menjadi mimpi saya: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tak pernah tanya apa agamamu.” Dirgahayu Indonesiaku.

Arvan Pradiansyah *) Motivator Nasional – Leadership & Happiness


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved