Column

Inovasi Demi Merawat Legacy

Tahukah Anda, bahwa bisnis keluarga, atau bisnis yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh sebuah keluarga ternyata berjumlah 95% dari total perusahaan di Indonesia. Data yang dirilis oleh firma audit asal AS Pricewaterhouse Coopers (PwC) beberapa tahun silam itu membuka mata bahwa pengaruh bisnis keluarga di Indonesia sangat besar. Dengan jumlah pekerja mencapai jutaan orang bisa jadi efek domino bisnis keluarga dapat menghidupi hingga puluhan bahkan ratusan juta orang di Indonesia.

Inilah sebabnya, menyelamatkan bisnis keluarga sangat vital, khususnya di era pandemi. Karena bisnis keluarga inilah wajah dari legacy, budaya Indonesia. Sebuah bisnis yang mengedepankan nilai-nilai keluhuran keluarga, namun sekaligus menempatkan profesionalisme sebagai ujung tombak kemajuan bisnisnya, tahun demi tahun.

Tentu sebagian besar dari kita pernah dengar survei yang dirilis oleh Small Business Administration Survey di Amerika Serikat yang mengungkapkan, lebih dari 70% bisnis keluarga tidak dapat bertahan melewati generasi kedua. Lebih mengenaskan, 8%-nya tidak dapat melewati hingga generasi ketiga.

Berbagai alasan bisa dikemukakan untuk menjawabnya. Namun kami di Daya Qarsa telah mengidentifikasi empat komponen utama yang menjadi determinan utama dalam keberlangsungan bisnis keluarga. Keempatnya yakni, tentu saja yang pertama, aspek Family, selanjutnya Ownership, lalu Wealth Management, dan terakhir Business Portfolio & Governance.

Pun demikian, demi menyingkat bahasan, kita akan mengupas aspek yang teramat penting, yakni new business and innovation development yang merupakan turunan elemen Business Portfolio & Governance. Mengapa inovasi? Karena aspek inilah yang membedakan antara yang bertahan dengan yang terlindas zaman, antara pemenang dengan pecundang. Tak heran, Bapak Manajemen Modern, Peter Drucker mengumandangkan dengan tegas, innovate or die, berinovasi atau mati.

Inovasi bisa jadi satu-satunya strategi agar bisnis keluarga dapat terus mengimbangi kecepatan perubahan kompetisi. Pun demikian perusahaan harus memahami berbagai faktor yang mendisrupsi lanskap bisnis agar mampu mengatasi tantangan persaingan dan terutama, tantangan kematian bisnis akibat pandemi Covid-19.

Di antaranya, perusahaan harus memahami bahwa kemajuan teknologi menjadi pencetus utama perubahan. Kemajuan teknologi pula yang menyebabkan perubahan mendasar preferensi dan perilaku belanja konsumen. Contoh gampangnya, jika dulu satu-satunya cara orang bekerja dengan pengolah kata atau lembar kerja adalah dengan komputer meja atau laptop. Namun kini perkembangan teknologi telah memungkinkan seseorang bekerja dari manapun, kapanpun menggunakan komputer seukuran telapak tangan, alias smartphone. Hal ini secara langsung telah mengubah pola konsumsi masyarakat di berbagai belahan dunia.

Tak hanya konsumen yang dipengaruhi oleh perubahan teknologi, model bisnis, system rantai pasok seluruhnya turut terimbas perubahan. Bahkan, hal-hal tak terduga, pandemic Covid-19 ini salah satunya, membuat kebutuhan untuk berubah semakin mendesak.

Karena itu tak mengherankan, jika inovasi disebut sebagai langkah paling logis untuk memastikan keberlangsungan perusahaan. Lazimnya secara garis besar dikenal tiga jenis inovasi. Yakni, sustaining innovations, berupa inovasi berkala dan bertahap yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kualitas produk dan layanannya. Kedua, efficiency innovations, inovasi yang dilakukan demi meningkatkan efisensi dalam proses bisnis demi menghemat beragam biaya. Ketiga market-creating innovations, inovasi dalam ide, produk dan model bisnis yang menciptakan pasar baru dan bahkan jenis pekerjaan baru.

Lantas, adakah perusahaan keluarga di Indonesia yang telah melakukan inovasi demi menyelamatkan bisnisnya di masa pandemi ini? Banyak. Di antaranya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex. Kampiun produsen tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah yang cikal bakalnya didirikan oleh (alm) HM Lukminto di Pasar Klewer, Solo ini salah satunya. Dengan 50 ribu karyawan, kampiun ekspor yang kini dikomandani generasi keduanya, Iwan Setiawan Lukminto itu tentu harus bergelut menghadapi permintaan yang menurun secara global, lantaran nyaris seluruh negara melakukan lockdown.

Untuk itu Sritex berinovasi merilis masker kain non medis yang segera saja menjadi best seller di pasar. Disusul dengan merilis pakaian alat pelindung diri berstandard medis yang sangat dibutuhkan tenaga kesehatan dan kemudian jaket pria dan wanita berbahan antimikrobial yang mampu menahan bakteri, virus dan organisme lainnya.

Di berbagai daerah pun banyak perusahaan keluarga yang melakukan inovasi untuk mempertahankan bisnisnya. Mereka yang bergerak di bidang kosmetika pun telah berinovasi dengan merilis produk hand sanitizer yang sangat dibutuhkan pasar. Ada pula pengusaha hotel ketika PSBB kemarin yang mengubah propertinya menjadi tempat karantina untuk tenaga kesehatan maupun para pemudik yang hendak kembali ke kampung halamannya.

Kembali untuk melakukan inovasi perusahaan harus memahami berbagai jenis inovasi disruptif (teknologi, budaya konsumen, model bisnis dll), karena pemahaman tersebut merupakan faktor utama yang akan menyelamatkan perusahaan keluarga dalam menghadapi krisis Covid-19. Jadi, sudahkah Anda memikirkan inovasi yang tepat demi mempertahankan keberlangsungan hidup bisnis keluarga Anda di masa pandemi ini?

Penulis:

Apung Sumengkar, CEO Daya Qarsa, perusahaan konsultan yang berfokus pada transformasi bisnis holistik.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved