Column

Perang Lagi, Lagi Perang

Oleh Editor
Perang Lagi, Lagi Perang
Ilustrasi Foto: https://www.istockphoto.com/.
Ilustrasi Foto: https://www.istockphoto.com/.

Perang seakan tak pernah bisa dicegah walaupun kita hidup dalam peradaban yang sudah sedemikian maju. Walaupun katanya perang adalah bukti manusia barbar yang tak mampu mengendalikan hawa nafsu dan ego sehingga menyeret komunitas, institusi, bahkan negara masuk dalam kancah ini.

Lalu, apakah perang di zaman ini menunjukkan bahwa keadaban belum sempurna? Jawabnya sangat sederhana: ya. Dan, itu tidak akan pernah bisa dihindari karena ini bukan soal keadaban rakyat banyak, melainkan keadaban kolektif hanya di tingkat elite. Bahkan, acapkali hanya segelintir orang, kalau tidak mau dikatakan satu orang, bisa menjerumuskan negara dalam perang.

Sebelum perang fisik terjadi, pasti dimulai dari perang pikiran (war in mind) karena terjadinya mispersepsi dan miskomunikasi yang membuat persepsi dalam pikiran jadi berbeda. Apalagi, ditambah dengan pride pribadi pemimpin tertinggi yang dikelilingi kerabat yang ABS (asal bapak senang), perang dalam pikiran berubah menjadi perang dalam kehendak (war in will).

Setelah perang kehendak mulai dibuahi dengan kedengkian karena masa lalu, mulailah perang ketiga yang lebih kasat telinga, yakni perang kata-kata (war in words). Kata-kata propaganda, sinisme, dan ejekan digulirkan. Begitu ada salah ucap, salah kata, keliru kalimat dalam meresponsnya, akan bisa berakibat fatal.

Vonis penistaan negara, suku, apalagi agama memicu percepatan perang keempat, yakni perang pamer kekuatan (war of power). Mulailah penempatan pasukan, pamer senjata dan amunisi di perbatasan. Satu perintah saja “serang”, maka terjadilah perang kelima, yakni perang fisik, adu kekuatan, entah itu militer atau kerumunan massa, yang siap menghancurkan pihak yang dianggap lawan.

Yang terjadi antara Rusia dan Ukraina saat ini, yang menjadi trending topic dunia, mengalahkan perang lain yang sudah lebih lama tapi dianggap perang kecil dan skala lokal, adalah bukti kelima tahap itu sudah jadi perang kronis. Selalu ada pro dan kontra. Ada yang memihak Rusia dan ada yang membela Ukraina. Itu sah-sah saja. Setiap negara memiliki alasan, baik historis maupun kepentingan, untuk membela yang satu dan mencela yang lain.

Saya tak hendak membahas hal itu, itu bukan kompetensi saya. Namun, tahapan perang itu juga terjadi di semua negara. Ada yang sedang berperang melawan narkotika, ada yang sedang bergulat dengan separatis lokal, ada yang sedang mengalami peperangan ideologi yang tak mudah dihentikan, yakni perang melawan intoleransi dan terorisme. Kita merasakan bahwa perang terakhir ini jauh lebih ganas dan panas. Apalagi, kalau sudah mulai mengumpulkan massa, yang kebanyakan tak tahu diajak perang untuk apa dan siapa.

Sayangnya, di masa pandemi ini lima tahap perang ini juga terjadi di level kesatuan yang paling dasar, yakni keluarga, hubungan suami-istri serta relasi orang tua-anak. Pandemi ini membuat yang dulunya harmonis menjadi sinis, mesra jadi saling mencela, kekompakan jadi perpecahan, dan akibat akhir yang tak banyak dimaui orang terjadi, yaitu perselingkuhan, perpisahan, perceraian, bahkan yang paling sadis: pembunuhan pasangan hidup.

Semua ini bisa dicegah. Banyak perang yang bisa dihindari, entah itu perang keluarga, perang perusahaan, sampai perang negara. Keputusan untuk memulai perang adalah keputusan sadis yang harus dipertanggung-gugatkan di hadapan Tuhan. Apa pun bentuk perangnya, semua memiliki konsekuensi kekal. Sesuatu yang harus dibawa bahkan sampai setelah kematian. Konsekuensi yang tidak hanya berakhir di alam fana, tapi alam baka. Ini yang tidak disadari para pemimpin yang memicu perang.

Coba kalau dari tahap kesatu, perang pikiran, dikelola dengan baik oleh si empunya, tidak akan dibagikan ke orang lain, tapi dikalahkan oleh iman dan pikirannya sendiri, tidak akan tercipta pembuahan menjadi perang kehendak. Inilah bukti kedewasaan, bukti iman, yakni orang yang mampu mengalahkan peperangan di dalam dirinya sendiri di tatanan pikiran dan kehendak. Maka, ia adalah orang yang dewasa dan berakhlak tinggi.

Kalaupun ada satu kesalahan fatal yang dibuat orang yang dianggap musuh atau menjadi musuh karena kesalahan itu, pengampunan yang bersumber dari bukti iman adalah jawabannya. Itu adalah esensi orang beragama yang paling hakiki, yaitu kasih dan pengampunan.

Ketika kedua esensi akhlak ini pudar, maka mata ganti mata dan gigi ganti gigi akan berkuasa dan membara dalam hati, sehingga perang mulut dan unjuk kekuatan tak akan dapat dihindari lagi. Bila masih tak dapat didamaikan dengan akal yang sehat bahwa kita semua adalah sesama dalam kemanusiaan walau beda dalam hal apa pun, perang fisik tak mungkin ditahan lagi.

Di sinilah terjadinya kehancuran keadaban, kerusakan akal sehat, dan kemunduran iman. Apa pun perang yang sedang kita hadapi, setiap manusia pasti punya perangnya masing-masing. Kitalah yang dapat mencegahnya ketika bara itu masih ada di dalam hati dan pikiran. Kemampuan memadamkan bara itu menunjukkan kualitas spiritualitas kita yang sejati. (*)

Paulus Bambang WS

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved