Column

Reputasi dan Rekam Jejak

Oleh Editor
Ilustrasi: Shutterstock.com

Orang sering bingung antara reputasi dan rekam jejak. Keduanya sering disaling-silangkan atau disama-ratakan padahal memiliki dimensi yang amat berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reputasi mempunyai arti perbuatan dan sebagainya sebagai sebab mendapat nama baik; arti kedua yang sangat singkat adalah nama baik. Adapun rekam jejak adalah semua hal yang seseorang telah lakukan di masa lalu, yang menunjukkan seberapa baik mereka dalam melakukan pekerjaan, mengatasi masalah, dll. Dari definisi standar saja sudah menunjukkan esensi yang berbeda.

Memang, kedua definisi mengacu pada hal yang baik dan positif saja. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Mengapa? Karena, rekam jejak yang ditulis oleh seseorang hanya memiliki satu dimensi, yakni sesuatu yang baik saja. Lihat saja apa yang ditulis semua orang di LinkedIn, misalnya, adalah hal yang dilakukan yang menghasilkan kinerja yang baik, semua yang sukses dan berhasil, dan semua yang menghasilkan keluaran yang patut ditonjolkan.

Apakah itu salah? Tentu saja, tidak. Setiap orang tentu akan mengubur masa lalu, entah itu kinerja, kompetensi, ataupun kegagalannya, dan mengharap agar orang lain tidak tahu atau kalaupun tahu, hanya secuil.

Namun, banyak yang lupa, bahwa rekam jejak kita bukan hanya berasal dari cacatan tertulis yang kita buat ataupun yang kita mau, tetapi dari catatan atas semua interaksi yang kita lakukan dengan orang lain, baik dalam bentuk tertulis secara rapi lewat media sosial mapun tercatat di pikiran orang lain. Media sosial telah mengubah seluruh catatan rekam jejak seseorang. Apa yang dikatakan dan dipikirkan bisa dengan mudah ditelusuri tanpa seseorang itu menyadari bahwa ia sebenarnya “telanjang” di dunia maya. Komentar, kritik, asosiasinya terhadap seorang pemimpin atau partai, pandangan, dan catatan diskusi adalah bagian penting dari pembentukan rekam jejaknya sendiri. Di dunia maya, akan sangat sulit orang bermain sandiwara karena dari semua sisi perilaku kita sebenarnya tercatat rapi.

Begini, misalnya, ketika mencari salah satu kandidat untuk pemimpin, saya mendapat data resmi berupa CV, itu data awal. Lalu, dengan mudah saya bisa meminta tim saya untuk menelurusi seluruh media sosial mereka, tentu dengan program berbayar kalau ingin mendapat catatan yang lengkap. Belum lagi, kalau mau ditelusuri apa yang ia beli, tonton, dan like. Semakin lengkap kita melihat data, yang sebenarnya orang itu sendiri yang “melemparkannya” di dunia virtual entah ia sadar atau tidak, maka kita sedang melihat catatan hidup seseorang secara faktual.

Dari rekam jejak itulah kita dapat menyimpulkan reputasi orang itu yang sesungguhnya. Reputasi adalah nama baik atau buruk. Reputasi adalah integritas bersih atau kotor. Reputasi adalah keberanian melawan arus atau ikut arus. Bagaimana perjuangan menghadapi ajakan korupsi, bagaimana sikapnya menghadapi pertentangan dengan orang lain yang memaksakan pendapatnya, bagaimana cara bicaranya, bagaimana substansi pemikirannya, itu membentuk reputasinya sendiri. Dan reputasi itu memberi “nilai” tentang siapa kita sebenarnya. Reputasi adalah “harga” kita, bukan untuk masa lalu tetapi masa kini dan masa depan.

Kita sadar bahwa rekam jejak kita akan menentukan reputasi kita yang akan menentukan masa depan kita, apakah kita sedang membangun masa depan yang suram atau masa depan yang lebih cemerlang daripada masa lalu dan saat ini.

Membangun masa depan Anda, tidak terbatas ketika kita masih hidup, adalah membangun warisan yang tak akan lekang oleh waktu. Itu sebabnya, Salomon, the wisest king on earth, berkata, “Reputasi atau nama baik lebih berharga daripada harta yang banyak, emas yang mahal, dan posisi yang tinggi.” Reputasi adalah kita, dan reputasi adalah harga diri kita.

Lalu, pertanyaannya, bagaimana membangun reputasi kita lewat rekam jejak yang baik?

Pertama, Aware that we are naked. Sadar bahwa kita ini “telanjang”. Itu sebabnya, pikirkan dengan cermat apa yang Anda mau katakan dan lakukan setiap saat. Tidak mudah tetapi bukan mustahil. Ingat nyanyian Bung Ebiet, “Kita mesti telanjang dan benar benar bersih.”

Kedua, Be yourself in faith, hope, and love. Karena kita sadar kita akan “ditelanjangi”, kita harus terus perkuat iman kita, kita harus perbesar pengharapan kita, dan harus tebarkan kasih kita. Ketiga hal ini akan membentuk kita menjadi berkenan di hadapan manusia dan Tuhan.

Ketiga, Courage to live against the flow. Reputasi justru terbentuk ketika kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tidak menjadi sama dengan kebanyakan. Kita menjadi pembeda kalau kita berani melawan arus yang tidak cocok dengan keyakinan kita. Life is too short to go with the flow.

Kalau kita konsisten melakukan ABC principle itu, rasanya kita sedang membangun reputasi kita, dan itu adalah masa depan kita. Di bulan puasa ini, marilah kita merenungkan dengan sunguh-sungguh “what reputation are we building for?”. (*)

Paulus Bambang WS


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved