My Article

Dress Your Brand

Oleh Admin
Dress Your Brand

Oleh N. Rengka Johanes, Direktur Bank Mitra Karya ( Bank Perkreditan Rakyat )

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita tentang tutupnya waralaba Seven leven (Sevel) di Jakarta –mungkin juga di beberapa kota lain. Berbagai analisis yang muncul di media, baik media cetak, televisi atau media sosial. Ada yang mengatakan bahwa Sevel ditutup karena adanya peraturan pemerintah yang melarang menjual bir di gerai mini market. Sevel terkena dengan regulasi itu. Padahal, salah satu andalan mini market seperti Sevel adalah tempat nongkrongnya anak muda yang ngobrol sambil minum coca cola atau bir kaleng. Ada juga yang mengatakan bahwa Sevel tidak mampu lagi bersaing dengan mini market sekelasnya, seperti Indo Maret, Alfa Mart, atau dengan café kopi yang sekarang bermunculan bak jamur. Atau, Sevel salah satu waralaba yang terkena dampak disrupsi.

Seven Eleven adalah salah satu Brand yang cukup kuat dari dari sisi design. Lalu mengapa tutup? Pertanyaannya, apakah brand saja sudah cukup untuk bertahan dalam bisnis? Tentu tidak. Untuk menjawab pertanyaan ini saya teringat ucapan, Colleen Rudio, seorang Presiden dari Cascadia Business Development, yang mengatakan bahwa banyak bisnis menciptakan brand, kemudian mengasumsikan bahwa organisasi mereka akan secara otomatis mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk mendukung brand tersebut. Jadi, seolah-olah ketika suatu brand diciptakan maka seluruh organisasi otomatis mampu memenuhi segala aspek yang berkaitan dengan brand itu. Padahal, tidak persis seperti itu. Rudio menulis, “ The issues of capacity and branding are almost never addressed in the same sentence, but they should be “. Lebih lanjut Rudio mengatakan ”… to figure out what your brand delivery non-negotiables are, match those to all the functional areas impacted, and build your capacity from there. If one of your brand-delivery non-negotiables is best-in-class service, then every decision you make has to connect with that”.

Apa yang dikatakan oleh Rudio sebenarnya mau menekankan bahwa suatu brand perlu proses perbaikan yang berkesinambungan (brand improvement process). Dalam melakukan perbaikan yang berkesinambungan itu, paling tidak kita akan memperhatikan lima hal pokok. Pertama, kemampuan menangkap masalah, isu, atau concern yang sering muncul. Siapa yang melakukan itu? Perlu keterlibatan semua pihak dalam organisasi. Tidak bisa hanya mengandalkan pemilik, atau para eksekutif level atas saja. Mulailah dari isu atau masalah yang sering muncul.

Masalah yang sering muncul belum tentu yang paling besar, tetapi akan berpengaruh pada citra perusahaan. Misalnya pengalaman nasabah akan layanan yang diberikan, komitmen manajemen atas perbaikan, perjanjian kerja karyawan, sistem dan prosedur dan infratsruktur organisasi. Kedua, mampu mengidentifikasikan dan memilih masalah dengan benar. Mengetahui masalah yang paling krusial dalam keberlangsung bisnis, sebenarnya sudah sebagian pekerjaan selesai. Biasanya dalam mengidentifikasi masalah mulailah dengan masalah yang mudah terlerbih dahulu. Sekadar meminjam bahasa Karen Tiber Leland dalam bukunya The Brand Mapping Strategy, “ Start small and work your way up. You want the first problems you choose to be relatively easy ones”. Masalah-masalah yang nampaknya mudah seringkali membawa dampak yang besar terhadap brand perusahaan.

Ketiga, membentuk tim CBI (Continuous Brand Improvement) yang mana anggotanya bisa diambil dari berbagai bagian dalam organisasi perusahaan. Tim ini lebih kepada mereka yang mempunyai pengetahuan atau pengalaman yang cukup tentang perusahaan dan memahami mengenai branding. Sebab, tim CBI ini yang melakukan identifikasi masalah secara regular dan menampung berbagai soal atau isu yang timbul menyangkut bisnis. Dengan demikian, hasil rekomendasi tim ini akan membantu para shareholders atau board of directors (BOD) untuk mengambil langkah strategis. Biasanya tim ini tidak lebih dari sepuluh orang, bergantung kepada skala perusahaan.

Keempat, mengimplementasikan hasil evaluasi yang telah ditemukan oleh tim CBI, yang mana hasil temuan itu tentu sudah didiskusikan dengan BOD sebelumnya. Ada beberapa hal penting dalam melakukan implementasi hasil evaluasi tim CBI yaitu siapakah yang terkena dampak dari solusi yang dijalankan. Lalu, apakah mudah dalam melakukan implementasinya. Kemudian apakah solusi itu justru bisa menimbulkan masalah baru ? Nah, karena proses ini agak mendetail, maka ada perusahaan yang meminta pihak ketiga untuk melakukan peran CBI. Tentu ini akan memakan biaya.

Kelima, ulangi prosesnya secara terus menerus, agar terjadi perbaikan. Suatu hal yang tidak masuk akal kalau mengharapkan hasil yang baik hanya dengan satu kali perbaikan saja. Tentu semua ini membutuhkan biaya dan komitmen yang tinggi dari semua pemangku kepentingan. Seperti yang dikatakan oleh Profesor Philip E. Tetlock, Dan Gardner, dalam buku mereka; Superforcasting, yaitu jika mau mencapai hasil yang optimal, empat langkah berikut harus dilakukan; forecast, measure, revise, repeat. Hanya dengan begitu suatu perbaikan akan terjadi.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved