My Article

Entrepreneur Sejati: Refleksi Bagi Kampus Bisnis

Oleh Admin
Entrepreneur Sejati: Refleksi Bagi Kampus Bisnis

Nama Bob Sadino mungkin tidak asing lagi di mata para pengusaha dan pegiat kewirausahaan. Selain terkenal sebagai pengusaha sukses, Om Bob boleh dikata juga mentor dan inspirator khususnya bagi para pebisnis pemula.

Achmad Fahrozi

Achmad Fahrozi

Tak heran, kematiannya pun menjadi buah bibir di masyarakat. Banyak tokoh nasional, pengusaha, bahkan menteri kabinet kerja menyampaikan belasungkawa kepada Om Bob. Bahkan di jagad Twitter, kabar berpulangnya pengusaha nyentrik ini jadi ‘trending topic’. Sebagian ada yang mengucapkan belasungkawa, sebagian lagi mengucapkan terima kasih atas dedikasi dan inspirasi yang telah diberikan pengusaha berambut perak ini.

Lalu siapakah Bob Sadino itu? Dan mengapa kepergiannya begitu mendapat perhatian dari masyarakat?

Pertanyaan pertama mungkin mudah dijawab. Kita cukup buka laptop lalu tanya Mbah Google. Banyak tersedia artikel bebas yang menjelaskan tentang Bob Sadino yang bisa kita baca. Atau kita bisa pergi ke Toko Buku, lalu kunjungi rak-rak koleksi buku dengan genre bisnis atau kewirausahaan. Di situ kita dapat temukan beberapa buku tentang Bob sadino dan perjalanan bisnisnya.

Pertanyaan ke-2 mungkin lebih sulit dijawab. Tapi, pertanyaan mungkin bisa dibalik dan dipertajam: Apa yang telah Om Bob sumbangsihkan hingga menginspirasi banyak orang khususnya pegiat kewirausahaan? Jawabannya mungkin akan berbeda-beda untuk setiap orang dan sangat personal bisa jadi.

Penulis sendiri memiliki pengalaman yang mungkin tak terlupakan dengan Bob Sadino. Penulis pernah mendapatkan kuliah langsung dari Om Bob dalam sebuah kegiatan Pelatihan Kewirausahaan di Universitas Indonesia tahun 2008. Entah dapat Ilham dari mana, di semester akhir kuliah S1, penulis ingin memulai wirausaha. Begitu tahu pengusaha nyentrik Bob Sadino menjadi salah satu pembicara, penulis sangat bersemangat untuk segera mengikuti kelasnya.

Berbalut seragam resmi celana pendek dan kemeja putih lengan pendek, pengusaha nyentrik itu memberikan kami nasihat-nasihatnya selama kurang lebih 1 jam. Peserta sangat antusias dengan petuah-petuah Om Bob. Banyak yang terlucuti semangatnya. Tidak sedikit juga yang tersenyum sendiri karena merasa tersindir. Bahkan tidak sedikit pula yang kupingnya panas, mendengar celoteh ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-alingnya.

Bagi penulis, ada 2 nasihat yang masih membekas hingga saat ini. Kira-kira begini inti nasihatnya: Pertama, Sekolah terbaik bagi para calon pengusaha adalah sekolah jalanan, sekolah yang bisa memberikan kebebasan muridnya berkreasi. Kedua, Kuliah itu bikin tidak pintar (goblok-red) siapa yang hadir pelatihan ini, besok jangan masuk kuliah.

Bagi sebagian orang, mendengar ide “gila” dengan gaya penyampaian khas Om Bob, tentu menimbulkan pro-kontra. Bisa banyak yang pro namun tidak sedikit yang kontra. Namun, jika kita melihat lebih jernih pada konteks penyampaian, Om Bob menyampaikan ide-ide tersebut pada para calon entrepreneur, karena yang hadir seminarnya adalah pengusaha dan calon pengusaha.

Jadi, bagi Om Bob, kalau seseorang mau jadi entrepreneur langsung terjun ke lapangan, jangan banyak mikir yang terlalu jauh, jangan terlalu banyak teori, dan tentunya jangan ikut proses kuliahan S1, S2 dan seterusnya yang jamak terjadi. Bagi beliau, kuliah semacam itu tidak terlalu berkorelasi (jika tidak mau dibilang tidak ada) dengan kesuksesan sebagai entrepreneur. Nyata-nyatanya ini banyak diamini oleh para entrepreneur yang terbukti sukses.

Kampus sering kali mengajarkan banyak teori, sementara berwirausaha butuh praktek. Kampus mengajarkan sebagian besar konsep, sementara menjadi entrepreneur membutuhkan pembuktian di lapangan. Kampus sering kali diajar oleh para konseptor (akademisi), sementara menjadi pengusaha butuh mentor yang tidak hanya tahu, tapi mengerti dan menginspirasi.

Kampus memberikan ujian dalam selembar kertas dan mengevaluasi siswanya dengan angka, sementara menjadi pengusaha sejati butuh tahan banting. Kesuksesan pengusaha dinilai sejauh mana dia bangkit lagi ketika gagal. Pengusaha baru dikatakan gagal, apabila dia sendiri melempar handuk.

Bagi penulis, ini semacam refleksi bagi dunia pendidikan, khususnya bagi kampus-kampus bisnis yang memproklamirkan dirinya mencetak para entrepreneur Indonesia. Seberapa jauh kampus bisnis berkontribusi mencetak entrepreneur? Padahal menurut David McClelland, Indonesia setidaknya butuh minimal 2% pengusaha dari total populasi untuk membangun bangsa. Sementara, menurut Kementrian Koperasi dan UKM saat ini angkanya masih di bawah itu, yaitu 1,56%.

Jadi, jika ide gila Om Bob menjadi tantangan bagi dunia kampus bisnis, kira-kira pertanyaan yang diajukan adalah sudah efektifkah kampus-kampus bisnis tersebut mencetak entrepreneur? Hal tersebut bisa efektif jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:

Pertama, kampus memiliki sistem pendidikan yang memungkinkan siswanya memiliki pola pikir yang benar tentang menjadi pengusaha. Menjadi pengusaha butuh pola pikir yang tepat. Mengadopsi kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Calon pengusaha itu harus sudah menjadi pengusaha, sejak dalam pikirannya!”

Kedua, praktek, praktek, praktek! Buatlah kurikulum yang relevan dengan dunia bisnis dan memungkinkan siswa 95% waktunya untuk berpraktek daripada berteori. Praktek lapangan memberikan calon pengusaha kebebasan untuk berkreasi.

Ketiga, hadirkan mentor-mentor berkualitas. Mentor tidak sama dengan konseptor (akademisi). Mentor adalah orang-orang yang sudah sukses menjadi pengusaha atau setidaknya sudah pernah menjalankan bisnis. Mentor tidak hanya mampu membimbing, namun juga menginspirasi dan memotivasi.

Keempat, sistem penilaian perlu diubah. Sistem ujian di atas kertas sudah kurang relevan. Sebagai gantinya bisa dilakukan implementasi proyek bisnis. Proses jauh lebih penting daripada hasil. Penilaian gagal tidaknya seorang calon pengusaha tidak dilihat dari angka-angka. Calon pengusaha dikatakan gagal, jika dirinya sendiri yang berhenti jadi pengusaha.

Dengan demikian, semoga kampus-kampus di masa yang akan datang dapat mencetak para entreprenuer sejati menjadi lebih efektif.

Achmad Fahrozi, Dosen S1 dan S2 manajemendi PPM


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved