My Article

Melindungi Nasabah Asuransi di Kala Pandemi

Melindungi Nasabah Asuransi di Kala Pandemi

Oleh: Felicia Maria dan Rio Christiawan

Rio Christiawan

Beberapa waktu belakangan, jagat maya dihebohkan dengan thread dari salah satu pengguna Twitter yang mengaku bahwa asuransi pendidikan adiknya tidak bisa dicairkan ketika tenggat waktu selesai dengan alasan perusahaan sedang dalam masa sulit karena pandemi COVID-19, padahal ibunya telah membayar uang sejumlah Rp 250 ribu setiap bulannya selama 17 tahun untuk asuransi pendidikan tersebut.

Asuransi pendidikan pada dasarnya merupakan gabungan dari produk asuransi jiwa berjangka sebagai fitur utama dengan manfaat tabungan sebagai fitur tambahan. Pada dasarnya, asuransi merupakan bentuk perjanjian antara pemegang polis dan perusahaan asuransi sebagaimana telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 1 UU 40/2014 tentang Perasuransian. Oleh karena itu, dalam menganalisa permasalahan asuransi tidak hanya akan mengacu kepada hukum di bidang asuransi itu sendiri (UU 40/2014 tentang Perasuransian dan POJK 69/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah), melainkan juga akan mengacu kepada hukum di bidang keperdataan (KUHPerdata).

Perspektif Hukum

Pasal 31 ayat 3 UU 40/2014 jo. Pasal 36 POJK 69/2016 menyatakan bahwa penanganan klaim dan keluhan asuransi harus dilakukan dengan cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil. Pasal 40 POJK 69/2016 kemudian mempertegas bahwa pembayaran klaim asuransi dilakukan paling lambat 30 hari sejak terjadinya kesepakatan antara pemegang polis dengan perusahaan atau setelah tercapainya kepastian mengenai jumlah yang harus dibayarkan, tergantung mana yang lebih cepat.

Felicia Maria

Perusahaan asuransi diharuskan untuk menangani klaim secara cepat, dan cepat yang dimaksud adalah dalam 30 hari atau satu bulan. Dalam kasus ini, perusahaan meminta untuk menunda pembayaran klaim hingga 3 bulan, itupun belum ada kepastian apakah nantinya klaim akan benar-benar dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, atau 3 bulan tersebut hanya iming-iming semata perusahaan asuransi untuk meredakan amarah pihak yang dirugikan saja. Oleh karena itu, jika berlandaskan regulasi di bidang asuransi, jelas perusahaan asuransi telah melanggar batas waktu pembayaran klaim asuransi.

Sanksi yang dapat diberikan kepada perusahaan asuransi menurut UU 40/2014 dan POJK 69/2016 adalah sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sayangnya sanksi administratif tersebut bukanlah sanksi yang menguntungkan pihak yang dirugikan, karena tetap tidak ada suatu instrumen yang dapat memaksa perusahaan asuransi untuk mencairkan klaim asuransi pendidikan tersebut. Dapat dikatakan bahwa sanksi administratif oleh OJK tidak memberikan solusi apa-apa bagi pihak yang dirugikan dalam suatu sengketa asuransi.

Dalam hukum keperdataan Pandemi dapat diklasifikasikan sebagai keadaan memaksa atau force majeure sebagai alasan yang membebaskan debitur dari kewajiban ganti rugi dalam hal tidak terpenuhinya kewajiban oleh perusahaan asuransi. Kondisi ini diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Sedangkan pandemi dikelompokkan sebagai force majeur yakni keadaan atau peristiwa yang tidak terduga, dimana tidak ada yang bisa diperbuat terhadap keadaan atau peristiwa yang tidak terduga tersebut. Force majeure diatur melalui Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.

Kasus asuransi sebagaimana terjadi diatas, dapat dikelompokkan pada perjanjian yang dilanggar yakni tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Dunia asuransi mengenal badan penyelesaian sengketa alternatif yang dinamakan Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia atau BMAI. Proses penyelesaian sengketa asuransi dalam BMAI dilakukan melalui 3 tahap: mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Pada proses mediasi, diupayakan tercapainya suatu kesepakatan guna menyelesaikan sengketa asuransi secara adil dan wajar dengan bantuan dari mediator sebagai penengah. Apabila sengketa asuransi tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Ketua BMAI agar sengketa asuransi diselesaikan melalui proses ajudikasi. Sengketa asuransi di proses ajudikasi diputus oleh Majelis Ajudikasi yang ditunjuk oleh BMAI.

Apabila kedua proses tersebut gagal atau nilai tuntutan ganti ruginya melebihi yang telah ditentukan (Rp750 juta/klaim untuk asuransi kerugian atau umum dan Rp500 juta/klaim untuk asuransi jiwa atau jaminan sosial), maka sengketa asuransi akan diselesaikan melalui proses arbitrase. Sengketa di proses arbitrase diperiksa dan diadili oleh Arbiter Tunggal atau Majelis Arbitrase, dimana keputusannya bersifat final and binding. Untuk penyelesaian sengketa asuransi melalui proses mediasi dan ajudikasi tidak dikenakan biaya sepeserpun, sedangkan untuk proses arbitrase akan menyesuaikan dengan nilai klaim yang dipersengketakan.

Alternatif lain selain BMAI adalah penyelesaian sengketa asuransi melalui pengadilan dengan gugatan wanprestasi. Perlu diperhatikan lagi bahwa ada 2 lapisan kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan force majeure sebagai pembelaan di pengadilan. Kriteria pertama adalah adanya peristiwa yang dapat dianggap sebagai force majeure, dimana pandemi COVID-19 telah memenuhi kriteria ini. Sedangkan kriteria kedua adalah ada atau tidaknya best effort atau upaya terbaik untuk berusaha memenuhi perjanjian. Apabila hanya kriteria pertama saja yang terpenuhi, maka pembelaan force majeure belum dapat digunakan di pengadilan. Dalam kasus ini, perlu diteliti lebih lanjut apa saja upaya terbaik yang sudah dilakukan oleh perusahaan asuransi untuk berusaha membayar klaim tepat waktu. Apabila ternyata tidak terbukti perusahaan asuransi telah melakukan upaya terbaik atau best effort, maka sengketa asuransi ini tetap bisa diselesaikan melalui pengadilan dengan gugatan wanprestasi. Dengan demikian, pihak yang dirugikan tetap diberikan solusi untuk memperoleh apa yang menjadi haknya, begitu pula perusahaan asuransi yang tidak semata-mata menjadi bebas dari apa yang menjadi kewajibannya karena alasan force majeure.

Kalkulasi Hukum

Mengacu pada Pasal 19 ayat (1) UU No 8 /1999 tentang Perlindungan konsumen dalam hal ini nasabah asuransi sebagai konsumen berhak atas kompensasi atas kerugian yang diderita nasabah. Jika kompensasi tidak dipenuhi maka nasabah dapat melakukan upaya hukum, namun dalam hal ini penyelesaian melalui jalur hukum secara formal hanya akan menimbulkan kerugian pada nasabah dan pemerintah.

Sebagaimana diuraikan J.Satrio (2000:94), bahwa penyelesaian sengketa asuransi melalui jalur peradilan formal hanya akan membuat nasabah berada dalam labirin peradilan tanpa kepastian adanya pengembalian kerugian, padaha esensi dari upaya hukum tersebut adalah guna mengembalikan kerugian. Sebaliknya peran pemerintah harus dapat menjadi menjadi fasilitator bagi penyelesaian sengketa yang timbul.

Penyelesaian persoalan asuransi ini akan lebih efektif jika menggunakan jalur non peradilan (out of court settlement), yakni terkait solusi pembayaran klaim, baik penuh maupun bertahap (sesuai kesepakatan). Besaran kompensasi bagi nasabah menjadi bagian yang penting untuk disepakati dalam out of court settlement tersebut. Kedua adalah komitmen prioritas untuk pembayaran klaim nasabah dan penyelesaian, artinya limitasi waktu menjadi bagian yang penting untuk disepakati dalam penyelesaian tersebut. Terakhir yang perlu disertakan dalam penyelesaian melalui perjanjian out of court settlement adalah kondisi pertanggung jawaban jika hingga tenggat waktu yang pihak asuransi tetap tidak memenuhi kewajibannya

Penulis adalah Pengamat Hukum Universitas Prasetiya Mulya


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved