My Article

Mengenal Lebih Jauh Investasi Syariah, Bernama Mudharabah

Mengenal Lebih Jauh Investasi Syariah, Bernama Mudharabah

Oleh: Dr. Kautsar Riza Salman, SE., MSA., BKP., SAS., CA., CPA. (Dosen STIE Perbanas Surabaya, Penulis Buku dan Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia Bidang Akuntansi Syariah)

Dr. Kautsar R. Salman,

Di tengah kondisi pandemi saat ini, dimana banyak usaha atau investasi mengalami kemunduran usaha, bahkan banyak diantaranya mengalami rugi dan kebangkrutan. Bila kerugian hanya ditanggung oleh pemilik sekaligus pengusaha saja, tentu sangat memberatkan. Namun, bila kerugian tersebut dapat dibagi dengan pihak lain, maka akan mengurangi dampak akibat kerugian tersebut. Terlebih di masa pandemi covid-19 saat ini, dimana banyak usaha yang mengalami “gulung tikar”, usaha berbasis kemitraan dapat mengurangi dampak akibat risiko kerugian usaha. Artikel ringkas ini mencoba mengenalkan salah satu usaha berbasis kemitraan yang dikenal dengan sebutan “mudharabah”, agar pembaca memahami seluk beluk usaha ini dan juga bisa menjadi salah satu pilihan investasi berbasis syariah di tengah masa pandemi saat ini.

Apa itu Mudharabah?

Tentu, hal pertama yang dipertanyakan pembaca adalah apa sih mudharabah itu? Pembaca dapat melihat definisi mudharabah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 115 Tahun 2017 tentang akad mudharabah dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 105 tentang akuntansi mudharabah. Dari kedua sumber itu, mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha, dimana laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola dana.

Dari definisi ini, penulis melihat ada poin penting dari definisi mudharabah yaitu berkaitan dengan laba dan rugi usaha. Jika terjadi laba, maka dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi laba (profit sharing), tergantung mana yang pilih, yaitu adanya sharing atas laba yang diterima dari usaha yang dijalankan oleh pengelola dana. Sharing ini berupa porsi (nisbah) persentase yang telah disepakati di awal antara pemilik dan pengelola.

Bagaimana jika terjadi kerugian? Pada asalnya yang menanggung seluruhnya adalah pemilik dana, sehingga pengelola tidak boleh dibebani dengan kerugian usaha tersebut. Lebih jauh akan ditemukan jawabannya pada sisi keadilan dalam mudharabah.

Keadilan yang ditawarkan dalam Mudharabah

Next question adalah mengapa kerugian tidak dibebankan kepada pengelola? Maka jawabannya adalah itulah konsep keadilan yang ditawarkan dalam mudharabah. Pemilik dana yang menanggung seluruh kerugian usaha karena porsi modal (ekuitas) berada di tangan pemilik, sedangkan pengelola karena tidak memiliki porsi modal sama sekali sehingga tidak diperbolehkan menanggung kerugian usaha. Namun, pada hakikatnya sebenarnya pengelola juga turut menanggung kerugian “lain” berupa tidak memperoleh bagi hasil dari usaha yang dijalankan. Padahal, pengelola telah menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya. Kondisi ini terjadi jika kerugian tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengelola.

Trus, bagaimana jika kerugian karena kelalaian atau kesalahan pengelola? Pertanyaan yang menarik untuk dijawab. Jika kerugian terjadi karena kelalaian atau kesalahan pengelola maka pengelola lah yang harus bertanggung jawab penuh terhadap kerugian usaha yang terjadi. Pengelola yang harus menanggung kerugian tersebut dan ekuitas dari pemilik tetap dan tidak berkurang sedikitpun.

Lalu, lebih lanjut timbul pertanyaan mengenai apa saja bentuk kelalaian atau kesalahan yang dilakukan pengelola sehingga dia yang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut? Kelalaian atau kesalahan dapat ditunjukkan oleh: (a) tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan di dalam akad; (b) tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeur) yang lazim dan/atau yang telah ditentukan di dalam akad; atau (c) hasil putusan dari badan arbitrase atau pengadilan.

High Risk dan Risk Sharing dalam Mudharabah

Setelah memahami konsep mudharabah dan keadilannya, mari kita melangkah lebih jauh pada karakteristik (features) mudharabah. Sebagai salah satu jenis investasi, tentu mudharabah memiliki karakteristik yang berbeda dengan jual beli semacam murabahah, salam, istishna’ dan ijarah.

Pembaca harus paham bahwa ada risiko bawaan (inherent risk) yang melekat pada mudharabah. Apa sih inherent risk dari mudharabah? Inherent risk yang ada dalam akad mudharabah adalah high risk dan risk sharing. Risiko yang tinggi ini wajar terjadi karena adanya ketidakpastian (uncertainty) dalam setiap investasi usaha, kadang laba, dan kadang rugi. Pada sisi lain, jika ada jaminan untung terus, tanpa pernah rugi, maka ini malah yang tidak wajar dan bahkan tidak boleh pemilik dana mematok persentase tingkat bagi hasil tertentu yang konstan dari jumlah modal yang disetor.

Ada satu poin krusial yang harus diingat pembaca dalam mudharabah pada satu sisi adalah tidak boleh ada jaminan atas modal. Pemilik dana tidak boleh menjamin modalnya agar tetap jumlahnya dan tidak berkurang karena adanya kerugian. Sebaliknya, jika pemilik menjamin modalnya dari kerugian, maka mudharabah telah berubah dan berganti arah menjadi pinjam meminjam (qardh). Bila sudah berubah menjadi qardh, maka bagi hasil yang diterima pemilik modal dari pengelola sejatinya terhitung sebagai bunga, dan bukan sebagai bagi hasil.

Namun pada sisi yang lain, risiko tersebut dapat dibagi antara pemilik dana dan pengelola. Seperti ter-caption sebelumnya, kerugian pada asalnya ditanggung sepenuhnya oleh pemilik dana, kecuali pengelola lalai. Bila pengelola lalai, maka pengelola yang harus menanggung kerugian tersebut. Disinilah letak pembagian risiko (risk sharing) dalam mudharabah.

Sistem Distribusi Hasil Usaha

Pembaca pasti bertanya “Bagaimana sistem dan prinsip distribusi hasil usaha yang menguntungkan kedua belah pihak?” Sistem distribusi hasil usaha berhubungan dengan sistem pencatatan dan pelaporan akuntansi. Dalam akuntansi bisnis, dikenal dua sistem yaitu cash basis dan accrual basis. Cash basis mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan pada saat terjadinya, sedangkan accrual basis membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada beberapa periode. Pembaca dapat merujuk penjelasan sistem distribusi hasil usaha pada Fatwa DSN MUI Nomor 14 tahun 2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah.

Dalam fatwa tersebut diatur bahwa pada prinsipnya, dalam administrasi keuangan dapat digunakan sistem accrual basis maupun cash basis. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), dalam pencatatan sebaiknya digunakan system accrual basis, akan tetapi, dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basis). Sistem distribusi mana yang akan dipilih harus disepakati dalam akad.

Dari isi fatwa tersebut, pembaca dapat mengetahui bahwa dalam pencatatan akuntansi tetap digunakan dasar akrual, sedangkan dalam perhitungan dan distribusi hasil usaha atau hasil laba dipakai dasar kas. Disinilah letak perbedaan mendasar antara akuntansi mudharabah dengan akuntansi investasi pada umumnya.

Prinsip Distribusi Hasil Usaha

Melanjutkan jawaban atas pertanyaan sebelumnya mengenai prinsip distribusi bagi hasil. Prinsip distribusi bagi hasil boleh didasarkan pada bagi untung (profit sharing) atau bagi hasil (net revenue sharing). Hal ini diatur dalam Fatwa DSN MUI Nomor 15 Tahun 2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah. Profit sharing merupakan bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal dan biaya-biaya. Sebaliknya, net revenue sharing dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal.

Pada dasarnya, boleh digunakan kedua prinsip tersebut dalam pembagian hasil usaha antara pemilik dan pengelola. Namun, dilihat dari sisi kemaslahatan saat ini, pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (net revenue sharing). Senada dengan sistem distribusi hasil usaha, penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.

Penutup

Di tengah pandemi saat ini, usaha berbasis kemitraan semacam mudharabah ini dirasa lebih menguntungkan karena menawarkan banyak keunggulan diantaranya adanya kolaborasi modal dan skill dari pemodal dan pengelola, adanya keadilan dalam mudharabah, pembagian risiko antara pemilik dan pengelola, serta distribusi hasil usaha yang adil dan jelas. Semoga artikel ringkas ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dalam menambah literasi investasi syariah dan tentu sebagai salah satu pilihan investasi yang menarik dan menguntungkan bagi pembaca. Selamat mencoba!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved