My Article

Nakhoda Baru di Kapal Oleng

Nakhoda Baru di Kapal Oleng

Oleh: Ningky Sasanti Munir – Kelompok Bidang Keahlian Strategi Transformasi dan Inovasi PPM Manajemen

Dr. Ningky Sasanti Munir - Koordinator Kelompok Keahlian Manajemen Strategi dan Entrepreneurship | PPM School of Management
Ningky Sasanti Munir – Kelompok Keahlian Transformasi Stratejik dan Inovasi PPM Manajemen

Agak jauh sedikit ke belakang, pada Mei 2019, The We Company atau yang lebih dikenal sebagai WeWork, perusahaan rintisan coworking space dinobatkan sebagai perusahaan rintisan yang paling berharga di dunia. Nilai valuasi perusahaan yang disokong oleh perusahaan investasi asal Jepang Softbank ini, adalah 47 miliar USD atau kurang lebih Rp 658 triliun. Fantastis.

Yang lebih mencengangkan, kurang dari enam bulan berikutnya perusahaan ini berada dalam tubir kebangkrutan, dan mengumumkan pengurangan 2.400 karyawannya. Untuk menyelamatkan kapal barunya yang makin oleng, Softbank mengganti nakhoda WeWork.

Dari dalam negeri, pergantian pimpinan puncak perusahaan BUMN banyak terjadi dalam tiga bulan terakhir. PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk., PT PLN (Persero), dan lain-lain. Lebih jauh ke belakang, pertengahan tahun 2018, Hexana Tri Sasongko diangkat menjadi nakhoda PT Jiwasraya (Persero) untuk memulihkan kinerja dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap BUMN asuransi tersebut.

Di sektor swasta nasional, salah satu unicorn Indonesia, Bukalapak juga mengalami pergantian pimpinan puncak, di mana pendiri Bukalapak, Ahmad Zaky digantikan oleh Rachmat Kaimuddin. Pergantian pimpinan ini konon sebagai salah satu strategi untuk menjadikan Bukalapak unicorn yang menghasilkan keuntungan.

Kalau diperhatikan, latar belakang para pimpinan baru ini tidak selalu selaras dengan bidang bisnis perusahaannya. Pendiri dan pimpinan WeWork sebelumnya, Adam Neumaan, 39 tahun, digantikan oleh Sandeep Lakhmi Mathrani, 57 tahun. Dari pemimpin yang milenial, nyentrik, dan mengelola usaha agak suka-suka, WeWork kini memiliki CEO seorang yang terkenal low profile, serius, ahli real estate, dan punya rekam jejak meyakinkan dalam hal transformasi bisnis property. Irfan Setiaputra dari bisnis tambang dan elektronika menjadi “kapten” di Garuda Indonesia.

Awal Januari lalu, Nike Inc. mengumumkan John Donahue sebagai CEO baru. Keputusan ini mengejutkan karena Donahue tidak pernah dikenal sebagai orang di dunia fashion dan apparel, sangat berbeda dengan CEO terdahulu, Mark Parker, yang punya reputasi terhormat di bidang footwear design.

Penunjukan Donahue yang ahli teknologi diduga karena selama beberapa tahun terakhir Nike melakukan investasi besar-besaran pada berbagai teknologi dan mengakuisisi dua perusahaan teknologi, yaitu Zodiac, perusahaan data-analytics serta Celect, perusahaan predictive-analytics. Donahue tentu diharapkan akan mampu membawa Nike Inc. menjadi lebih futuristik dan mampu menggunakan data pelanggan untuk memberikan produk serta layanan yang lebih personal.

Muncul pertanyaan, dapatkah pimpinan baru membawa perusahaannya kembali berjaya?

Apa yang Dirasakan Karyawan?

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kemungkinan berhasilnya pimpinan baru, ada baiknya kita memahami apa yang dirasakan oleh para eksekutif dan karyawan di perusahaan dengan pemimpin baru. Mungkin ada yang merasa bersemangat, ada pula yang kesal, tidak sedikit pula yang tidak peduli.

Salah satu masalah yang paling membuat karyawan stres adalah kenyataan bahwa peran, posisi, dan jaringan internal mereka tiba-tiba menghilang dalam semalam begitu pimpinan baru memegang kendali dan mulai membuat perubahan. Mereka perlu memiliki kepercayaan bahwa kepemimpinan baru memiliki kemampuan untuk mengarahkan melalui wilayah yang belum dipetakan.

Hanya dengan kepercayaan seperti itu karyawan dapat merasa cukup aman untuk melepaskan beberapa bias lama tentang bagaimana perusahaan harus beroperasi, dengan cepat menjadi nyaman dengan strategi baru, dan merendahkan diri mereka pada kenyataan bahwa banyak reputasi dan hubungan yang telah mereka bangun sebelumnya mungkin harus dibangun kembali. Ini adalah masalah yang sulit untuk dihadapi, dan sering kali mengapa banyak eksekutif (yang bagus) pergi ketika direktur utama atau CEO baru dan perubahan rezim terjadi.

Di sisi positif, pimpinan baru sering kali berarti energi baru, pertumbuhan bisnis, dan peluang untuk bergerak ke arah baru. Sebagai contoh, ketika Mark Hoffman, CEO dan pendiri perusahaan piranti lunak Sybase pergi meninggalkan perusahaannya untuk membesarkan perusahaan-perusahaan rintisan lain, ia digantikan oleh CEO baru John Chen. Pada saat itu, Sybase dalam kondisi berjuang untuk tumbuh dan gagal memahami pasar yang sebenarnya sedang berkembang pesat. Chen datang dengan perspektif baru, membawa tim manajemen yang sama sekali baru, dan mengambil pandangan skeptis terhadap hampir setiap produk dan strategi penjualan di perusahaan.

Selama kepemimpinan Chen, Sybase membuat banyak perubahan pada strategi produk, kantor pusat perusahaan dipindahkan dan target pasar pelanggan berubah. Dalam waktu setahun banyak pemimpin senior dari “rezim” sebelumnya pergi. Butuh bertahun-tahun, tetapi akhirnya Sybase menjadi perusahaan besar yang terkemuka, yang kemudian diakuisisi SAP seharga $5,8 miliar. SAP mengakuisisi Sybase sebagai bagian dari strategi SAP menghadapi persaingan dengan Oracle yang baru saja mengakuisisi Sun Microsystems.

Dalam banyak kasus, CEO baru mungkin dirasa “mengganggu” dan tak terduga. Karena harus berurusan dengan ketidakpastian, karyawan menjadi tidak tenang. Para nakhoda baru ini perlu meluangkan waktu untuk mengomunikasikan bagaimana dan mengapa keputusan baru telah dibuat.

Jika karyawan eksekutif menemukan kepemimpinan baru mustahil untuk diterima atau dipahami, perusahaan mungkin akan segera menghadapi konsekuensi mahal dari pergantian eksekutif yang tinggi. Dalam konteks BUMN misalnya, pergantian eksekutif karena kepemimpinan baru langka terjadi, namun desakan karyawan agar direksi mundur kerap terjadi sehingga mengganggu operasional dan citra perusahaan.

Strategi Memimpin Kapal Baru: Kekuatan Sang Nakhoda

Di bawah ini adalah pengalaman dari tiga orang nakhoda kapal oleng yang terbukti mampu menegakkan kembali kapalnya, dan membawanya berlayar dengan percaya diri di samudera luas. Ketiga orang pemimpin transformasi ini kebetulan berasal dari luar Indonesia, yaitu Jochen Zeits CEO Harley Davidson, Allan Mullaly CEO Ford, dan James Quincey CEO Coca Cola.

Akhir Februari lalu, CEO Harley Davidson, Matt Levatich, akhirnya diganti karena selama lima tahun terakhir kinerja perusahaan terus menurun. Levatich digantikan oleh Jochen Zeitz, salah satu eksekutif di perusahaan yang sama. Zeits adalah sosok yang legendaris. Pada usia baru 30 tahun, Zeits menjadi Chairman dan CEO PUMA yang saat itu dalam kondisi nyaris karam. Satu dekade kemudian, Zeits berhasil membawa PUMA menjadi perusahaan desainer dan manufaktur sepatu, apparel, dan aksesori olah raga serta kasual terbesar ketiga di dunia. Kiat keberhasilan Zeits sebagai nakhoda baru dalam kapal lama yang oleng (atau tidak) adalah “menetapkan visi yang kuat dan berjuang menerjemahkannya menjadi kenyataan.”

Menurut Zeits, ketika organisasi mengalami masa pergolakan dan Anda berada dalam posisi sebagai pemimpin perubahan, Anda harus tetap didorong oleh tujuan atau visi yang kuat. Jika pemimpin organisasi membelok dari tujuan organisasi, bagaimana mungkin eksekutif dan karyawan organisasi itu tetap pada sasaran? Itu tidak akan terjadi.

Zeits mengaku pada awal masa kepemimpinannya ia tidak tahu strategi yang pas dan merasa lebih gugup daripada yang pernah dialami dalam karirnya. Bahkan kritik dari dunia luar mungkin berada pada titik tertinggi sepanjang masa hidupnya. Apalagi saat itu ia merupakan CEO termuda di Jerman. Tetapi menurut Zeits ia mengarahkan semua fokus perhatian untuk tetap berupaya didorong oleh tujuan perusahaan. Pada akhirnya “bagaimana” (strategi) akan muncul dengan sendirinya.

Alan Mullaly, menjadi CEO Ford bahkan ketika perusahaan sudah karam, pabrik-pabrik kosong tidak berproduksi, perusahaan dan karyawan kehilangan penjualan, reputasi, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Publik yakin bahwa Ford akan mengumumkan kebangkrutan dalam hitungan hari.

Mullaly justru menerima tawaran untuk masuk Ford, untuk memotivasi, menginspirasi, dan memimpin segenap eksekutif dan karyawan Ford melakukan transformasi. Suatu pekerjaan yang dipandang mustahil oleh kebanyakan orang, walau dengan imbalan sebesar apapun. Apalagi penunjukkan Mullaly sebagai CEO merupakan kejutan. Bayangkan, Mulaly adalah ahli teknik penerbangan, membangun karier yang cemerlang di Boeing sehingga menjadi CEO dari Boeing Commercial Aircraft. Ahli pesawat terbang, pasti, tapi tahu apa dia soal mobil?

Mullaly mengingatkan bahwa Jika seorang pemimpin tidak mengenal dirinya sendiri, ia tidak bisa memimpin diri sendiri, dan jika pemimpin tersebut tidak bisa memimpin diri sendiri, ia tidak mungkin bisa memimpin orang lain.

Seperti juga dengan Zeits di Harley Davidson, untuk memimpin transformasi, seorang pemimpin harus memiliki pemahaman yang jelas tentang nilai-nilai dan prioritasnya, serta motivasi untuk mengambil tugas yang sangat besar tersebut. Menyusun strategi, menjalankannya bersama orang-orang berbakat yang kompak tidaklah cukup. Orang juga perlu memahami apakah hal yang dilakukannya ini bermakna. Kita semua ingin tahu bahwa kita melakukan hal-hal yang penting, bahwa kita menginspirasi dan memotivasi banyak orang, dan bahwa apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.

Yang dilakukan Mullaly dan “One Team Ford” terbukti sangat besar, bangkitnya Ford. Pada Q3 tahun 2019, Ford berhasil membukukan pendapatan sebesar US$ 33,93 miliar dengan laba operasional sebesar US$ 6,5 miliar.

Lalu siapa yang tidak kenal Coca Cola? Minuman yang telah berusia lebih dari satu abad tersebut ditenggak rutin oleh salah satu orang terkaya di dunia, Warren Buffet. Namun minuman bersoda dengan gula tinggi ini dipandang sebagai minuman yang kurang sehat.

Berubahnya gaya hidup dan membesarnya tekanan dari minuman-minuman kategori non soda, membuat kapal Coca Cola berlayar lebih lamban. Pada pertengahan tahun 2018, James Quincey menjadi CEO Coca-Cola, menggantikan Muhtar Kent yang telah menjabat selama satu dekade. “Apa yang membawa kita sukses selama 130 tahun ini, tidak akan membawa kita sukses 130 tahun ke depan,” demikian arahan yang diberikan Quincey di hari pertama sebagai CEO.

Quincey juga menegaskan bahwa alih-alih menjual produk yang ingin dijual perusahaan, Coke selanjutnya akan menjual “apa yang benar-benar diinginkan konsumen di lemari es mereka, di atas meja mereka dan di tangan mereka.” Kini konsumen benar-benar raja bagi Coke.

Quincey mengakuisisi perusahaan minuman non soda, membangun brand baru, mengembangkan ketegori minuman baru, dan melakukan investasi besar-besaran untuk memperkuat strategi digitalnya Terlepas dari semua perubahan ini, Quincey mengatakan Coca Cola tidak akan meninggalkan produk legendarisnya dalam waktu dekat. “Saya kira tidak akan ada hari tanpa Coke. Dunia akan menjadi tempat yang lebih kecil dan lebih menyedihkan jika tidak ada Coke,” katanya.

Mindset atau pola pikir CEO terlihat dalam kata-kata dan tindakan mereka. Investor, karyawan, dan pemangku kepentingan lainnya memperhatikan pola pikir eksekutif sehingga mereka dapat menentukan apakah bisa memercayai para pemimpin ini. Apalagi kalau pemimpin itu adalah nakhoda baru.

Kegigihan

Tidak ada yang menikmati perubahan, dan itu terutama berlaku untuk karyawan. Mereka akan tergoda untuk menyerah, memperlambat dan kehilangan fokus dari keseluruhan tujuan. Mengencangkan ikat pinggang untuk berapa lama? Akhirnya pertanyaan akan berubah menjadi, untuk apa kita harus mengencangkan ikat pinggang?

Adalah tugas pimpinan untuk menanamkan budaya kegigihan. Sangat sulit untuk melihat hasil akhir upaya perubahan. Sangat enggan untuk bergerak maju ketika rasanya tidak ada yang dicapai. Kegigihan bukan hanya sifat dari orang-orang yang paling sukses, itu adalah tulang punggung organisasi yang benar-benar berkembang selama masa perubahan ekstrem.

Bertahan dan tetap berada di jalur meskipun kemajuan tampaknya minimal adalah mutlak ketika memimpin melalui perubahan. Orang pertama yang harus terus bertahan adalah, tentu, sang nakhoda.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved