My Article

New Insight mengenai Ketidakjelasan (Gharar) dalam Akad Ijarah

Oleh Editor
New Insight mengenai Ketidakjelasan (Gharar) dalam Akad Ijarah

Oleh: Dr. Kautsar Riza Salman, Penulis Buku Akuntansi Syariah dan Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Bidang Akuntansi Syariah

Dr. Kautsar R. Salman,

Pendahuluan

Ketidakjelasan informasi produk atau jasa pada saat akad (kontrak) disepakati menyangkut kualitas, kuantitas, harga, dan delivery time dibahasakan secara singkat dengan gharar. Permasalahan gharar dianggap sangat strategis dalam ilmu muamalah bisnis saat ini, tidak saja karena gharar merupakan rambu-rambu larangan selain riba, juga karena praktik gharar dewasa ini lebih beragam bentuknya. Bahkan gharar ini biasa dipraktikkan oleh banyak perusahaan karena sangat erat kaitannya dengan kebutuhan dan kinerja perusahaan. Pemberi kerja dan pegawai dalam kontrak kerjanya juga tidak terlepas dari yang namanya gharar dalam setiap akad ijarah atau pemberian jasa dari pegawai ke pemberi kerja.

Pertanyaan pertama yang menarik untuk diulas dalam artikel ini adalah “Bagaimana praktik gharar terjadi dalam kontrak pemberi kerja dan pegawai terutama bonus dan komisi?” Pertanyaan selanjutnya adalah “Apakah gharar tersebut tergolong sebagai gharar yang dilarang atau dibolehkan?” Artikel ringkas ini akan menjawab dua pertanyaan tersebut sekaligus memberi pencerahan (new insight) kepada pembaca mengenai gharar dalam akad ijarah jasa khususnya dalam pemberian bonus dan komisi.

Nilai gharar tidak signifikan atau tidak mungkin dihindari

Tidak semua gharar atau ketidakjelasan itu dilarang. Ada beberapa kriteria gharar yang masih bisa dimaafkan sehingga keberadaannya tidak masalah dalam suatu akad. Kriteria pertama adalah nilai gharar-nya tidak signifikan atau tidak mungkin dihindari. Kondisi ini sering terjadi dan tidak dapat terhindarkan seperti dalam transaksi pembelian mobil dimana timbul ketidaktahuan pembeli tentang bagian mesin mobil, transaksi pembelian saham dimana trader tidak tahu aset atau kinerja emiten, atau transaksi pembelian rumah karena pembeli tidak mengetahui pondasi rumah dan lain sebagainya. Gharar semacam ini tidak mengapa dan tidak dilarang.

Kriteria pertama ini dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim dimana beliau berkata: “Gharar dalam jumlah kecil atau yang tidak mungkin dihindari, tidak mempengaruhi keabsahan akad. Berbeda dengan gharar dalam jumlah besar atau gharar yang mungkin dihindari.”

Keberadaan gharar hanya sebagai pengikut, bukan mendasar dalam akad

Eksistensi gharar hanya sebagai ikutan atau sampingan saja, bukan tujuan atau mendasar dari sebuah akad jual beli. Jika keberadaan gharar hanya pengikut dan bukan tujuan akad jual beli, maka gharar-nya masih diperbolehkan seperti transaksi pembelian dimana sebagian buahnya belum matang. Gharar semacam ini dimaafkan dan tentu saja tidak memberi efek terhadap suatu akad.

Gharar pada akad yang dibutuhkan masyarakat

Apabila gharar terjadi pada akad yang dibutuhkan oleh orang banyak, maka gharar-nya dimaafkan sehingga akadnya sah dan jual belinya dibolehkan. Hal ini dikuatkan oleh para ulama. Imam An-Nawawi berkata, “Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia, maka akadnya dibolehkan.” Ibnu Taimiyyah berkata, “mudharat gharar di bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika diharamkan mudharatnya lebih besar daripada dibolehkan.” Contohnya adalah transaksi penjualan barang yang ada dalam kemasan. Hampir semua produk terjual dalam bentuk kemasan. Transaksi ini meskipun terjadi gharar, karena adanya kebutuhan masyarakat maka dibolehkan.

Eksistensi gharar terjadi pada akad di luar jual beli, sewa menyewa dan investasi

Gharar yang dilarang hanya pada akad jual beli, sewa menyewa dan investasi. Sebaliknya, gharar yang terjadi pada akad hibah, sedekah dan wasiat tidak mengapa karena tidak ada pihak yang dirugikan. Hal ini diperkuat dengan suatu kaidah fiqh yang menyatakan “Gharar dalam akad hibah tidak merusak akad”

Masalah Gharar dalam Pemberian Bonus

Gaji pokok bernilai tetap setiap bulan sehingga tidak terjadi gharar di dalamnya. Di sisi lain, bonus nilainya bervariasi atau berfluktuasi setiap bulan, dan nilainya bisa lebih besar atau lebih kecil dari gaji pokok, sehingga bonus yang diterima pegawai adalah tidak jelas pada saat akad kontrak disepakati. Kondisi inilah menimbulkan gharar. Bagaimana status gharar-nya? Termasuk gharar yang dilarang atau dibolehkan?

Gharar boleh dalam Pemberian Bonus

Gharar dalam pemberian bonus adalah dibolehkan karena status bonus hanya sebagai pengikut saja, bukan mendasar dalam suatu akad kontrak bagi pegawai. Kontrak semacam ini tidak merusak akad sehingga hukum pemberian gaji dan bonus dalam satu paket adalah boleh dan tidak dilarang. Ketidakjelasan nilai bonus yang diterima karyawan tidak mengapa dan juga tidak merusak akad kontrak gaji dan bonus karena status bonus hanya sebagai pengikut saja.

Masalah Gharar dalam Penetapan Upah Berdasarkan Persentase Besarnya Penjualan

Kontrak seperti ini biasa terjadi pada bagian marketing yang menerima upah dalam bentuk komisi yang dihitung berdasarkan besarnya penjualan yang berhasil diraih. Banyak perusahaan menggunakan skema pembayaran seperti ini dalam rangka untuk efisiensi. Skema ini dipakai karena perusahaan telah mengeluarkan biaya investasi dan biaya produksi yang cukup besar pada aset tetap dan produk yang dijualnya, ditambah lagi belum adanya konsumen tetap.

Kontrak akad seperti ini jelas menimbulkan gharar karena bagian marketing tidak mengetahui secara jelas berapa jumlah upah yang akan diterimanya (take home pay), bisa lebih besar karena barang yang terjual banyak, bisa lebih kecil jika barang yang terjualnya sedikit, atau bahkan tidak menerima komisi sama sekali dalam sebulan karena tidak berhasil menjual satupun produk.

Gharar dalam komisi dibolehkan karena termasuk akad ju’alah

Gharar dalam kasus ini adalah dibolehkan karena akad ini sangat dibutuhkan dan memberikan kemaslahatan bagi banyak pihak seperti perusahaan serta memberikan keadilan bagi karyawan. Pada satu sisi, perusahaan telah mengeluarkan biaya investasi dan biaya produksi yang sangat besar untuk menghasilkan barang tersebut. Jika dibayarkan dalam bentuk gaji tetap setiap bulan tentu malah merugikan perusahaan, terlebih jika itu merupakan produk baru atau tidak adanya kinerja yang baik dari bagian marketing, namun perusahaan tetap membayar gaji secara penuh.

Dari sisi karyawan marketing, sistem komisi memberikan rasa keadilan. Karyawan yang berkinerja high performance, karena memiliki great communication skill (social skill) dengan customer akan akan menerima komisi yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan lainnya karena berhasil mendatangkan customer yang lebih banyak. Inilah sistem keadilan dan sistem muamalah sangat mengedepankan prinsip keadilan.

Akad pemberian komisi ini sebenarnya lebih dekat kepada akad ju’alah (sayembara) bukan akad ijarah. Bila pada akad ijarah disyaratkan harus ada kejelasan pekerjaan, terbatasnya waktu kerja, kejelasan upah (imbalan), dan upah menjadi hak pekerja dengan berlalunya waktu. Kasus pemberian komisi ini lebih mengarah ke ju’alah atau sayembara karena memiliki sifat dan karakteristik seperti tidak adanya kejelasan dalam pekerjaan kecuali menjual produk, tidak terbatasnya waktu pekerjaan, upahnya jelas dan diukur dengan persentase tertentu, serta upah menjadi hak pekerja tidak dengan berlalunya waktu tetapi dengan seberapa besar hasil kerjanya. Dari caption akad ju’alah tersebut, menjadi terang bahwa gharar dalam akad ju’alah tidak mengapa.

Penutup

Semoga artikel ringkas ini memberikan new insight kepada para pembaca dan tentu ketenangan kepada pemberi kerja bahwa kontrak pemberiaan bonus dan komisi adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved