My Article

Peradilan Pelayaran: Normal Baru Industri Maritim

Peradilan Pelayaran: Normal Baru Industri Maritim

Oleh: Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn. dan Yeselia Salim*

DR. Rio Christiawan

Mengacu pada Deklarasi Djuanda pada tahun 1957, menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan. Deklarasi ini menjadi sejarah yang menghasilkan pengakuan atas laut Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga meliputi wilayah laut kepulauan.Sektor maritim merupakan potensi yang sangat luar biasa terhadap perekonomian Indonesia,namun kepastian hukum dalam sektor maritim masih dinilai rendah karena tumpang tindih peraturan perundang undangan di sektor maritime maupun disebabkan karena faktor penegakan hukum.

Beragamnya regulasi di atas laut pada akhirnya memberikan wewenang bagi instansi yang berbeda-beda dalam hal penanganan laut. Hingga saat ini, setidaknya terdapat 17 undang-undang yang berkaitan dengan penegakan hukum di sektor maritim. Di sektor privat , kendala pada persoalan kemaritiman antara lain, rumitnya proses investasi, perdagangan, dan bongkar-muat di sektor kemaritiman karena izin dari instansi yang tidak jelas justru mengakibatkan kerugian materil di sektor pelayaran.

Kondisi seperti ini semakin diperburuk dengan melekatnya ego sektoral dari masing-masing instansi dalam menjalankan wewenangnya sehingga menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum. Contohnya dalam hal ini terkait dengan industri pengangkutan batu bara. Suatu tongkang (jenis kapal dengan lambung datar) batu bara yang memiliki kapasitas angkut mencapai tiga ratus ribu ton dengan nilai kargo sejumlah satu miliar sampai dengan satu setengah miliar rupiah memerlukan biaya operasional sebanyak dua puluh juta per hari.

Tentunya keberangkatan tongkang tersebut tidak luput dari pemberian izin dari instansi tertentu. Akan tetapi, setelah diberikan izin untuk pelayaran oleh instansi terkait, tongkang tersebut dapat secara tiba-tiba diberhentikan oleh instansi lainnya dalam waktu yang tidak dapat diperkirakan. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan perjalanan dan biaya operasional pelayaran tidak dapat diprediksi dan pastinya akan memakan waktu lebih lama dan biaya yang lebih mahal . Dalam dunia bisnis, terutama investasi, kepastian (business certainty) adalah hal yang sangat dasar untuk dapat memberikan proyeksi terhadap usaha yang sedang dijalankan termasuk di sektor maritim.

Yeselia Salim

Saat ini terdapat enam instansi penegak hukum di sektor maritim berdasarkan peraturan perundang-undangan, antara lain: TNI-AL, POLRI/Direktorat Kepolisian Perairan, Kementerian Perhubungan-Dirjen Hubla, Kementerian Kelautan dan Perikanan-Dirjen PSDKP, Kementerian Keuangan-Dirjen Bea Cukai, dan Bakorkamla yang memiliki satuan petugas untuk patroli. Banyaknya undang-undang yang mengatur secara berbeda memberikan instansi-instansi tersebut kewenangan yang berbeda pula.

Eksistensi Mahkamah Pelayaran

pemerintah sebagai regulator juga perlu merivitalisasikan fungsi Mahkamah Pelayaran sesuai Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran. Pentingnya revitalisasi Mahkamah Pelayaran ini karena UU Pelayaran sebagai lex spesialis yang telah mengadopsi prinsip Safety of Life at Sea (SOLAS) Di Indonesia Mahkamah Pelayaran bertugas untuk melaksanakan sidang pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal terhadap kecelakaan kapal yang disebabkan oleh ada maupun tidak adanya kesalahan nahkoda atau perwira kapal dalam menerapkan standar.

Dalam hal ini dapat dipahami jika terjadi gap antara peradilan umum dan Mahkamah Pelayaran, karena prinsip-prinsip khusus (lex spesialis) berada dalam kompetensi Mahkamah Pelayaran yang bukan bagian dari yudikatif sebagaimana peradilan umum yang mengadili perkara kecelakaan kapal laut dengan perspektif penegakan hukum non nautika ( diluar perairan). Hakim pengadilan maritim (admiralty court) tidak hanya menguasai peraturan perundangan saja tetapi juga menguasai seluk beluk pelayaran, sehingga putusan pengadilan maritime dapat dipergunakan pada aspek preventif untuk mengantisipasi terulangnya kejadian.

Keberadaan Mahkamah Pelayaran di Indonesia dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Ordonantie op den Raad voor de Scheepvaart (staatsblad 1934 No 215) yang efektif berlaku sejak 1 April 1938 berkedudukan dibawah departemen kelautan pada masa itu. Setelah Indonesia merdeka kelembagaan Mahkamah Pelayaran telah ditegaskan melalui Keputusan Menteri Perhubungan nomor PM-U / 74 tanggal 6 Agustus 1974, bahwa Mahkamah Pelayaran adalah suatu badan peradilan administratif di lingkungan departemen perhubungan yang berdiri sendiri sesuai perundangan yang berlaku. Kelembagaan tersebut tetap dipertahankan hingga terbitnya Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran.

Artinya Mahkamah Pelayaran adalah bagian dari eksekutif mengingat kedudukannya dibawah Departemen Perhubungan, sehingga dapat dipahami bahwa Mahkamah Pelayaran hanya menentukan sanksi administrasi terkait profesi kepelautan mengingat Mahkamah Pelayaran bukan merupakan bagian dari yudikatif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Menariknya justru UU Pelayaran memberi akses dan kewenangan kepada Mahkamah Pelayaran untuk mengadakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan pelayaran, mempelajari sebab-akibat berdasarkan prinsip hukum condition sine qua non atas kesalahan/ kelalaian pada kecelakaan perairan, namun Mahkamah Pelayaran hanya diberi hak untuk menjatuhkan sanksi administratif. Hal ini justru membuat ruang lingkup peran Mahkamah Pelayaran menjadi sangat terbatas khususnya dalam mengungkap penyebab kecelakaan terkait aspek-aspek teknis maupun keselamatan yang tidak dipenuhi, padahal justru bagian inilah yang sangat berguna secara preventif untuk mencegah terjadinya kecelakaan pelayaran.

Revitalisasi Mahkamah Pelayaran

Inggris merupakan negara dengan peradilan maritime tertua yakni sejak abad 14 , yang secara tegas memasukkan fungsi Mahkamah Pelayaran kedalam kewenangan yudikatif dengan nama peradilan maritim (admiralty court) dengan definisi “Admiralty court, also known as maritime court , are court exercising jurisdiction over all maritime contracts,tort, injuries and offenses…”.

Sebagaimana di Inggris ,sebenarnya Mahkamah Pelayaran di Indonesia dengan kewenangan yang diberikan oleh UU Pelayaran telah dapat ditransformasikan menjadi peradilan maritime sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif dengan penyesuaian administrative, mengingat di dalam UU Pelayaran juga disebutkan aspek independensi dari Mahkamah Pelayaran sehingga akan lebih tepat jika Mahkamah Pelayaran menjadi peradilan maritim yang bukan merupakan bagian dari eksekutif.

Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 1998 sebenarnya telah mengkonstruksikan Mahkamah Pelayaran sebagai peradilan Ad-hoc dengan dipimpin seorang sarjana hukum dan didampingi hakim yang memiliki pengetahuan di bidang teknis pelayaran sekurang-kurangnya setara ahli nautika tingkat II dan memiliki pengalaman kerja sekurang-kurangnya 12 tahun. Konstruksi ini sama persis dengan beberapa model peradilan Ad-hoc di Indonesia seperti peradilan hubungan industrial misalnya.

Langkah terakhir dalam merevitalisasi Mahkamah Pelayaran menuju pada pembentukan pengadilan maritim adalah memperkuat secara kelembagaan, karena saat ini Mahkamah Pelayaran hanya berkedudukan di Jakarta saja. Dengan wilayah lautan Indonesia begitu luas peradilan maritim idealnya berkedudukan di setiap propinsi sehingga dapat mengoptimalkan peran pengadilan maritim sebagai bentuk transformasi dari Mahkamah pelayaran. Pembentukan pengadilan maritim di setiap propinsi ini diperlukan sebab pada kasus kecelakaan perairan sidang dan pembuktian tentang kesalahan utamanya persoalan teknis harus dilaksanakan di lokasi kecelakaan dengan waktu yang relatif cepat.

Sesuai konsep revitalisasi Mahkamah Pelayaran menjadi peradilan maritime maka harus diatur mengenai kompetensi peradilan maritim itu sendiri, karena idealnya peradilan maritim hanya menangani perkara kecelakaan / insiden di perairan dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan dalam pengoperasian moda transportasi laut sesuai standar kelaikan laut sehingga dapat dilaksanakan secara cepat seperti model persidangan Ad-hoc lainnya. Putusan peradilan maritime dapat digunakan institusi lain bagi kepentingan pembuktian misalnya bagi penyidikan polisi atau pembuktian secara keperdataan dan utamanya bagi pencegahan berulangnya kecelakaan di perairan.

*Penulis merupakan Pemerhati Industri Maritim dari Universitas Prasetiya Mulya


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved