My Article

Perusahaan Multinasional dalam Bisnis Internasional

Oleh Editor
Perusahaan Multinasional dalam Bisnis Internasional

Oleh: Ronald Nangoi, Pemerhati Bisnis Internasional

Ronald Nangoi

Perusahaan multinasional (PMN) menjadi isu kontroversial di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pada tahun 1970 dan 1980-an. Isu PMN telah dibahas tidak hanya dari sudut pandang ekonomi tetapi juga politik. Sebagai produk kapitalisme, penanaman modal asing/PMN sebagian besar didominasi oleh negara-negara Barat “sering diasosiasikan dengan penjajahan dalam bidang ekonomi, sebagai bentuk baru dari penjajahan politik ekonomi sosial yang pernah mereka alami” (lihat Sumartono 1987, hal. 82).

Namun dari sudut pandang ekonomi dan bisnis, PMN sebenarnya dibutuhkan oleh negara-negara berkembang sebagai sumber teknologi, manajemen, modal, dan jaringan global. Sebaliknya, negara seperti Indonesia dengan sumber daya alam yang kaya dan tenaga kerja berbiaya rendah juga dibutuhkan oleh PMN Barat untuk melindungi pasokan bahan baku buat industri mereka.

Pentingnya Perusahaan Multinasional

PMN diakuI telah memainkan peran dalam menyumbang ekonomi negara asal dan ekonomi dunia. Jusuf Panglaykim (2011, hal. 7) memiliki pandangan meyakinkan tentang pentingnya PMN dan bisnis internasional, yang terkait erat satu sama lain. Seorang pembuat kebijakan ekonomi dan, saya pikir juga, seorang eksekutif bisnis dapat belajar dua hal di sini. Pertama, mereka didorong untuk mempelajari PMN dan operasi bisnis, karena dianggap sebagai aktor/pemain bisnis internasional dan pasar global. Panglaykim berpendapat bahwa usaha-usaha raksasa [PMN Asia, terutama PMN Jepang dan the newly industrialized countries seperti Korea Selatan] telah berhasil menciptakan keunggulan di pasar global, yaitu dengan mengombinasikan manajemen, modal, teknologi, network global, integrasi secara vertikal dan horizontal dan dukungan pemerintah yang disertai dengan sense of national mission.

Kedua, adalah ‘keharusan’ bagi mereka untuk memantau perkembangan bisnis internasional untuk memahami perubahan di pasar global. Beliau yakin bahwa pengertian dan pemahaman pada kekuatan-kekuatan pasar global, dapat mengubah pola-pola perdagangan, hubungan antarnegara, kekuatan serta keunggulan yang sudah selayaknya dipelajari dan dianalisa sebagai masukan (input) oleh para pengambil keputusan (Panglaykim 2011, hal. 6).

Dan waktu dapat mengakibatkan perubahan dalam perkembangan PMN dan bisnis internasional. Sebelumnya, bisnis internasional berada di bawah dominasi PMN Barat, seperti Coca Cola, Nestle, Citigroup, General Motor, Boeing, McDonald’s, IBM, Time Warner, Microsoft, dan Sony, yang menandai dominasi ekonomi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan Jepang. Kemudian dengan bangkitnya emerging economies, kita menyaksikan ekspansi PMN Asia, seperti Haier, Sinopec, Samsung, Lenovo, Alibaba, dan Hyundai, meski PMN-PMN utama dari negara-negara Barat masih menduduki posisi puncak. Ekspansi PMN Ini bisa membenarkan kenyataan bahwa bisnis global dan pasar sedang bergeser ke Asia.

Perubahan dalam Bisnis Internasional

Perubahan di seputar PMN dan bisnis internasional tidak terjadi dalam sekejap. Tetapi kenyataannya, ada beberapa pemain bisnis, khusus dari China, yang kini memainkan peran yang makin dominan dalam bisnis internasional. Kemudian PMN, yang sebagian besar membentuk aliansi bisnis, telah menerapkan model bisnis terintegrasi dalam memproduksi dan memasarkan produk dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi canggih.

Bangkitnya PMN Asia

Jika sebelumnya sebagian besar ekspor produk industri berasal dari negara kaya atau negara maju ke negara miskin atau negara berkembang, maka kini terjadi antara atau antar negara kaya atau negara maju, atau antar negara berkembang (tidak sedikit yang berkembang menjadi kaya). Munculnya ekonomi baru setelah masa kebangkitan Jepang dan Negara-negara Industri Baru di Asia telah mendorong ekspansi PMN Asia. Banyak buku dan jurnal telah ditulis tentang the newly emerging economies. Ruchir Sharma (2013, hal. 157) dari Morgan Stanley menunjukkan bahwa model pertumbuhan berorientasi ekspor (export-led growth model) relatif sederhana untuk dilaksanakan mengacu kembali pada 1960-an karena hanya ada tiga pemain utama – Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan – tetapi kini Thailand, Malaysia, Indonesia, China, India, Vietnam, Bangladesh, dan yang lain ikut dalam kompetisi.

Pola perubahan serupa terjadi pada penanaman modal asing (PMA) atau bisnis internasional. Menurut The Economist, sebagian besar PMA dari negara-negara kaya tidak lagi pergi ke negara-negara miskin, tetapi ke negara-negara kaya lainnya. Pada akhir 1990-an, sekitar 80% stok PMA Amerika berada di Kanada, Jepang dan Eropa Barat (Cox 2006, hal. 11). Sebenarnya kita juga bisa menyaksikan investasi China di AS, seperti Dalian Wanda Group, Shanghai Automotive Industry (SAIC), dan Haier, masing-masing di perusahaan Amerika seperti American Multi Cinema (AMC), General Motor, dan General Electric Appliance Division. Akibatnya, persaingan ekonomi dan bisnis, perang dagang dan bahkan ketegangan politik dan ekonomi, terutama antara AS dan China, makin intensif.

Bangkitnya China dalam Bisnis Internasional

Meski masih dalam proses, China telah muncul sebagai pemain top di pasar global. Yang menarik adalah bahwa, di bawah kebijakan ekonomi terbuka, China sekarang memimpin dalam perdagangan luar negeri dan memperluas PMA di banyak bagian dunia. Tetapi China juga menyambut investasi asing, karenanya banyak investor asing dari Jepang (Toyota, Mitsubishi, Subaru), Korea Selatan (Samsung, Hyundai, LG (Lucky Goldstar), dan Kia) dan AS (KFC, McDonald, Starbucks, dll) telah masuk ke China daratan. Bangkitnya China dalam ekonomi dunia telah mengancam AS. Bagi beberapa pakar Amerika, China kini dipandang sebagai negara kapitalis. Joel Kotkin dari Pusat Kehidupan Amerika Claremont Institute (https://dc.claremont.org/ the-rise-of-corporate-state-tyranny/, 2021) sebagai contoh, pada 17 Mei 2021 menulis: “Sekarang ini, bisnis Amerika, serta media dan lembaga akademis yang melayani mereka, makin yakin dengan apa yang paling baik digambarkan sebagai ‘kapitalisme China dengan karakteristik Amerika’.” Kotkin menunjukkan pertumbuhan cepat miliarder China sejak tahun 2000, yang jumlahnya pada tahun 2017 berada tepat di belakang jumlah miliarder di AS.

Meski masih memperdebatkan dominasi ekonomi Amerika, Niall Ferguson dari Universitas Harvard menyatakan dalam bukunya Colossus: The Rise and Fall of the American Empire (2005, hal. 18) bahwa jika tingkat pertumbuhan populasi dan output akhir-akhir ini berlanjut dua puluh tahun lagi, Amerika dapat disusul China sebagai ekonomi terbesar di dunia pada awal 2018. Kini dengan posisi dominan, China diakui sebagai kekuatan ekonomi dunia yang patut diperhitungkan.

Seperti yang kita ketahui, perusahaan-perusahaan Asia di masa lalu mengharapkan alih teknologi, modal, dan manajemen dari PMN Barat. Bagi masyarakat Barat, perusahaan-perusahaan tersebut tampaknya masih bergantung pada Barat dalam memperkuat keunggulan kompetitif mereka. Gabor Steingart, seorang penulis terlaris internasional dan koresponden senior untuk Der Spiegel (2008, hal. 173-4) mengamati bahwa para investor Asia terutama tertarik pada tiga hal: pengetahuan para ilmuwan dan peneliti Barat, nama merek global perusahaan-perusahaan Barat yang mapan, dan jaringan dealer yang telah berkembang selama beberapa dekade, yang mereka maksudkan untuk gunakan untuk produk mereka. Tapi, saya pikir ketiga hal ini perlu pembenaran, karena dalam sistem dunia yang begitu terbuka, tiap perusahaan bisa belajar satu sama lain. Saya yakin bahwa PMN Barat seharusnya memanfaatkan bisnis mereka dengan mitra Asia mereka dengan mengembangkan produk atau layanan mereka di pasar Asia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan Asia telah belajar banyak dari Barat karena perusahaan-perusahaan ini mengandalkan modal, pengetahuan, dan manajemen Barat. Masih segar dalam pikiran kita bagaimana perusahaan-perusahaan Jepang menjadi pemain global setelah mengalami pemasaran produk-produk mereka, misalnya, di Asia Tenggara, yang memungkinkan mereka memasuki pasar AS dan Eropa Barat.

Integrasi Bisnis sebagai Model Bisnis Masa Kini

Dengan adanya pemahaman akan pola bisnis internasional yang berubah, pertanyaan tentang relevansi studi tentang PMN dan bisnis internasional memiliki jawabannya. Sangat jelas bahwa pola perdagangan yang berubah dan menunjukkan bermunculnya para pemain bisnis baru dari Asia dan negara-negara berkembang lainnya, membuat studi tentang PMN dan bisnis internasional kian relevan.

Kemajuan teknologi dan komunikasi memiliki andil dalam penciptaan model bisnis terintegrasi, seperti model ‘supply-chain’ yang diidentifikasi oleh Michael Porter. Sifat persaingan berbeda dari yang di masa lalu di mana persaingan terjadi antara atau antar produk perusahaan dan faktor-faktor produksi. Persaingan beralih ke persaingan antar manajemen ‘supply-chain’ perusahaan-perusahaan global. Manufaktur dan pemasaran PMN terintegrasi melalui manajemen ‘supply-chain’ di berbagai lokasi di berbagai negara.

Namun jika dianalisis lebih lanjut pada tingkat bisnis mikro, integrasi bisnis antar PMN menjadi ciri ‘borderless economy’ dan bisnis masa kini, yang mengabaikan identitas nasional PMN. Jadi, kita mungkin bertanya-tanya tentang perang dagang yang intensif antara China dan Amerika Serikat. Perang tersebut berimplikasi pada hubungan internasional, karena tidak sejalan dengan perkembangan bisnis internasional. Dari perspektif bisnis dunia, persaingan harus terjadi antara atau antar kelompok-kelompok PMN, yang mengabaikan negara-negara asal. Kalau tidak, mungkin menjadi kendala bagi masyarakat bisnis dunia untuk berkomitmen dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan dunia. Kita seharusnya tidak mengabaikan yang terakhir sebagai faktor pendorong integrasi ekonomi dan bisnis.

Capacity_Building dalam Bisnis

Peran penting dari PMN atau perusahaan global juga dapat membenarkan relevansinya dalam bisnis internasional. Perdagangan luar negeri dan bisnis, termasuk PMA, tentu terjadi antara atau antar PMN dari berbagai negara. PMN terintegrasi dapat bersaing karena mereka memiliki kapasitas untuk menggabungkan atau bahkan mengintegrasikan fungsi manajerial mereka dan mengambil langkah-langkah strategis yang tepat, berdasarkan pemantauan kekuatan eksternal. Tidak sedikit PMN lebih kaya dari negara-negara tertentu (kecil), sehingga mereka memiliki kekuatan yang patur diperhitungkan dalam hubungan internasional.

Dari perspektif bisnis, PMN yang difasilitasi oleh liberalisasi ekonomi telah mempercepat perkembangan ekonomi dunia dan negara-negara lain. Kami mungkin berpendapat bahwa kebangkitan ekonomi China seharusnya didorong tidak hanya oleh PMN negara tetapi juga oleh PMN asing. Untuk menjadi lebih kuat, negara-negara Asia telah menarik investor asing, karena kita mungkin menemukan bahwa lebih banyak PMN berinvestasi di China.

Secara profesional, daripada curiga terhadap PMN, jauh lebih baik bagi perusahaan negara berkembang untuk berkomitmen pada pengembangan kapasitas untuk menjadi pemain global. Jika perlu, mereka dapat belajar dari PMN negara-negara industri untuk menjadi kompetitif. Literatur bisnis internasional menunjukkan bahwa PMN diperkuat, antara lain, oleh

(1) Perluasan perdagangan atau investasi asing mereka untuk mencapai skala ekonomi mereka ;

(2) Penerapan teknologi industri dan komunikasi canggih.

(3) Integrasi manajemen rantai nilai dengan mitra bisnis memberi nilai tambah bagi para pemangku kepentingan PMN.

Dengan melakukan hal di atas tanpa mengurangi implementasi strategi internasional yang efektif, menurut hemat saya, perusahaan bertindak sebagai pengusaha ‘profit-seeking’ yang berorientasi pasar dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat dan pasar global. Ini tentu saja bertentangan dengan pendekatan pengusaha ‘rent-seeking’ yang memiliki modal dan sumber daya cenderung menggunakan kesempatan untuk mendekati pemerintah demi proteksi bisnis. Pengusaha-pengusaha ini berpeluang untuk mempraktikkan oligopoli bahkan monopoli. Tetapi karena bisnis saat ini bersifat bebas dan monopolistik, pasar menjadi kekuatan yang dapat mengendalikan PMN dari praktik-praktik tersebut.

Dengan capacity building untuk memasuki pasar global, PMN Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh keuntungan dan memberi manfaat ekonomi bagi negara tuan rumah sekaligus negara asal. Misalnya, aliran faktor (produksi) di bawah PMA berdasarkan teori ekonomi dapat menyeimbangkan faktor negara tuan rumah dan negara asal (modal dan tenaga kerja). Selain itu, pengembangan bisnis internasional dan PMN memiliki ‘multiplier effect.’ Operasi global supply chain industri otomotif, misalnya, dapat menciptakan permintaan akan komponen-komponen mobil yang berimplikasi pada factor-faktor industri produksi lainnya.

Selain itu, kemajuan PMN dan bisnis internasional bisa memberi manfaat akademis. Praktik PMN telah mengembangkan konsep bisnis baru, memperkaya pemikiran akademis dan temuan ilmiah. Sebagai imbalan, profesionalisme bisnis makin maju. Menurut hemat saya, manfaat ini tidak kalah berharga dari praktik bisnis dalam berkontribusi pada ekonomi individu dan dunia.

Catatan Penutup

Bahasan menggambarkan pola perdagangan dan investasi dan juga penggunaan model bisnis yang berubah, dari manufaktur tradisional di negara tuan rumah ke operasi terpadu seperti manajemen supply chain global antar para PMN dari berbagai negara. Secara signifikan, the newly emerging economies telah mendorong lebih banyak PMN Asia berperan kompetitif yang ikut mengubah peta PMN dalam bisnis internasional.

Selain itu, pentingnya PMN melatarbelakangi relevansi bisnis internasional. Untuk mencapai keunggulan kompetitif, PMN harus terus-menerus beradaptasi dengan kekuatan eksternal yang berubah. Dengan demikian, pemantauan atas perkembangan PMN adalah pendekatan bisnis strategis agar fungsi-fungsi manajemen internal dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dengan memiliki pemantauan yang konstan, PMN setidaknya dapat melakungan ‘benchmarking’ atas posisi mereka di pasar global.

Dalam bisnis global saat ini, perusahaan mana pun termasuk di Indonesia memiliki peluang yang sama untuk mengintegrasikan diri ke bisnis dunia sejauh siap untuk berkompetisi global. Dalam jangka pendek, perusahaan seyogyanya memiliki eksekutif kompeten dan profesional dengan orientasi global dan melengkapi diri mereka dengan konsep bisnis internasional dan manajemen PMN alih-alih mengandalkan proteksi pemerintah.

Referensi

Cox, Simon (ed). (2006). Economics: Making Sense of the Modern Economy. London: Profile Books Ltd.

Ferguson, N. (2005). Colossus: The Rise and Fall of the American Empire. London: Penguin Books.

https://dc.claremont.org/the-rise-of-corporate-state-tyranny/ . (2021, May 17). Retrieved from claremont.org.

Kotkin, J. (2021). The Rise of Corporate-State Tyranny. Center for the American Way of Life, the Claremont Institute.

Panglaykim, J. (2011). Prinsip-prinsip Kemajuan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sharma, R. (2013). Breakout Nations: In Pursuit of the Next Economic Miracles. London: Penguin Books.

Steingart, G. (2008). The War for Wealth: The True Story of Globalization, or Why the Flat World is Broken. New York: McGrawHill.

Sumartono. (1987). Kegiatan Perusahaan Multinasional. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved